LINGUISTIK TRADISIONAL
Oleh
Jose Da Conceicao Verdial
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Setiap ilmu memiliki sejarah yang panjang, begitu juga
linguistik. Sebagai ilmu, linguistik
mempunyai tahap-tahap perkembangan. Pada dasarnya setiap ilmu termasuk juga
ilmu linguistik telah mengalami beberapa tahap perkembangan, yaitu dari tahap
pertama yang disebut tahap spekulasi, tahap kedua disebut tahap observasi dan
klasifikasi, dan tahap ketiga disebut tahap perumusan teori. Pada tahap
spekulasi, pernyataan-pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan pada data
empiris, melainkan pada dongeng atau cerita rekaan belaka. Penyelidikan yang
bersifat ilmiah baru dilakukan orang pada tahap ketiga, dinamakan bahasa yang
diteliti itu bukan hanya diamati dan diklasifikasi tetapi juga dibuatkan oleh
teorinya.
Linguistik dewasa ini berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut dapat
dilihat dari semakin banyaknya teori dan penelitian yang telah dihasilkan serta
munculnya bermacam-macam gerakan dan aliran. Perkembangan teori-teori tersebut
merata pada pelbagai cabang-cabang linguistik, seperti pada fonetik, fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, juga pragmatik. Perkembangan teori dan makin
banyaknya penelitian yang dihasilkan itu tidak terlepas dari teori yang
memayungi. Di antara aliran-aliran tersebut adalah aliran linguistik pertama,
aliran tradisional.
Dalam sejarah perkembangannya, aliran linguistik tradisional dimulai pada
zaman Shopis, Yunani, zaman Romawi, zaman Pertengahan, zaman Renaisans sampai
pada zaman yang disebut linguistik modern. Linguistik ini, dipenuh berbagai pemikiran-pemikiran
filsafat tokoh-tokoh besar pada zamannya. Tokoh-tokoh yang membawa hasil
perenungannya mempunyai peranan besar dalam studi bahasa.
Dari latar belakang tersebut, maka di dalam makalah ini akan dipaparkan
lebih rinci ciri-ciri linguistik tradisional, dipaparkan pula tokoh serta
pendapat yang dibawanya pada masing-masing zaman. Selain itu, beberapa contoh
analisis kalimat berdasarkan pendapat tokoh masing-masing tersebut dicantumkan
dan dijabarkan.
1.2 Tujuan Penulisan
Dari latar
belakang di muka, maka tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1.
Mendeskripsikan
ciri-ciri linguistik tradisional.
2.
Mendeskripsikan
tokoh-tokoh linguistik tradisional.
3.
Mendeskripsikan
penerus atau perkembangan linguistik tradisional.
4.
Mendeskripsikan
kalimat yang dianalisis berdasarkan aliran linguistik tradisional.
PEMBAHASAN
2.1 Linguistik
Tradisional
Linguistik tradisional adalah suatu paham atau aliran
yang ada pada zaman Yunani kuno hingga zaman Renaisans. Chaer (2012: 333) istilah
tradisional dalam linguistik sering dipertentangkan dengan istilah struktural,
sehingga dalam pendidikan formal ada istilah tata bahasa tradisional dan tata
bahasa struktural. Kedua jenis tata bahasa ini banyak dibicarakan orang sebagai
suatu hal yang bertentangan, sebagai akibat dari pendekatan keduanya yang tidak
sama terhadap hakikat bahasa. Tata bahasa tradisional menganalisis bahasa
berdasarkan filsafat dan semantik; sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan
struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam suatu bahasa tertentu, dalam
merumuskan kata kerja misalnya, tata bahasa tradisional mengatakan kata kerja
adalah kata yang menyatakan tindakan atau kejadian. Sedangkan tata bahasa
struktural menyatakan kata kerja adalah kata yang dapat berdistribusi dengan
frase “dengan…”.
Tata bahasa tradisional terbentuk dari
masa yang lama, yaitu mulai dari Shopis, Plato, Aristoteles, Kaum Stoik,
Kaum Alexandrian, zaman Romaawi, zaman Pertengahan, zaman Renaisans hingga
menjelang lahirnya linguistik modern sekitar akhir abad ke-19 (Chaer, 2012: 333). Tata bahasa terbentuk atas pemikiran-pemikiran beberapa
tokoh filsafat dan penerusnya.
2.2 Ciri-Ciri Linguistik Tradisional
Chaer (2012: 345) memaparkan lima
ciri umum dari linguistik tradisional. Ciri-ciri tersebut antara lain:
a) pada tata bahasa tradisional ini,
tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulis. Oleh
karena itu, deskripsi bahasa hanya bertumpu pada bahasa tuisan;
b) bahasa yang disusun, tata
bahasanya didsekripsikan dengan mengambil patokan-patokan dari bahasa lain,
terutama bahasa latin;
c) kaidah-kaidah bahasa dibuat
secara preskriptif, yakni benar atau salah;
d) persoalan kebahasaan seringkali
dideskripsikan dengan melibatkan logika;
e) penemuan-penemuan kesimpulan itu
jelas bahwa pegangan bahasa tidak sama dengan konsep aliran-aliran lain.
2.2 Tokoh-Tokoh
Setiap aliran atau paham pasti
memiliki tokoh-tokoh perintisnya, begitu juga aliran tadisional ini. Tokoh
penggagas aliran Linguistik ini adalah tokoh-tokoh dari bangsa Yunani. Antara
lain Protagoras dan Georgias. Mereka menjabarkan jenis-jenis kalimat tetapi
pendapat dari kedua tokoh itu tidak terlalu menonjol. Berbeda lagi dengan
Plato, seorang filusuf yang pendapatnya selalu dikembangkan oleh ahli-ahli
sesudahnya yaitu mengenai onoma dan rhema (Chaer, 2012: 345).
Studi bahasa pada zaman Yunani mempunyai sejarah yang sangat panjang, yaitu
dari lebih kurang abad ke-5 S.M. sampai lebih kurang abad ke-2 M. jadi, kurang
lebih sekitar 600 tahun. Tokoh yang mempuyai peranan besar dalam studi pada
zaman Yunani.
2.3.1
Sophis
Menurut Chaer (2012: 335) kelompok
Sophis muncul pada abad ke-5 sebelum masehi mereka terkenal dalam studi bahasa,
antara lain karena:
(a) Mereka
melakukan kerja secara empiris.
(b) Mereka
melakukan kerja secara pasti dengan menggunakan ukuran-ukuran tertentu.
(c) Mereka sangat
mementingkan bidang retorika dalam studi bahasa.
(d) Mereka
membedakan tipe kalimat berdasarkan isi dan makna.
Satu di antara beberapa
tokoh Sophis, Protagoras membagi kalimat menjadi kalimat narasi tanya, kalimat
jawab, kalimat perintah, kalimat laporan, do’a dan undangan. Tokoh lain Gorgias
membicarakan gaya bahasa (Chaer, 2012:335).
2.3.2
Plato (429-347 Sebelum Masehi )
Masalah pokok kebahasaan yang menjadi prtentangan para linguis pada waktu
itu adalah (1) pertentangan antara fisis
dan nomos, dan (2) pertentangan
antara analogi dan anomali.
Lyons (1968:4—5) mengatakan bahwa
filsuf-filsuf Yunani memperdebatkan apakah bahasa dipengaruhi oleh “alam” atau
“konvensi”. Pertentangan antara “alam” dan “konvensi” ini biasa dalam spekulasi
filsafat Yunani. Apabila suatu lembaga tertentu dikatakan ”alamiah”, itu
berarti bahwa lembaga tersebut berasal dari asas-asas yang abadi dan tak
berubah di luar manusia sendiri. Apabila dikatakan ”konvensional” maksudnya
adalah hasil dari kebiasaan dan tradisi (yaitu persetujuan yang tak terucapkan,
atau ”perjanjian sosial” antara anggota-anggota masyarakat), karena itu hasil
perbuatan manusia sendiri.
Dalam diskusi tentang
bahasa, perbedaan ”alam” dan ”konvensi” dipertegas, terutama untuk menjawab
pertanyaan apakah mesti ada hubungan antara arti sebuah kata dan bentuknya.
Para penganut aliran ”naturalis” yang ekstrem, seperti Cratylus, berpendapat
bahwa semua kata secara ”alamiah” memang sesuai dengan sesuatu yang
ditandainya. Maka, lahirlah etimologi, yang mempelajari tentang asal-usul kata
dengan maknanya. Kata etymo berarti
”benar” atau ”nyata”, mengisyaratkan asalnya yang filosofis. Membeberkan asal
sebuah kata dan dengan demikian juga artinya yang ”benar” berarrti
mengungkapkan salah satu kebenaran ”alam” (Lyons, 1968:4—5) .
Menurut John Lyons
(1995:6), kata “analogi” berasal dari terjemahan kata Yunani analogia ke dalam bahasa Latin yang
berarti ”teratur”. Kata ”analogi” juga dipakai dalam arti yang lebih khusus,
yakni berarti ”perbandingan” matematis. Berdasarkan itu, kita katakan,
misalnya, bahwa perbandingan 6:3 sama dengan perbandingan 4:2, 2:1, dan
seterusnya. Istilah terakhir ini tidak dipakai disini. Sedangkan kata ”anomali”
terdiri dari ”a” berarti ”tidak”, ”nomalia” berati ”teratur”. Jadi jika dihubungkan
artinya ”tidak teratur”.
Untuk membedakan antara
kaum analogis dan kaum anomalis, kembali menurut John Lyons (1995:6) adalah mereka yang
berpendapat bahwa bahasa itu pada hakikatnya sistematis dan teratur biasanya
disebut kaum ”analogis”, dan mereka yang berpendapat dengan sebaliknya disebut
kaum ”anomalis”. Jadi aliran analogis berpandangan bahwa bahasa pada hakikatnya
sistematis dan teratur. Sedangkan aliran anomalis berpandangan bahwa hakikat
bahasa itu tidak sistematis dan tidak teratur.
Tokoh analogi antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa
itu bersifat teratur. Karena adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun
tata bahasa. Jika tidak teratur tentu yang dapat disusun hanya idiom-idiom saja
dari bahasa itu. Keteraturan bahasa itu tampak, misalnya dalam pembentukan
jamak bahasaInggris: boysàboys, girlàgirls. Juga dalam pembentukan jamak bahasa Arab muslimunàmuslima:niàmuslimu:na, dan mualiimunà muallima:niàmuallimu:na. sebaliknya kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur.
Kalau bahasa itu teratur, mengapa bentuk jamak bahasa Inggris child menjadi children, bukannya childs;
dan seterusnya (Chaer, 2012: 334) .
Di dalam buku Abdul Chaer (2012:335—336) menyebutkan bahwa dalam studi
bahasa, pendapat Plato mengenai linguistik tradisional terkenal karena:
(1)
Memperdebatkan
analogi dan anomali bukunya dalam bukunya Dialoog. Selain itu, Plato juga
mengemukakan masalah bahasa alami dan bahasa konvensial. Seperti yang telah
dijelaskan di muka, ada beberapa filsuf yang mempertentangkan hal-hal tersebut
karena alas an kuat yang dimiliki.
(2)
Memberikan
batasan bahasa yang berbunyi: bahasa adalah menyatakan pikiran manusia dengan
perantara onomata dan rhemata;
(3)
Orang yang pertama kali membedakan kata dalam
onoma dan rhema. Onoma (bentuk
tunggalnya onomata) berarti nama dalam sehari-hari nomina, nominal dalam
istilah bahasa, subjek dalam hubungan subjek logis, sedangkan rhema berarti ucapan sehari-hari, verba
dalam istilah bahasa, predikat dalam hubungan predikat logis keduanya merupakan
anggota logis, yaitu kalimat atau klausa.
2.4
Penerus
Plato merupakan pelopor aliran
linguistik tradisional. Ahli bahasa meneruskan pemikiran-pemikiran yang
didapatkan oleh Plato. Hal tersebut dikarenakan mereka kurang puas dengan
pemikiran-pemikiran tersebut sehingga melengkapi pemikiran-pemikiran yang telah
ada. Berikut Tokoh-tokoh yang merupakan
penganut/penerus teori ini baik lingkup internasional maupun nasional
(Indonesia).
2.4.1 Penerus Linguistik Tradisional di Dunia
Zaman Yunani
Di zaman Yunani ini melahirkan
banyak filosuf yang sangat berperan dalam dunia linguistik antara lain pelopor
Linguistik Tradisional, Plato dan beberapa penerusnya, antara lain:
a.
Aristoteles
Aristoteles adalah murid dari Plato. Ia mengembangkan pendapat dari gurunya
itu. Berikut hasil pemikiran Aristoteles yang terangkum dalam buku Chaer (2912:
336):
(1)
Menambahkan
satu kelas kata yaitu syndesmoi. Ia
menambahi pendapat gurunya. Menurut Aristoteles terdapat tiga macam kelas kata
yaitu onoma, rhema,dan syndesmoi.
Syndesmoi yaitu kata-kata yang lebih banyak bertugas dalam hubung sintaksis
(sama dengan preposisi dan konjungsi);
(2)
Membedakan
jenis kelamin kata (gender). Penjenisan tersebut dibagi menjadi tiga yaitu,
maskulin, feminin, dan neutrum atau netral.
(3)
Selain itu,
Aristoteles selalu bertolak pada logika. Dia memberikan pengertian, definisi,
konsep, makna, dan sebagainya selalu berdasarkan logika.
(4)
Satu kemajuan
pula dibuat oleh Aristoteles ialah pengakuannya bahwa rhema menunjukkan tense dalam
bahasa Yunani. Rhema tersebut
menunjukkan sebuah pekerjaan yang telah, belum selesai, dan sebagainya.
b.
Kaum Stoik
Kaum Stoik adalah sekelompok ahli filsafat yang berkembang pada permula
abad ke-4 SM. Kontribusi kaum Stoik terhadap bahasa cukup besar, walaupun
mereka belum lepas dari pandangan dan pengaruh logika dalam menganalisis
bahasa. Namun demikian, dapat kita sebutkan hal-hal yang utama dari kelompok
Stoik ini. Hal-hal tersebut anatara
lain:
(1)
Membedakan
studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara tata bahasa;
(2)
Menciptakan
istilah-istilah khusus untuk studi bahasa;
(3)
Membedakan
komponen utama dan studi bahasa yaitu (a) tanda, simbol, sign atau semainon: (b)
makna, apa yang sebut semainomen atau
lekton: (c) hal-hal di luar bahasa
yakni benda atau situasi;
(4)
Membedakan legein, yaitu bunyi yang merupakan
bagian dari fonologi tetapi tidak bermakna dan propheretal yaitu ucapan bunyi bahasa yang mengandung makna;
(5)
Membagi jenis
kata menjadi empat, yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi dan arthoron yaitu
kata-kata yang menyatakan jenis kelamin dan jumlah;
(6)
Membedakan
adanya kata kerja komplet dan kata kerja tidak komplet, serta kata kerja aktif
dan kata kerja pasif (Chaer, 2012: 336—337)
Dari uraian-uraian di muka, tampak
bahwa yang telah dihasilkan oleh kaum Stoik lebih banyak dan lebih jauh
dibandingkan dengan temuan-temuan Aristoteles. Penyimpulan Chaer itu sama
dengan Parera. Parera (1986:44) menambahkan satu hal lagi yaitu kaum Stoik
membedakan pula kata kerja transitif dan intransitif.
c.
Kaum Alexandrian
Sarjana-sarjana Alexandria
melanjutkan pekerjaan yang telah dirintis oleh kaum Stoik. Dan dari
Alexandrilah kita memiliki Tata bahasa Tradisional. Di sini karya tata bahasa
Yunani telah dikodifikasikan. Dan dari mereka kita mewarisi sebuah buku tata bahasa
yang bisebut tata bahasa Dionysius Thrax. Buku itu sering disebut sebagai cikal
bakal tata bahasa tradisonal berasal dari buku Dionysius Thrax (Parera, 1986:
45).
Dalam buku Dionysius Trax
tersebut hanya membicarakan bidang Fonologi dan Morfologi, sedangkan Sintaks
sama sekali tidak dibicarakan dalam tata bahasa ini. Parera (1986: 45--46) menyebutkan
tata bahasa yang dianggap penting antara lain:
(a)
Bab tentang
huruf-huruf
Ada 24 huruf
mulai dari Alpha sampai dengan Omega. Di antaranya ia bagikan lagi 7 vokal: a,
e, ē, i, o, y, ō. Bunyi-bunyi ini disebut dengan bunyi sendiri. Dan 18 huruf
yang lain merupakan konsonan.
(b)
Part of
Speech/Jenis Kata
Dionysius
membedakan 8 jenis kata, yaitu: onoma, rhema, metoche, arthron, antonymia
(pronomen), prosthesis (preposisi), (ephirrhema (adverbium), dan syndesmoi.
Sebagaimana
dengan penggolongan jenis kata dari zaman-zaman sebelumnya, Dyonysius Tharx pun
menganggap kata sifat termasuk dalam kata
benda, karena dalam bahasa Yunani kata sifat berinfleksi menurut kata benda
atau sama dengan kata benda Parera (1986: 46).
Chaer
(2012: 337) menyebutkan bahwa di India pada tahun 400 SM ada seorang sarjana
Hindu bernama Panini yang menyusun sekitar 400 pemerian tentang struktur tata
bahasa sansakerta . Leonard Bloomfield (1887-1949) menyebut Panini sebagai one of the greatest monuments of the human
intelligence karena buku Astdhyasi itu merupakan deskripsi lengkap dari
bahasa sansakerta yang pertama kali ada.
Sezaman
dengan sarjana-sarjana Yunani di atas, di India pada tahun 400 SM. Panini,
seorang sarjana Hindu, telah menyusun kurang lebih 4000 pemerian tentang
struktur bahasa sansekerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yang masih
dipakai dalam linguistik modern. Leonard Bloomfield (1887 - 1949), seorang
tokoh linguis struktural Amerika, menyebut Panini sebagai one of the greatest
monuments of human intelligence karena buku tata bahasa Panini, yaitu Astdhyasi
merupakan deskripsi lengkap dari bahasa sansekerta yang pertama kali ada
(Chaer, 2012: 337)
2.4.1.1 Zaman Romawi
Menurut
Parera (1986: 47), studi bahasa pada zaman Romawi dapat dianggap kelanjutan
dari zaman Yunani, sejarah jatuhnya Yunani setelah Alexander Agung memunculkan
satu Imperium Baru, Imperium Romawi yang berkembang ke Timur dan Barat Italia.
Tanpa adanya kontak budaya, kita mungkin belum bisa berbicara tentang budaya
dan peradaban Eropa yang begitu gemilang dan produktif.
Dalam
ilmu linguistik orang-orang Romawi mendapatkan pengalaman dalam hubungan mereka
dengan karya ilmu Yunani. Linguistik Romawi pada umumnya merupakan aplikasi
atau penerapan dari pikiran-pikiran Yunani, pertentangan-pertentangan Yunani,
kategori-kategori Yunaniterhadap bahasa Latin. Kesamaan struktur yang secara
relatif basar dari dua bahasa ini, dibarengi lagi oleh penyatuan peradaban yang
terdapat di dunia Yunani-Romawi ini, memudahkan pengalihan metalinguistik ini
(Parera, 1986: 48).
Parrera
(1986:48) mengungkapkan bahwa menurut kata dan cerita orang, pemasukan dan
perkenalan studi linguistik ke Roma dipercayakan kepada Crates, seorang filsuf
dan gramatikus golongan Stoik pada pertengahan abad ke-2 SM. Pasti ia
memasukkan pikiran-pikiran kaum Stoik, akan tetapi sudah pasti pula seorang
Romawi sendiri telah berkenalan dengan linguistik Yunani ini. Tokoh Romawi yang
secara serius membawa bidang linguistik/Bahasa Latin adalah Varro (116—27SM).
a.
Varro
Dalam buku De Lingua Latina,
Varro masih memperdebatkan masalah analogi dan anomali. Menurut Chaer (2012:
338-339), buku tersebut mengandung bidang-bidang, antara lain:
(1)
Etimologi,
adalah cabang lingustik yang meyelidiki asal usul kata beserta artinya,
dan perubahan bunyi misalnya, kata duellum menjadi belum yang artinya perang. perubahan makna misalnya kata hostis
yang semula berarti orang asing kemudian menjadi musuh.
(2)
Morfologi,
adalah cabang lingustik yang mempelajari kata dan pembentukannya menurut Varro
kata adalah bagian dari ucapan tidak dapat dibedakan lagi, yang nerupakan
bentuk minimum. Varro membagi tiga kelas kata latin dalam empat bagian,yaitu :
(a)
Kata benda,
termasuk kata sifat yakni kata yang berinfleksi kasus;
(b)
Kata kerja,
kata yang membuat peryatan yang berinfleksi tense ;
(3)
Partisipel,
kata yang menghubungkan (dalam sintaksis kata benda dan kata kerja )
berinfleksi kasus dan tense;
(4)
Adverbium, kata
yang mendukung (anggota bawah dari kata kerja) tidak berinfleksi.
Tentang kasus dalam bahasa latin menurut Varro ada enam, yaitu: (1) nominativus, yaitu bentuk primer atau
pokok; (2) genetivus, yaitu bentuk
yang menyatakan kepunyaan; (3) dativus,
yaitu bentuk yang menyatakan menerima; (4) akusativus,
yaitu bentuk yang menyatakan objek; (5) vokatikus,
yaitu bentuk sebagai sapaan atau panggilan; dan (6) ablativus, yaitu bentuk yang menyatakan asal (Chaer, 2012: 339).
Chaer (2012: 339) menambahkan pula mengenai deklinasi, yaitu perubahan
bentuk kata berkenaan dengan ketegori, kasus, jumlah, dan jenis. Varro
membedakan adanya dua macam deklinasi naturalis dan voluntaris. Yang dimaksud
dengan deklinasi naturalis adalah perubahan yang bersifat alamiah, sebab
perubahan itu dengan sendirinya dan sudah berpola. Deklinasi ini pada umumnya
bersifat regular; dan biasanya sudah dapat diketahui pemakai bahasa dengan
serta merta tanpa ragu-ragu. Sebaliknya, deklinasi voluntaris perubahannya
terjadi secara morfologis bersifat selektif dan manasuka. Jadi bersifat
ireguler. Oleh karena itu, pemakai bahasa harus sadar bagaimana ia melakukan
deklinasi itu.
b.
Institutiones Grammaticae atau Tata Bahasa Priscia
Chaer (2012: 240)
mengatakan bahwa dalam sejarah studi sastra, buku tata bahasa Priscia ini
dianggap sangat penting, karena beberapa hal berikut:
(1)
merupakan buku
tata bahasa latin yang paling lengkap yang ditentukan oleh pembicarakan aslinya.
(2)
teori-teori
tata bahasanya merupakan tonggak-tonggak utama pembicaraan bahasa secara tradisional.
Dengan dua alasan
tersebut, buku tata bahasa ini kemudian menjadi model dan contoh dalam
penulisan buku tata bahasa bahasa-bahasa lain di Eropa dan di bagian dunia
lain. Sebagai tata buku bahasa tradisional, buku ini secara nyata dan pasti
menggunakan semantik atau makna sebagai norma utama pembahasan bahasa, walaupun
segi-segi formal bahasa juga dibicarakan. Beberapa segi yang patut dibicarakan,
antara lain:
(a)
fonologi, dalam
bidang ini pertama-tama dibicarakan tulisan atau huruf yang disebut “litterae”. Litterae adalah bagian
terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan.nama huruf-huruf itu disebut figuerae, sedangkan nilai bunyi itu
disebut potestas. Bunyi itu dibedakan
atas empat macam, yaitu: (1) vox
artikulata, bunyi yang diucapkan untuk membedakan makna; (2) vox martikulata, yaitu bunyi yang tidak
diucapkan untuk menunjukkan makna; (3) vox
litterata, yaitu bunyi yang dapat dituliskan baik yang artikulata maupun
yang martikulata; dan (4) vox illiterate,
yaitu bunyi yang tidak dapat dituliskan;
(b)
morfologi,
dalam bidang ini dibicarakan mengenai dictio
atau kata. Kata adalah bagian yang minimum dari sebuah ujaran dan harus
diartikan terpisah dalam makna sebagai satu keseluruhan. Kata dibedakan atas
delapan jenis yang disebut partes
orationis. Kedelapan jenis itu antara lain: nomen, verbum, prtisipium,
pronomen, adverbium, praepositio, interjection, dan conjunction;
(c)
sintaksis, dibicarakan
dalam buku tersebut sintaksis adalah tata susun kata yang berseleras dan
menunjukan kalimat itu selesai (Chaer, 2012: 240)
2.4.1.2
Zaman Pertengahan
Studi bahasa pada zaman
pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf
skolastik, dan bahasa Latin menjadi lingua
franca, karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa
ilmu pengetahuan. Dari zaman pertengahan ini yang patut dibicarakan dalam studi
bahasa, antara lain adalah peranan Kaum
Modistae, Tata Bahasa Spekulativa, dan Petrus
Hispanus (Chaer, 2012: 341).
Parera (1986: 53)
mengungkapkan bahwa yang dibicarakan dalam studi bahasa pada zaman ini antara
lain :
a.
Kaum Modistae
Kaum Modistae masih
membicarakan pertentang fisis dan nomos dan pertentangan antara analogi dan
anomali. Mereka menerima konsep analogi karena menurut mereka bahasa itu
bersifat leguler dan bersifat universal. Mereka memperhatikan semantik secara
penuh sebagai dasar penyebutan definisi-definisi bentuk-bentuk bahasa. Mereka
pun mencari sumber makna. Maka dengan demikian berkembang pulalah bidang
etimologi pada zaman itu (Parera, 1986: 53).
b.
Tata Bahasa Spekulativa
Menurut tata bahasa spekulativa kata
tidak secara langsung mewakili alam dari
benda yang ditunjuk. Kata hanya mewakili hal adanya benda itu dalam berbagai
cara, modus, substansi, aksi, kualitas, dan sebagainya. Satu di antara
gramatikus-gramatiku dari zaman ini adalah Peter Hellas. Dia mengikuti jejak
Priscia, tetapi selalu memberi komentar berasarkan logika Aristoteles (Parera,
1986: 54).
Dalam buku Parera (1986: 55)
dijelaskan bahwa Petrus Hispanus
merupakan tokoh yang berperan penting dalam perkembangan linguistik zaman
pertengahan. Dalam bukunya yang berjudul Summulae
Logicales. Peranannya dalam linguistik, antara lain:
(a)
memasukkan
psikologi dalam analisis makna bahasa. Membedakan antara signifikasi utama dan
konsignifikasi yaitu pembedaan pengertian pada bentuk akar dan pengertian yang
dikandung oleh imbuhan-imbuhan;
(b)
Membedakan
nomen atas dua macam, yaitu nomen substantivum dan nomen adjectivum;
(c)
Membedakan partes dan orationes categoremetik dan syntategorematik;
2.4.1.4 Zaman Renaisans
Zaman Renaisans dianggap sebagai zaman
pembukaan abad pemikiran abad modern.
Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans yang menonjol:
1)
penguasaan
bahasa oleh sarjana-sarjana pada waktu itu (Latin, Yunani, Ibrani, Arab);
2)
selain bahasa
Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga mendapat
perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa, dan malah juga
perbandingan (Chaer, 2012: 342—343).
Bahasa Ibrani dan bahasa Arab banyak di pelajari orang pada akhir abad
pertengahan. Kedua bahasa itu diakui resmi pada akhir abad ke-14 di Universitas
Paris. Bahasa Ibrani perlu diketahui dan dipelajari karena kedudukannya sebagai
bahasa kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian
Baru. Beberapa buku tata bahasa Ibrani telah ditulis oleh orang Renaisans
itu, antara lain oleh Roger Bacon, Reuchlin, dan N. Clenard. Reuchlin menulis
buku yang berjudul De Rudiimentis
Hebraicis tentang penggolongan kata. Berbeda dengan tata bahasa Yunani dan
Latin, Reuchlin menggolongkan kata bahasa Ibrani atas nomen, verbum, dan partikel. Penggolongan
ini mirip dengan penggolongan kata dalam bahasa Arab ismun, fi’lun, dan harfun. Sesungguhnya
bahasa Ibrani dan bahasa Arab memang dua bahasa yang serumpun; dan perkembangan
studi yang memang sudah lebih dahulu memperoleh kemajuan. Itulah sebabnya,
istilah-istilah dan kategoi-kategori yang digunakan banyak diambil dari bahasa
Arab (Chaer, 2012: 343).
Menurut Chaer
(2012: 344) inguistik Arab berkembang pesat karena kedudukan bahasa Arab
sebagai bahasa Kitab Suci agama Islam, yaitu Qur’an, menurut pendapat kebanyakan
Ulama Islam tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Ada 2 aliran
Linguistik Arab:
(a)
aliran Basra
(mendapat pengaruh konsep analogi dari zaman Yunani, yang membuat mereka
berpegang teguh pada kereguleran dan kesistematisan bahasa Arab);
(b)
aliran Kufah
(menganut paham anomali)
Studi bahasa
Arab mencapai puncaknya pada abad ke-8 dengan terbitnya buku tata bahasa Arab
berjudul Al-Kitab atau Al-Ayn karya Imam Sibawaihi dari kelompok Basrah. Dalam
kitabnya itu, Sibawaihi membagi kata atas tiga kelas, yaitu ismun (nomen), fi’lun (verbum), dan harfun (partikel). Dalam membuat
deskrpsi fonetik, Sibawaihi telah melepaskan diri dari pengaruh Yunani.
Bahasa-bahasa
Eropa, sebetulnya juga menarik perhatian sejak sebelum zaman Renaisans, di
samping bahasa Latin dan bahasa Yunani. Pada abad ke-7 telah tercatat adanya
sebuah buku tata bahasa Irlandia; pada abad ke-12 tercatat pula adanya buku
Islandia; sedangkan pada abad ke-13 dijumpai pula buku tata bahasa Provencal.
Yang mendapat perhatian secara khusus dan serius adalah studi mengenai bahasa
Roman atau Neo-Latin. Lebih-lebih setelah Dante munlis buku De Vulgari Eloquentia pada permulaan
abad ke-14. Dalam buku itu Dante mempelajari bahasa yang dipakai sehari-hari
yang diketahui sejak kecil. Dante juga mengusulkan agar bahasa Italia dijadikan
bahasa persatuan di seluruh Italia. Adanya hubungan antara bahasa-bahasa Roman
dengan bahasa Latin menyebabkan timbulnya studi bahasa-bahasa secara diakronik.
Perubahan bunyi bahasa Latin ke dalam bahasa Spanyol, bahasa Perancis, dan
bahasa Italia dicatat dengan cermat. Demikian juga muncullah diskusi-diskusi
tentang perubhan linguistik, kontak-kontak bahasa, percampuran bahasa, serta
pengalihan bahasa dari satu generasi ke generasi lain (Chaer, 2012: 344).
2.4.1.5 Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Ferdinand de Saussure
dianggap sebagai bapak Linguistik Modern. Masa antara lahirnya linguistik
modern dengan masa berakhirnya zaman reneisans ada satu tonggak yang sangat
penting dalam sejarah studi bahasa. Tonggak yang dianggap sangat penting itu
adalah dinyatakannya adanya hubungan kekerabatan antara bahasa sansekerta
dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya. Hal tersebut
dinyatakan oleh Sir William Jones dari East
India Company di hadapan The Royal
Asiatic Society di Kalkuta pada
tahun 1786. Pernyataan Sir William Jones itu telah membuka babak baru sejarah
linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik bandingan atau
linguistik historis komparatif; serta studi mengenai hakikat bahasa secara
linguistik terlepas dari masalah filsafat Yunani kuno (Chaer, 2012: 345).
Kalau
linguistik tradisional selalu menerapkan pola-pola tata bahasa Yunani dan Latin
dalam mendeskripsikan suatu bahasa, maka linguistik strukturalis tidak lagi
melakukan hal demikian. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu
bahasa berdasarkan cirri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan
ini adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan-pandangan baru
terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh bapak Linguistik Modern,
yaitu Ferdinand de Saussure.
2.4.2
Penerus Linguistik Tradisional di Indonesia
Menurut Yohanes (2007), linguistik di Indonesia mengalami
keterlambatan 23 abad, tata bahasa tradisional yang booming pada 400 SM, di
Indonesia baru memperoleh wujudnya pada 1950-an, misal pada Tatabahasa Baru
Bahasa Indonesia Sutan Takdir Alisjahbana, atau baru berwujud pada 1653 ketika
Joannes Ramon menulis tata bahasa Melajoe.
Joannes Ramon dalam
pendeskripsian fenomena bahasa Melajoe, ia menggunakan istilah dalam bahasa
Belanda yang tidak lain terjemahan istilah Latin, misalnya dalam penyebutan
kelas kata. Oleh Joannes Ramon kelas kata dalam bahasa Melajoe dibedakan atas
(1)namen atau benda, (2)voornamen atau kata ganti, (3)woorden atau kata kerja,
(4)bijwoorden atau kata keterangan, (5)voorzettingen atau kata depan,
(6)koppelingen atau kata sambung, dan (7)inwurpen atau kata seru (Kridalaksana,
2002:4). Pembagian kelas kata seperti itu tidak jauh berbeda dengan yang
dilakukan Dyonisius Thrax (100 SM) atas (1)onoma atau kata benda, (2)antonymia
atau kata ganti, (3)rhema atau kata kerja, (4)epirrhema atau kata keterangan,
(5)prothesis atau kata depan, (6)syndesmoi atau kata sambung, (7)metosche atau
partisipel, dan (8) arthron atau kata sandang (Sulaiman, 1973:15; Pateda,
1990:16).
Analisis tata bahasa
tradisional mendasarkan pada kaidah bahasa lain terutama Yunani, Romawi, dan
Latin. Semua paham bahwa karakteristik bahasa Indonesia, misalnya, tidak sama
dengan bahasa-bahasa tersebut. Bahasa Yunani, Romawi, dan Latin tergolong
bahasa deklinatif, yaitu yang perubahan katanya menunjukkan kategori, kasus,
jumlah, atau jenisnya (Kridalaksana,1984: 36), sedangkan bahasa Indonesia
tergolong sebagai bahasa inflektif, yaitu perubahan bentuk katanya menunjukkan
hubungan gramatikal (Kridalaksana, 1984: 75).
Pada 1910, Sasrasoeganda
menulis Kitab jang Menjatakan Djalan Bahasa Melajoe, yang menurut Sutan Takdir
Alisjahbana merupakan buku teks yang sangat berpengaruh di kalangan guru pada
waktu itu (Kridalaksana dalam Yohanes, 1985). Padahal, buku tersebut
jelas-jelas ditulis berdasarkan tradisi Yunani-Romawi sebagaimana diintroduksi
oleh Thrax ataupun Joannes Ramon. Hal itu terbukti dalam pembahasannya, misal:
perkataan nama benda, perkataan nama sefai, perkataan pengganti nama, perkataan
pekerjaan, perkataan bilangan, perkataan tambahan, perkataan pengantar (baca:
preposisi), perkataan penghubung, dan perkataan penyeru (Kridalaksana dalam Yohanes,
1985). Buku Sasrasoeganda tersebut disusun berdasar karya van Wijk (1889)
Spraakleer der Maleiche Taal yang notabene juga memboyong tradisi
Yunani-Romawi.
Mulai tahun 1940,
ahli-ahli bahasa memperdalam ilmunya dengan menulis beberapa buku. Ahli
tersebut antara lain: Za’ba berjudul Pelita Bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh
buku Winstedt Malay Grammar (1914). Selang dua tahun, pada 1942 di Indonesia
terbit Djalan Bahasa Indonesia karya Soetan Moehammad Zain. Berturut-turut
setelah itu Ilmu Saraf Indonesia (1944) karya B.R. Motik, Tatabahasa Indonesia
(1946) karya Husain Munaf, Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1 (1949) karya
Sutan Takdir Alisjahbana, yang setahun kemudian (1950) disusul buku kedua
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 2. Pada tahun yang sama (1950) terbit juga
karya Fokker Beknopte Grammatica van de Bahasa Indonesia, dan karya Armijn Pane
Mentjari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia. C.A. Mees pada 1953 menulis
Tatabahasa Indonesia, kemudian Poedjawijatna dan Zoetmulder menulis Tatabahasa
Indonesia I, II (1955). Pada 1956 Slametmuljana menulis Kaidah Bahasa Indonesia
I, II, Tardjan Hadidjaja Tatabahasa Indonesia, Batuah Zainnudin Dasar-dasar
Tatabahasa Indonesia. Pada 1964 Soetarna menerbitkan Sari Tatabahasa Indonesia.
Buku-buku tersebut pada
masanya dijadikan rujukan dalam pengkajian maupun pengajaran bahasa Indonesia.
Buku-buku itu tergolong berpendekatan tata bahasa tradisional. Seperti pada
buku Mees (1953), pembahasan kopula adalah, jadi, dan menjadi membuktikan ciri
translingual dengan memindahkan kaidah bahasa Eropa ke dalam bahasa Indonesia.
Penjenisan objek, sebagaimana dilakukan Sutarno (dalam Yohanes, 2007), atas
(1)objek penderita, (2)objek pelaku, (3)objek penyerta, dan (4)objek berkata
depan menampakkan pengaruh deklinasi seperti telah dibahas di muka sesungguhnya
takbersesuaian dengan tabiat bahasa Indonesia.
Buku-buku tersebut lebih
dominan pada bahasa tulis. Begitupun penjelasan konsep yang terjadi pada
buku-buku tersebut yang banyak didasarkan pada nosi atau makna mengindikasikan
dominasi tradisional pada karya tersebut. Oleh karena itu, cukup beralasan
untuk mengatakan bahwa sampai dengan sebelum 1965-an perkembangan linguistik di
Indonesia terdominasi oleh tata bahasa tradisional.
Kewarna-warnian bahasa
Indonesia sekarang dapat dilihat bahwa kajian berdasar teori tradisional pada
periode 2000-an ini masih juga mewarnai peristiwa linguistis (penelitian
ataupun pengajaran) bahasa Indonesia.
2.5 Analisis
Kalimat
Berikut akan dipaparkan analisis kalimat sesuai dengan
prinsip-prinsip linguistik tradisional. Karena prinsip yang masih sederhana,
maka penganalisisannya sebatas jenis kalimat dan penggolongan rhema, onoma, serta syndesmoi.
Berdasarkan
pada teori Protagoras, mengenai jenis-jenis kalimat yang antara lain kalimat narasi, kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat perintah, kalimat laporan,
do’a dan undangan. Kelima kalimat dibawah ini hanya termasuk kalimat berita
atau laporan.
1.
Hari
ini saya belajar linguistik.
2.
Saya
suka membaca buku.
3.
Aku
ingin melampiaskan rindu yang terpendam.
4.
Saya
tidak masuk karena sakit.
5.
Dirinya
sakit karena disakiti.
Analisis
berikut didasarkan pada pandangan Plato mengenai jenis kata : Onoma dan Rhema.
1.
Hari
ini saya belajar linguistik.
(onoma) (rhema)
2.
Saya suka
membaca buku.
(onoma) (rhema)
3.
Aku
ingin melampiaskan rindu yang terpendam.
(onoma) (rhema)
4.
Saya tidak
masuk karena sakit.
(onoma) (rhema)
5.
Dirinya sakit
karena disakiti.
(onoma) (rhema)
Analisis
kalimat berikutdidasarkan pada teori Aristoteles yang menambahi pandangan
gurunya (Onoma, Rhemata, Syndesmoi,
dan Arthoron). Karena bahasa
Indonesia tidak mengenal kosakata bergender, maka penggolongan Arthoron ditiadakan.
1.
Hari
ini saya belajar linguistik.
(onoma)
(rhema)
2.
Saya suka
membaca buku.
(onoma) (rhema)
3.
Aku
ingin melampiaskan rindu yang terpendam.
(onoma) (rhema)
4.
Saya tidak
masuk karena sakit.
(onoma) (rhema ) (syndesmoi)
5.
Dirinya sakit
karena disakiti.
(onoma) (onoma) (syndesmoi)
Menurut Aristoteles, penambahan satu kelas kata lagi yang
dibuat oleh gurunya, Plato, yaitu dengan syndesmoi
seperti kata “karena” yang terbukti bahwa kata ini merupakan penghubung
kalimat.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
penjabaran di muka, maka dapat ditarik beberapa simpulan yang sesuai dengan
masalah yang diajukan, antara lain:
1.
dalam sejarah
perkembangannya, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham, pendekatan,
dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat rumit, saling berlawanan
dan membingungkan terutama bagi para pemula. Begitu pula dengan aliran
tradisional, teori ini dimulai dari zaman Yunani yang mempertentangkan masalah
bahasa yang bersifat fisis dan nomos, analogi dan anomali. Dari zaman ini
dikenal beberapa tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa. Muncul
zaman Romawi sebagai kelanjutan dari zaman Yunani, zaman Pertengahan, zaman
Renaisans, hingga menjelang lahirnya Linguistik Modern yang masing-masing
tokohnya memiliki kekhasan dalam pemikiranya. Tata bahasa tradisional tidak
mengenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan tulisan, dan mengacu pada
kaidah bahasa yang dibuat secara preskriptif serta melibatkan logika.
2.
Tokoh
Linguistik Tradisional antara lain Protagoras, Gorgias, dan Plato. Namun dari
ketiga atokoh itu yang paling banyak dianut dan dikembangkan adalah pendapat
dari plato.
3.
Penerus atau
perkembangan linguistik tradisional antara lain: (a) Di dunia: Aristoteles yang
mengembangkan teori gurunya, Kaum Stoik yang membagi jenis-jenis kata menjadi
bermacam-macam serta mengklasifikasikan kalimat aktif-pasif dan kalimat
transitif-intransitif, ada pula kaum Alexandria dengan buku karangan Dinosyous
Thrax, pada zaman Romawi terdapat tokoh Varro dan Pricia. (b) Di Indonesia: pada tahun 1940-an, ahli
bahasa Indonesia berbondong-bondong mengembangkan ilmu bahasa mereka dengan
menyusun buku-buku yang digunakan sebagai pedoman materi bahasa di sekolah.
Hingga tahun 2000-an Linguistik Tradisional masih digunakan
4.
Keenam kalimat di muka bisa digolongkan ke dalam jenis
kalimat berita. Sedangkan menurut analisis Plato, di dalam keenam kalimat
itu terdapat onoma dan rhema. Dan keenam
kalimat tersebut bisa digolongkasn ke dalam onoma, rhema, syndesmoi menurut
Aristoteles.
3.2 Saran
a.
Masih banyak ke kurangan dalam makalah ini, itu sebabnya
penulis mengharapkan kritik serta saran demi kelengkapan serta keakuratan
pembahasan linguistik tradisional ini.
b.
Penulis selanjutnya diharap lebih teliti dalam
menganalisis kalimat berdasarkan tokoh-tokoh karena pendapat mereka meski
terlihat sama tetapi sebenarnya berbeda.
c.
Makalah ini masih terbatas pada pembahasan tentang
sejarah, ciri-ciri, kelebihan dan kelemahan aliran tradisional, dan zaman-zaman
yang terdapat pada aliran tradisional. Pada pengkajian selanjutnya diharapkan
lebih mendalam dan lebih luas.
DAFTAR REFRENSI
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka
Cipta.
Lyons, John. 1968.
Introduction to Theorical Linguistics. Cambridge: Cambridge at The University
Press.
Parera, Jos
Daniel. 1986. Studi Linguistik Umum dan Historis Bandingan. Malang: Penerbit
Erlangga.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta:
PT Tiara Wacana.
Taukit,
Muhammad, dkk. 2013. Tugas Linguistik: Linguistik Tradisional. (http://cintabahasa13.blogspot.co.id/2013/12/aliran-tradisional-revisi-ke-1.html?m=1, diakses pada 5Desember
2015).
Yohanes,
Budinuryanta. 2007. Perkembangan Linguistik di Indonesia. (http://bentarabahasa.blogspot.co.id/2007/12/perkembangan-linguistik-di-indonesia.html?m=1, diakses pada 5 Desember
2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar