Senin, 14 Mei 2018

CERPEN "Cermin Jiwa"


Cermin Jiwa
Jose Dc. Verdial

Wajah Nia jernih, tenang, dan penuh percaya diri. Sepasang lengkung alisnya serupa mantra. Menenteramkan siapa pun yang menatapnya. Ia keluar dari rumah berdinding bebak. Menampakkan sosok samar di kebun singkong. Hangat matahari menyingkap kabut di rambutnya. Dari celah-celah daun singkong, ia menatapi Philos, lelaki muda di seberang jalan. Lelaki itu menyusuri kesunyian ke kantor. Sepasang kupu-kupu mengitari kepalanya. Cahaya matanya serupa cermin jiwa: memantulkan hangat semesta yang membuka cakrawala Nia.

Di kebun singkong itu Nia memantulkan kesegaran daun-daun mekar. Gadis itu sengaja berada di kebun singkong. Ia bisa mencium aroma asap jerami dibakar. Menghirup bau tanah basah sawah sehabis dibajak. Mencuri pandang pada Philos, lelaki kurus, dengan hidung mencuat, bibir tipis dan jarang berbincang. Ketampanan lelaki itu terselubung sepi. Tinggal di rumah berdinding bebak yang luas dan terpelihara, lelaki kurus itu terlambat menikah. Nia selalu menatap matanya yang memantulkan keteduhan tanah yang ditumbuhi rumput, perdu, dan daun-daun liar.

Tatapan Nia pada Philos sering kali dilakukannya dengan diam-diam, menakik rasa gundah yang nyeri di hati. Philos seperti hidup sendirian, setelah ibunya meninggalkannya, pergi begitu saja, pada umurnya yang sepuluh tahun. Nia selalu memandangi lelaki itu sejak kecil. Lelaki itu terus saja bekerja, mengaji ke Gua Bunda Maria, tanpa senyum, tanpa berbincang-bincang

Ayah Philos sungguh aneh. Lelaki tua itu selalu keluyuran malam. Rambutnya memutih seluruhnya. Separuh wajah bagian kanan, menghitam arang memendam bara. Ia selalu bepergian tiap malam, mencari lawan berjudi, dan kata orang, sesekali mencuri sarang burung walet di tebing terjal pantai. Ia merambati tebing-tebing karang selengket cicak. Lewat larut malam ia pulang. Mabuk. Meracau. Teriak-teriak. Lantang. Menembus kabut dini hari.

Lambat laun Nia mulai paham, dan ia takjub, melihat Philos tumbuh dengan dirinya sendiri, di rumah berdinding bebak yang luas, peninggalan kakeknya.

Pada gerimis yang rapuh, menjelang senja, burung-burung sriti menghambur di atas pohon randu alas, di belakang Gua Bunda Maria. Bercericit gaduh. Ayah Philos mengetuk pintu rumah Nia, teratur dan sopan. Suaranya berat dan patah-patah. Nia berlarian membukakan pintu. Meminta lelaki berambut putih itu duduk di ruang tamu. Gugup.

"Tolong panggilkan ayah dan ibumu," pinta ayah Philos. Sungguh gemetar Nia memandangi ayah Philos. Tatapan lelaki tua itu liar, beringas, dan menyerang.

Bang Jever, ayah Nia, tersenyum tenang.

"Aku ingin bicara juga dengan istrimu," kata ayah Philos, dengan permohonan yang lembut. Tapi Ili Mau, ibu Nia, menahan rasa takut, getar dalam dada. Guncangan tertahan itu diredakannya.

"Begini, Bang Jever. Saya datang sore ini untuk meminang Nia bagi Philos. Saya sudah tua, tak bisa memberikan apa pun bagi anak saya itu, kecuali mencarikannya jodoh."
Terdiam. Lama. Belahan wajah hitam ayah Philos seperti bara terhembus angin. Lelaki tua itu mengambil napas, dan meredakan rasa murka. Dipandanginya Bang Jever yang tersenyum.


"Aku serahkan pinangan ini pada Nia," sahut Bang Jever, teduh dan lembut. Buru-buru Ili Mau menyambut. "Aku minta waktu agar anak gadisku cukup matang."

Lelaki berambut memutih dengan belahan wajah hitam itu tampak teduh dan tenteram. Memandangi Bang Jever dan Ili Mau, bergantian, mencari kepastian. Tiap saat ia menatap wajah Bang Jever yang tersenyum, bara dalam belahan wajahnya padam. Tiap saat ia menatap wajah Ili Mau yang menegang, bara dalam belahan wajahnya menyala. Terhenti ia pada segaris senyum Bang Jever, yang tulus, dan tak dibuat-buat. Lelaki tua itu menunduk. Terus tersenyum.

Ayah Philos berdiam diri. Memandangi lagi Bang Jever. Mencari keyakinan. Ayah Philos mengangguk-angguk. Bangkit. Mohon diri. Mengulurkan tangan. Menyalami Bang Jever. Berpamitan. Bukan sekadar bersalaman. Ayah Philos mencium tangan Bang Jever. Tertetes sepercik air mata di punggung tangan Bang Jever.

Burung-burung sriti tak lagi gaduh bercericit. Hinggap di dahan pohon randu alas. Seketika sepi, seketika pekat merambat.

Di Gua Bunda Maria, di belakang rumah berdinding bebak Bang Jever, samar terdengar suara anak-anak mengaji. Bang Jever berdiam diri di meja makan. Menelantarkan pepes ikan mas kesukaannya. Tak berselera. Dipandanginya Nia dan Ili Mau bergantian, kehilangan suara.

Telah mengering sepercik air mata di punggung tangan Bang Jever. Tapi tangan itu tak segera dicucinya. Tak digerakkannya untuk menuang nasi dalam piring. Tak melahap pepes ikan masakan kesukaanya tersebut. Terdiam. Menampakkan rautan renungan dalam wajahnya, terutama di sekitar mata.

"Apa yang Ayah risaukan?" tegur Nia, pelan, teduh.

"Bagaimana aku menampik lamaran ayah Philos?"

"Kenapa mesti ditampik?"

Terbatuk, Bang Jever menukas, "Lu menerimanya?"

"Kalau Ayah amati sisi wajah ayah Philos yang bersih, tentu tak perlu bimbang macam ini."

"Lu menerima Philos?"

"Saya hanya meminta Ayah melihat sisi terang pada wajah ayah Philos."

"Ho’oo, Lu selalu begitu!"

Seketika, tersenyum dan cairlah rautan renungan dalam wajah Bang Jever. Lelaki itu mengambil nasi, makan dengan lahap. Pepes ikan masakan kesukaanya  itu tinggal duri-duri. Pada bagian kepala ikan pun dicecapnya. Terserak remah-remah tulang belulang dan duri ikan di piring. Tak ada lagi percakapan. Terdengar sendawa Bang Jever. Berkali-kali.

Sesuatu yang tak lazim, Philos memandang ayahnya bersarung, berpeci, dan buru-buru melangkah ke Gua Bunda Maria Bang Jever menjelang magrib. Belum pernah Philos melihat wajah ayahnya sebening itu. Belahan wajah menghitam itu tak lagi membara. Belahan wajah itu seteduh lumpur sawah musim tanam padi.

Malam hari ayah Philos memasuki rumah, pelan-pelan, tanpa suara. Duduk di ruang tengah. Terbatuk. Menghirup kopi, Sambil Merokok. Termenung. Sesekali mencuri-curi pandang ke arah anak lelakinya.

"Telah kulamar Nia untukmu," kata ayah Philos, berat, dan menunduk. Tak tampak kerisauan pada wajah Philos. Tetap tenang. Melakukan segala hal sendirian. Diam-diam.

Melihat ayah Philos bergegas ke Gua Bunda Maria, Ili Mau cemberut. Sesekali ia mengerling ke arah lelaki tua itu. Tiap kali dilihatnya belahan hitam wajah lelaki itu, Ili Mau, tanpa disadarinya bergidik. Buru-buru ia meninggalkan Gua Bunda Maria. Tak dilihatnya dalam kelam puncak pohon randu alas, cericit burung-burung sriti beterbangan. Sesaat. Kembali sunyi.

Tiap kali datang orang baru ke Gua Bunda Maria, Ili Mau selalu menyambut dengan mata bercahaya. Kali ini lain. Dadanya berdegup. Meletup-letup. Tak bisa dibayangkannya, Nia anak gadisnya, hidup serumah dengan lelaki beringas, yang selalu membawa ceracau mabuk dan murka ke rumah.

"Ayah Philos itu, uh, mengapa selalu datang ke Gua Bunda Maria?" gerutu Ili Mau.
"Mestinya Ili Mau merasa senang. Dia datang ke Gua Bunda Maria kita. Bukannya mabuk," tukas Nia, mencengangkan. "Dia berbuat begitu lantaran ingin meminangmu."

"Ini lebih baik, daripada dia keluyuran malam, dan mencuri sarang burung walet."
Sebulan kemdian ayah Philos berkunjung ke Gua Bunda Maria, Bang Jever. Tak seorang pun menatap langit di atas pohon randu alas, di belakang Gua Bunda Maria. Burung-burung sriti berkitar-kitar, bercericit, hinggap-terbang, hinggap dan terbang lagi di pohon randu alas itu. Langit masih gelap, dan burung-burung sriti itu luput dari perhatian orang-orang yang bergegas ke Gua Bunda Maria.

Tak sekali pun ayah Philos bertanya kepada Bang Jever mengenai pernikahan anak lelakinya dengan Nia. Dalam diam bersimpuh, dia biasa terisak-isak, dengan mata terpejam memanjatkan doa. Tatkala orang-orang sudah meninggalkan Gua Bunda Maria, dia masih bersimpuh sendirian. Lama, hingga matahari berkilau menghangati hamparan tikar Gua Bunda Maria. Lelaki tua itu beringsut, pelan, bangkit.

Kali ini, dalam dingin kabut dini hari, ayah Philos telah menyempurnakan ketenteraman wajahnya dari pergolakan. Belahan hitam wajahnya tak menyeramkan, serupa lumpur sawah yang digenangi air: rata, datar, menyimpan anugerah alam. Orang-orang di Gua Bunda Maria mulai menerima kehadiran lelaki tua itu. Tak lagi menatap dengan selidik dan tatapan curiga.

Di tengah-tengah suara orang berdoa, ayah Philos tak dapat menahan tubuh. Tersungkur. Tiada lagi napas mengembus dari hidungnya. Ia rebah dengan tangan masih menggenggam kontas. Tubuhnya terjerembap. Tidak menggelepar. Tidak berkelejatan. Tubuh itu terburu, kehilangan napas pelan-pelan, di antara orang- orang yang bersimpuh doa. Mula-mula orang-orang tak menduga lelaki tua itu direnggut ajal. Tapi kemudian orang-orang terperanjat, gugup dan memekik tertahan.

Kini orang-orang mulai melihat cericit burung-burung sriti yang tak terhitung banyaknya, berkitar-kitar terbang di puncak pohon randu alas, di belakang Gua Bunda Maria Ayah Lufti. Dalam sekejap, sangat cepat, burung-burung sriti itu hinggap di dahan dan ranting pohon randu alas. Tak lagi mengepakkan sayap. Tak lagi bercericit gaduh.

Sepasang kupu-kupu kuning terbang di atas kepala Philos. Nia sangat gemas, ingin menangkap sepasang kupu-kupu itu. Selalu dilihatnya tiap pagi, diam-diam di kebun singkong yang menyembunyikan wajah dan tubuhnya, kupu-kupu di atas kepala Philos. Lelaki itu berangkat ke kantor. Berjalan kaki. Selalu berjalan kaki ke mana pun pergi. Dan sepasang kupu-kupu itu mengantarkannya menyusuri jalan berumput pada pagi berkabut, saat embun meraup tersengat matahari.

Ayahnya diam-diam memperhatikan perilaku anak gadisnya. Sambil minum teh, menghisap pipa rokok, saat matahari menghangat, dia menemukan anak gadisnya turun ke kebun singkong samping rumah, hanya untuk melihat Philos. meninggalkan rumah, berjalan kaki, diiringi kupu-kupu. Mengapa sepasang kupu-kupu? Dalam jarak yang begitu jauh, sepasang kupu-kupu itu terus mengitari kepala Philos.

Kepergok Bang Jever memasuki rumah, Nia tersipu-sipu. Terhenti. Menanti teguran.

"Apa Ayah mesti menegur Philos, bagaimana kelanjutan lamaran ayahnya dulu?"

"Biar Philos sendiri yang menentukan," tukas Nia tenang. "Ayah jangan salah sangka. Aku cuma suka memandangi sepasang matanya. Sungguh aneh mata itu, selalu memancarkan alam yang lembut dan tanpa dendam. Aku suka memandanginya."


2 komentar:

  1. http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-6-aktivitas-sehat-yang-cocok.html

    Taipanbiru
    TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : E314EED5

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    BalasHapus
  2. Titanium Auto Sales | TITanium Arts
    T-Series car titanium dioxide sunscreen and racing sim racing and gaming sim racing and gaming machines titanium trimmer as seen on tv with custom T-Series cars micro hair trimmer for sale. Get the latest 2017 ford fusion energi titanium sales at silicone dab rig with titanium nail T-Series car

    BalasHapus