Minggu, 12 November 2017

LINGUISTIK TRADISIONAL

LINGUISTIK TRADISIONAL

Oleh 
 Jose Da Conceicao Verdial


PENDAHULUAN
     1.1  LATAR BELAKANG

Setiap ilmu memiliki sejarah yang panjang, begitu juga linguistik. Sebagai ilmu, linguistik mempunyai tahap-tahap perkembangan. Pada dasarnya setiap ilmu termasuk juga ilmu linguistik telah mengalami beberapa tahap perkembangan, yaitu dari tahap pertama yang disebut tahap spekulasi, tahap kedua disebut tahap observasi dan klasifikasi, dan tahap ketiga disebut tahap perumusan teori. Pada tahap spekulasi, pernyataan-pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan pada data empiris, melainkan pada dongeng atau cerita rekaan belaka. Penyelidikan yang bersifat ilmiah baru dilakukan orang pada tahap ketiga, dinamakan bahasa yang diteliti itu bukan hanya diamati dan diklasifikasi tetapi juga dibuatkan oleh teorinya.
Linguistik dewasa ini berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya teori dan penelitian yang telah dihasilkan serta munculnya bermacam-macam gerakan dan aliran. Perkembangan teori-teori tersebut merata pada pelbagai cabang-cabang linguistik, seperti pada fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, juga pragmatik. Perkembangan teori dan makin banyaknya penelitian yang dihasilkan itu tidak terlepas dari teori yang memayungi. Di antara aliran-aliran tersebut adalah aliran linguistik pertama, aliran tradisional.
Dalam sejarah perkembangannya, aliran linguistik tradisional dimulai pada zaman Shopis, Yunani, zaman Romawi, zaman Pertengahan, zaman Renaisans sampai pada zaman yang disebut linguistik modern. Linguistik ini, dipenuh berbagai pemikiran-pemikiran filsafat tokoh-tokoh besar pada zamannya. Tokoh-tokoh yang membawa hasil perenungannya mempunyai peranan besar dalam studi bahasa.
Dari latar belakang tersebut, maka di dalam makalah ini akan dipaparkan lebih rinci ciri-ciri linguistik tradisional, dipaparkan pula tokoh serta pendapat yang dibawanya pada masing-masing zaman. Selain itu, beberapa contoh analisis kalimat berdasarkan pendapat tokoh masing-masing tersebut dicantumkan dan dijabarkan.
1.2  Tujuan Penulisan
Dari latar belakang di muka, maka tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1.      Mendeskripsikan ciri-ciri linguistik tradisional.
2.      Mendeskripsikan tokoh-tokoh linguistik tradisional.
3.      Mendeskripsikan penerus atau perkembangan linguistik tradisional.
4.      Mendeskripsikan kalimat yang dianalisis berdasarkan aliran linguistik tradisional.


 PEMBAHASAN
2.1 Linguistik Tradisional
               
Linguistik tradisional adalah suatu paham atau aliran yang ada pada zaman Yunani kuno hingga zaman Renaisans. Chaer (2012: 333) istilah tradisional dalam linguistik sering dipertentangkan dengan istilah struktural, sehingga dalam pendidikan formal ada istilah tata bahasa tradisional dan tata bahasa struktural. Kedua jenis tata bahasa ini banyak dibicarakan orang sebagai suatu hal yang bertentangan, sebagai akibat dari pendekatan keduanya yang tidak sama terhadap hakikat bahasa. Tata bahasa tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik; sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam suatu bahasa tertentu, dalam merumuskan kata kerja misalnya, tata bahasa tradisional mengatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan tindakan atau kejadian. Sedangkan tata bahasa struktural menyatakan kata kerja adalah kata yang dapat berdistribusi dengan frase “dengan…”.
Tata bahasa tradisional terbentuk  dari  masa yang lama, yaitu mulai dari Shopis, Plato, Aristoteles, Kaum Stoik, Kaum Alexandrian, zaman Romaawi, zaman Pertengahan, zaman Renaisans hingga menjelang lahirnya linguistik modern sekitar akhir abad  ke-19 (Chaer, 2012: 333). Tata bahasa terbentuk atas pemikiran-pemikiran beberapa tokoh filsafat dan penerusnya.

2.2 Ciri-Ciri Linguistik Tradisional
            Chaer (2012: 345) memaparkan lima ciri umum dari linguistik tradisional. Ciri-ciri tersebut antara lain:
a)      pada tata bahasa tradisional ini, tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan bahasa tulis. Oleh karena itu, deskripsi bahasa hanya bertumpu pada bahasa tuisan;
b)      bahasa yang disusun, tata bahasanya didsekripsikan dengan mengambil patokan-patokan dari bahasa lain, terutama bahasa latin;
c)      kaidah-kaidah bahasa dibuat secara preskriptif, yakni benar atau salah;
d)     persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan logika;
e)      penemuan-penemuan kesimpulan itu jelas bahwa pegangan bahasa tidak sama dengan konsep aliran-aliran lain.

2.2 Tokoh-Tokoh
            Setiap aliran atau paham pasti memiliki tokoh-tokoh perintisnya, begitu juga aliran tadisional ini. Tokoh penggagas aliran Linguistik ini adalah tokoh-tokoh dari bangsa Yunani. Antara lain Protagoras dan Georgias. Mereka menjabarkan jenis-jenis kalimat tetapi pendapat dari kedua tokoh itu tidak terlalu menonjol. Berbeda lagi dengan Plato, seorang filusuf yang pendapatnya selalu dikembangkan oleh ahli-ahli sesudahnya yaitu mengenai onoma dan rhema (Chaer, 2012: 345).
            Studi bahasa pada zaman Yunani mempunyai sejarah yang sangat panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 S.M. sampai lebih kurang abad ke-2 M. jadi, kurang lebih sekitar 600 tahun. Tokoh yang mempuyai peranan besar dalam studi pada zaman Yunani.

2.3.1        Sophis
Menurut Chaer (2012: 335) kelompok Sophis muncul pada abad ke-5 sebelum masehi mereka terkenal dalam studi bahasa, antara lain karena:
(a)  Mereka melakukan kerja secara empiris.
(b)  Mereka melakukan kerja secara pasti dengan menggunakan ukuran-ukuran  tertentu.
(c)  Mereka sangat mementingkan bidang retorika dalam studi bahasa.
(d)  Mereka membedakan tipe kalimat berdasarkan isi dan makna.
              Satu di antara beberapa tokoh Sophis, Protagoras membagi kalimat menjadi kalimat narasi tanya, kalimat jawab, kalimat perintah, kalimat laporan, do’a dan undangan. Tokoh lain Gorgias membicarakan gaya bahasa (Chaer, 2012:335).

2.3.2        Plato (429-347 Sebelum Masehi )
Masalah pokok kebahasaan yang menjadi prtentangan para linguis pada waktu itu adalah (1) pertentangan antara fisis dan nomos, dan (2) pertentangan antara analogi dan anomali.  Lyons (1968:4—5)  mengatakan bahwa filsuf-filsuf Yunani memperdebatkan apakah bahasa dipengaruhi oleh “alam” atau “konvensi”. Pertentangan antara “alam” dan “konvensi” ini biasa dalam spekulasi filsafat Yunani. Apabila suatu lembaga tertentu dikatakan ”alamiah”, itu berarti bahwa lembaga tersebut berasal dari asas-asas yang abadi dan tak berubah di luar manusia sendiri. Apabila dikatakan ”konvensional” maksudnya adalah hasil dari kebiasaan dan tradisi (yaitu persetujuan yang tak terucapkan, atau ”perjanjian sosial” antara anggota-anggota masyarakat), karena itu hasil perbuatan manusia sendiri.
Dalam diskusi tentang bahasa, perbedaan ”alam” dan ”konvensi” dipertegas, terutama untuk menjawab pertanyaan apakah mesti ada hubungan antara arti sebuah kata dan bentuknya. Para penganut aliran ”naturalis” yang ekstrem, seperti Cratylus, berpendapat bahwa semua kata secara ”alamiah” memang sesuai dengan sesuatu yang ditandainya. Maka, lahirlah etimologi, yang mempelajari tentang asal-usul kata dengan maknanya. Kata etymo berarti ”benar” atau ”nyata”, mengisyaratkan asalnya yang filosofis. Membeberkan asal sebuah kata dan dengan demikian juga artinya yang ”benar” berarrti mengungkapkan salah satu kebenaran ”alam” (Lyons, 1968:4—5)  .
Menurut John Lyons (1995:6), kata “analogi” berasal dari terjemahan kata Yunani analogia ke dalam bahasa Latin yang berarti ”teratur”. Kata ”analogi” juga dipakai dalam arti yang lebih khusus, yakni berarti ”perbandingan” matematis. Berdasarkan itu, kita katakan, misalnya, bahwa perbandingan 6:3 sama dengan perbandingan 4:2, 2:1, dan seterusnya. Istilah terakhir ini tidak dipakai disini. Sedangkan kata ”anomali” terdiri dari ”a” berarti ”tidak”, ”nomalia” berati ”teratur”. Jadi jika dihubungkan artinya ”tidak teratur”.
Untuk membedakan antara kaum analogis dan kaum anomalis, kembali menurut  John Lyons (1995:6) adalah mereka yang berpendapat bahwa bahasa itu pada hakikatnya sistematis dan teratur biasanya disebut kaum ”analogis”, dan mereka yang berpendapat dengan sebaliknya disebut kaum ”anomalis”. Jadi aliran analogis berpandangan bahwa bahasa pada hakikatnya sistematis dan teratur. Sedangkan aliran anomalis berpandangan bahwa hakikat bahasa itu tidak sistematis dan tidak teratur.
Tokoh analogi antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Karena adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun tata bahasa. Jika tidak teratur tentu yang dapat disusun hanya idiom-idiom saja dari bahasa itu. Keteraturan bahasa itu tampak, misalnya dalam pembentukan jamak bahasaInggris: boysàboys, girlàgirls. Juga dalam pembentukan jamak bahasa Arab muslimunàmuslima:niàmuslimu:na, dan mualiimunà muallima:niàmuallimu:na. sebaliknya kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Kalau bahasa itu teratur, mengapa bentuk jamak bahasa Inggris child menjadi children, bukannya childs; dan seterusnya (Chaer, 2012: 334) .
Di dalam buku Abdul Chaer (2012:335—336) menyebutkan bahwa dalam studi bahasa, pendapat Plato mengenai linguistik tradisional terkenal karena:
(1)   Memperdebatkan analogi dan anomali bukunya dalam bukunya Dialoog. Selain itu, Plato juga mengemukakan masalah bahasa alami dan bahasa konvensial. Seperti yang telah dijelaskan di muka, ada beberapa filsuf yang mempertentangkan hal-hal tersebut karena alas an kuat yang dimiliki.
(2)   Memberikan batasan bahasa yang berbunyi: bahasa adalah menyatakan pikiran manusia dengan perantara onomata dan rhemata;
(3)    Orang yang pertama kali membedakan kata dalam onoma dan rhema. Onoma (bentuk tunggalnya onomata) berarti nama dalam sehari-hari nomina, nominal dalam istilah bahasa, subjek dalam hubungan subjek logis, sedangkan rhema berarti ucapan sehari-hari, verba dalam istilah bahasa, predikat dalam hubungan predikat logis keduanya merupakan anggota logis, yaitu kalimat atau klausa.

2.4      Penerus
Plato merupakan pelopor aliran linguistik tradisional. Ahli bahasa meneruskan pemikiran-pemikiran yang didapatkan oleh Plato. Hal tersebut dikarenakan mereka kurang puas dengan pemikiran-pemikiran tersebut sehingga melengkapi pemikiran-pemikiran yang telah ada.  Berikut Tokoh-tokoh yang merupakan penganut/penerus teori ini baik lingkup internasional maupun nasional (Indonesia).

2.4.1 Penerus Linguistik Tradisional di Dunia
Zaman Yunani
Di zaman Yunani ini melahirkan banyak filosuf yang sangat berperan dalam dunia linguistik antara lain pelopor Linguistik Tradisional, Plato dan beberapa penerusnya, antara lain:




a.      Aristoteles
Aristoteles adalah murid dari Plato. Ia mengembangkan pendapat dari gurunya itu. Berikut hasil pemikiran Aristoteles yang terangkum dalam buku Chaer (2912: 336):
(1)   Menambahkan satu kelas kata yaitu syndesmoi. Ia menambahi pendapat gurunya. Menurut Aristoteles terdapat tiga macam kelas kata yaitu onoma, rhema,dan syndesmoi. Syndesmoi yaitu kata-kata yang lebih banyak bertugas dalam hubung sintaksis (sama dengan preposisi dan konjungsi);
(2)   Membedakan jenis kelamin kata (gender). Penjenisan tersebut dibagi menjadi tiga yaitu, maskulin, feminin, dan neutrum atau netral.
(3)   Selain itu, Aristoteles selalu bertolak pada logika. Dia memberikan pengertian, definisi, konsep, makna, dan sebagainya selalu berdasarkan logika.
(4)   Satu kemajuan pula dibuat oleh Aristoteles ialah pengakuannya bahwa rhema menunjukkan tense dalam bahasa Yunani. Rhema tersebut menunjukkan sebuah pekerjaan yang telah, belum selesai, dan sebagainya.

b.      Kaum Stoik
                  Kaum Stoik adalah sekelompok ahli filsafat yang berkembang pada permula abad ke-4 SM. Kontribusi kaum Stoik terhadap bahasa cukup besar, walaupun mereka belum lepas dari pandangan dan pengaruh logika dalam menganalisis bahasa. Namun demikian, dapat kita sebutkan hal-hal yang utama dari kelompok Stoik ini.  Hal-hal tersebut anatara lain:
(1)   Membedakan studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara tata bahasa;
(2)   Menciptakan istilah-istilah khusus untuk studi bahasa;
(3)   Membedakan komponen utama dan studi bahasa yaitu (a) tanda, simbol, sign atau semainon: (b) makna, apa yang sebut semainomen atau lekton: (c) hal-hal di luar bahasa yakni benda atau situasi;
(4)   Membedakan legein, yaitu bunyi yang merupakan bagian dari fonologi tetapi tidak bermakna dan propheretal yaitu ucapan bunyi bahasa yang mengandung makna;
(5)   Membagi jenis kata menjadi empat, yaitu kata benda, kata kerja, syndesmoi dan arthoron yaitu kata-kata yang menyatakan jenis kelamin dan jumlah;
(6)   Membedakan adanya kata kerja komplet dan kata kerja tidak komplet, serta kata kerja aktif dan kata kerja pasif (Chaer, 2012: 336—337)
   Dari uraian-uraian di muka, tampak bahwa yang telah dihasilkan oleh kaum Stoik lebih banyak dan lebih jauh dibandingkan dengan temuan-temuan Aristoteles. Penyimpulan Chaer itu sama dengan Parera. Parera (1986:44) menambahkan satu hal lagi yaitu kaum Stoik membedakan pula kata kerja transitif dan intransitif.

c.       Kaum Alexandrian
Sarjana-sarjana Alexandria melanjutkan pekerjaan yang telah dirintis oleh kaum Stoik. Dan dari Alexandrilah kita memiliki Tata bahasa Tradisional. Di sini karya tata bahasa Yunani telah dikodifikasikan. Dan dari mereka kita mewarisi sebuah buku tata bahasa yang bisebut tata bahasa Dionysius Thrax. Buku itu sering disebut sebagai cikal bakal tata bahasa tradisonal berasal dari buku Dionysius Thrax (Parera, 1986: 45).
Dalam buku Dionysius Trax tersebut hanya membicarakan bidang Fonologi dan Morfologi, sedangkan Sintaks sama sekali tidak dibicarakan dalam tata bahasa ini. Parera (1986: 45--46) menyebutkan tata bahasa yang dianggap penting antara lain:
(a)    Bab tentang huruf-huruf
Ada 24 huruf mulai dari Alpha sampai dengan Omega. Di antaranya ia bagikan lagi 7 vokal: a, e, ē, i, o, y, ō. Bunyi-bunyi ini disebut dengan bunyi sendiri. Dan 18 huruf yang lain merupakan konsonan.
(b)   Part of Speech/Jenis Kata
Dionysius membedakan 8 jenis kata, yaitu: onoma, rhema, metoche, arthron, antonymia (pronomen), prosthesis (preposisi), (ephirrhema (adverbium), dan syndesmoi.

Sebagaimana dengan penggolongan jenis kata dari zaman-zaman sebelumnya, Dyonysius Tharx pun menganggap kata sifat termasuk dalam  kata benda, karena dalam bahasa Yunani kata sifat berinfleksi menurut kata benda atau sama dengan kata benda Parera (1986: 46).
Chaer (2012: 337) menyebutkan bahwa di India pada tahun 400 SM ada seorang sarjana Hindu bernama Panini yang menyusun sekitar 400 pemerian tentang struktur tata bahasa sansakerta . Leonard Bloomfield (1887-1949) menyebut Panini sebagai one of the greatest monuments of the human intelligence karena buku Astdhyasi itu merupakan deskripsi lengkap dari bahasa sansakerta yang pertama kali ada.
Sezaman dengan sarjana-sarjana Yunani di atas, di India pada tahun 400 SM. Panini, seorang sarjana Hindu, telah menyusun kurang lebih 4000 pemerian tentang struktur bahasa sansekerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yang masih dipakai dalam linguistik modern. Leonard Bloomfield (1887 - 1949), seorang tokoh linguis struktural Amerika, menyebut Panini sebagai one of the greatest monuments of human intelligence karena buku tata bahasa Panini, yaitu Astdhyasi merupakan deskripsi lengkap dari bahasa sansekerta yang pertama kali ada (Chaer, 2012: 337)

2.4.1.1  Zaman Romawi
            Menurut Parera (1986: 47), studi bahasa pada zaman Romawi dapat dianggap kelanjutan dari zaman Yunani, sejarah jatuhnya Yunani setelah Alexander Agung memunculkan satu Imperium Baru, Imperium Romawi yang berkembang ke Timur dan Barat Italia. Tanpa adanya kontak budaya, kita mungkin belum bisa berbicara tentang budaya dan peradaban Eropa yang begitu gemilang dan produktif.
            Dalam ilmu linguistik orang-orang Romawi mendapatkan pengalaman dalam hubungan mereka dengan karya ilmu Yunani. Linguistik Romawi pada umumnya merupakan aplikasi atau penerapan dari pikiran-pikiran Yunani, pertentangan-pertentangan Yunani, kategori-kategori Yunaniterhadap bahasa Latin. Kesamaan struktur yang secara relatif basar dari dua bahasa ini, dibarengi lagi oleh penyatuan peradaban yang terdapat di dunia Yunani-Romawi ini, memudahkan pengalihan metalinguistik ini (Parera, 1986: 48).
            Parrera (1986:48) mengungkapkan bahwa menurut kata dan cerita orang, pemasukan dan perkenalan studi linguistik ke Roma dipercayakan kepada Crates, seorang filsuf dan gramatikus golongan Stoik pada pertengahan abad ke-2 SM. Pasti ia memasukkan pikiran-pikiran kaum Stoik, akan tetapi sudah pasti pula seorang Romawi sendiri telah berkenalan dengan linguistik Yunani ini. Tokoh Romawi yang secara serius membawa bidang linguistik/Bahasa Latin adalah Varro (116—27SM).



a.      Varro
              Dalam buku De Lingua Latina, Varro masih memperdebatkan masalah analogi dan anomali. Menurut Chaer (2012: 338-339), buku tersebut mengandung bidang-bidang, antara lain:
(1)   Etimologi, adalah cabang lingustik yang meyelidiki asal usul kata beserta artinya, dan  perubahan bunyi misalnya, kata duellum menjadi belum yang artinya perang. perubahan makna misalnya kata hostis yang semula berarti orang asing kemudian menjadi musuh.
(2)   Morfologi, adalah cabang lingustik yang mempelajari kata dan pembentukannya menurut Varro kata adalah bagian dari ucapan tidak dapat dibedakan lagi, yang nerupakan bentuk minimum. Varro membagi tiga kelas kata latin dalam empat bagian,yaitu :
(a)    Kata benda, termasuk kata sifat yakni kata yang berinfleksi kasus;
(b)   Kata kerja, kata yang membuat peryatan yang berinfleksi tense ;
(3)   Partisipel, kata yang menghubungkan (dalam sintaksis kata benda dan kata kerja ) berinfleksi kasus dan tense;
(4)   Adverbium, kata yang mendukung (anggota bawah dari kata kerja) tidak berinfleksi.
Tentang kasus dalam bahasa latin menurut Varro ada enam, yaitu: (1) nominativus, yaitu bentuk primer atau pokok; (2) genetivus, yaitu bentuk yang menyatakan kepunyaan; (3) dativus, yaitu bentuk yang menyatakan menerima; (4) akusativus, yaitu bentuk yang menyatakan objek; (5) vokatikus, yaitu bentuk sebagai sapaan atau panggilan; dan (6) ablativus, yaitu bentuk yang menyatakan asal  (Chaer, 2012: 339).
Chaer (2012: 339) menambahkan pula mengenai deklinasi, yaitu perubahan bentuk kata berkenaan dengan ketegori, kasus, jumlah, dan jenis. Varro membedakan adanya dua macam deklinasi naturalis dan voluntaris. Yang dimaksud dengan deklinasi naturalis adalah perubahan yang bersifat alamiah, sebab perubahan itu dengan sendirinya dan sudah berpola. Deklinasi ini pada umumnya bersifat regular; dan biasanya sudah dapat diketahui pemakai bahasa dengan serta merta tanpa ragu-ragu. Sebaliknya, deklinasi voluntaris perubahannya terjadi secara morfologis bersifat selektif dan manasuka. Jadi bersifat ireguler. Oleh karena itu, pemakai bahasa harus sadar bagaimana ia melakukan deklinasi itu.
b.      Institutiones Grammaticae atau Tata Bahasa Priscia
              Chaer (2012: 240) mengatakan bahwa dalam sejarah studi sastra, buku tata bahasa Priscia ini dianggap sangat penting, karena beberapa hal berikut:
(1)   merupakan buku tata bahasa latin yang paling lengkap yang ditentukan oleh  pembicarakan aslinya.
(2)   teori-teori tata bahasanya merupakan tonggak-tonggak utama pembicaraan bahasa secara tradisional.

Dengan dua alasan tersebut, buku tata bahasa ini kemudian menjadi model dan contoh dalam penulisan buku tata bahasa bahasa-bahasa lain di Eropa dan di bagian dunia lain. Sebagai tata buku bahasa tradisional, buku ini secara nyata dan pasti menggunakan semantik atau makna sebagai norma utama pembahasan bahasa, walaupun segi-segi formal bahasa juga dibicarakan. Beberapa segi yang patut dibicarakan, antara lain:
(a)    fonologi, dalam bidang ini pertama-tama dibicarakan tulisan atau huruf yang disebut “litterae”. Litterae adalah bagian terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan.nama huruf-huruf itu disebut figuerae, sedangkan nilai bunyi itu disebut potestas. Bunyi itu dibedakan atas empat macam, yaitu: (1) vox artikulata, bunyi yang diucapkan untuk membedakan makna; (2) vox martikulata, yaitu bunyi yang tidak diucapkan untuk menunjukkan makna; (3) vox litterata, yaitu bunyi yang dapat dituliskan baik yang artikulata maupun yang martikulata; dan (4) vox illiterate, yaitu bunyi yang tidak dapat dituliskan;
(b)   morfologi, dalam bidang ini dibicarakan mengenai dictio atau kata. Kata adalah bagian yang minimum dari sebuah ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna sebagai satu keseluruhan. Kata dibedakan atas delapan jenis yang disebut partes orationis. Kedelapan jenis itu antara lain: nomen, verbum, prtisipium, pronomen, adverbium, praepositio, interjection, dan conjunction;
(c)    sintaksis, dibicarakan dalam buku tersebut sintaksis adalah tata susun kata yang berseleras dan menunjukan kalimat itu selesai (Chaer, 2012: 240)



2.4.1.2  Zaman Pertengahan
              Studi bahasa pada zaman pertengahan di Eropa mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik, dan bahasa Latin menjadi lingua franca, karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa ilmu pengetahuan. Dari zaman pertengahan ini yang patut dibicarakan dalam studi bahasa, antara lain adalah peranan Kaum Modistae, Tata Bahasa Spekulativa, dan Petrus Hispanus (Chaer, 2012: 341).
              Parera (1986: 53) mengungkapkan bahwa yang dibicarakan dalam studi bahasa pada zaman ini antara lain :

a.       Kaum Modistae
Kaum Modistae masih membicarakan pertentang fisis dan nomos dan pertentangan antara analogi dan anomali. Mereka menerima konsep analogi karena menurut mereka bahasa itu bersifat leguler dan bersifat universal. Mereka memperhatikan semantik secara penuh sebagai dasar penyebutan definisi-definisi bentuk-bentuk bahasa. Mereka pun mencari sumber makna. Maka dengan demikian berkembang pulalah bidang etimologi pada zaman itu (Parera, 1986: 53).

b.      Tata Bahasa Spekulativa
       Menurut tata bahasa spekulativa kata tidak secara langsung  mewakili alam dari benda yang ditunjuk. Kata hanya mewakili hal adanya benda itu dalam berbagai cara, modus, substansi, aksi, kualitas, dan sebagainya. Satu di antara gramatikus-gramatiku dari zaman ini adalah Peter Hellas. Dia mengikuti jejak Priscia, tetapi selalu memberi komentar berasarkan logika Aristoteles (Parera, 1986: 54).
         Dalam buku Parera (1986: 55) dijelaskan bahwa  Petrus Hispanus merupakan tokoh yang berperan penting dalam perkembangan linguistik zaman pertengahan. Dalam bukunya yang berjudul Summulae Logicales. Peranannya dalam linguistik, antara lain:
(a)    memasukkan psikologi dalam analisis makna bahasa. Membedakan antara signifikasi utama dan konsignifikasi yaitu pembedaan pengertian pada bentuk akar dan pengertian yang dikandung oleh imbuhan-imbuhan;
(b)   Membedakan nomen atas dua macam, yaitu nomen substantivum dan nomen adjectivum;
(c)    Membedakan partes dan orationes categoremetik dan syntategorematik;

2.4.1.4 Zaman Renaisans
        Zaman Renaisans dianggap sebagai zaman pembukaan abad  pemikiran abad modern. Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman renaisans yang menonjol:
1)      penguasaan bahasa oleh sarjana-sarjana pada waktu itu (Latin, Yunani, Ibrani, Arab);
2)      selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa, dan malah juga perbandingan (Chaer,  2012: 342—343).

Bahasa Ibrani dan bahasa Arab banyak di pelajari orang pada akhir abad pertengahan. Kedua bahasa itu diakui resmi pada akhir abad ke-14 di Universitas Paris. Bahasa Ibrani perlu diketahui dan dipelajari karena kedudukannya sebagai bahasa kitab Perjanjian Lama  dan kitab Perjanjian Baru. Beberapa buku tata bahasa Ibrani telah ditulis oleh orang Renaisans itu, antara lain oleh Roger Bacon, Reuchlin, dan N. Clenard. Reuchlin menulis buku yang berjudul De Rudiimentis Hebraicis tentang penggolongan kata. Berbeda dengan tata bahasa Yunani dan Latin, Reuchlin menggolongkan kata bahasa Ibrani atas nomen, verbum, dan partikel. Penggolongan ini mirip dengan penggolongan kata dalam bahasa Arab ismun, fi’lun, dan harfun. Sesungguhnya bahasa Ibrani dan bahasa Arab memang dua bahasa yang serumpun; dan perkembangan studi yang memang sudah lebih dahulu memperoleh kemajuan. Itulah sebabnya, istilah-istilah dan kategoi-kategori yang digunakan banyak diambil dari bahasa Arab (Chaer, 2012: 343).
Menurut Chaer (2012: 344) inguistik Arab berkembang pesat karena kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa Kitab Suci agama Islam, yaitu Qur’an, menurut pendapat kebanyakan Ulama Islam tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Ada 2 aliran Linguistik Arab:
(a)          aliran Basra (mendapat pengaruh konsep analogi dari zaman Yunani, yang membuat mereka berpegang teguh pada kereguleran dan kesistematisan bahasa Arab);
(b)         aliran Kufah (menganut paham anomali)
Studi bahasa Arab mencapai puncaknya pada abad ke-8 dengan terbitnya buku tata bahasa Arab berjudul Al-Kitab atau Al-Ayn karya Imam Sibawaihi dari kelompok Basrah. Dalam kitabnya itu, Sibawaihi membagi kata atas tiga kelas, yaitu ismun (nomen), fi’lun (verbum), dan harfun (partikel). Dalam membuat deskrpsi fonetik, Sibawaihi telah melepaskan diri dari pengaruh Yunani.

            Bahasa-bahasa Eropa, sebetulnya juga menarik perhatian sejak sebelum zaman Renaisans, di samping bahasa Latin dan bahasa Yunani. Pada abad ke-7 telah tercatat adanya sebuah buku tata bahasa Irlandia; pada abad ke-12 tercatat pula adanya buku Islandia; sedangkan pada abad ke-13 dijumpai pula buku tata bahasa Provencal. Yang mendapat perhatian secara khusus dan serius adalah studi mengenai bahasa Roman atau Neo-Latin. Lebih-lebih setelah Dante munlis buku De Vulgari Eloquentia pada permulaan abad ke-14. Dalam buku itu Dante mempelajari bahasa yang dipakai sehari-hari yang diketahui sejak kecil. Dante juga mengusulkan agar bahasa Italia dijadikan bahasa persatuan di seluruh Italia. Adanya hubungan antara bahasa-bahasa Roman dengan bahasa Latin menyebabkan timbulnya studi bahasa-bahasa secara diakronik. Perubahan bunyi bahasa Latin ke dalam bahasa Spanyol, bahasa Perancis, dan bahasa Italia dicatat dengan cermat. Demikian juga muncullah diskusi-diskusi tentang perubhan linguistik, kontak-kontak bahasa, percampuran bahasa, serta pengalihan bahasa dari satu generasi ke generasi lain (Chaer, 2012: 344).

2.4.1.5 Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Ferdinand de Saussure dianggap sebagai bapak Linguistik Modern. Masa antara lahirnya linguistik modern dengan masa berakhirnya zaman reneisans ada satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Tonggak yang dianggap sangat penting itu adalah dinyatakannya adanya hubungan kekerabatan antara bahasa sansekerta dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya. Hal tersebut dinyatakan oleh Sir William Jones dari East India Company di hadapan The Royal Asiatic Society  di Kalkuta pada tahun 1786. Pernyataan Sir William Jones itu telah membuka babak baru sejarah linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik bandingan atau linguistik historis komparatif; serta studi mengenai hakikat bahasa secara linguistik terlepas dari masalah filsafat Yunani kuno (Chaer, 2012: 345).
Kalau linguistik tradisional selalu menerapkan pola-pola tata bahasa Yunani dan Latin dalam mendeskripsikan suatu bahasa, maka linguistik strukturalis tidak lagi melakukan hal demikian. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan cirri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan-pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh bapak Linguistik Modern, yaitu Ferdinand de Saussure.

2.4.2        Penerus Linguistik Tradisional di Indonesia
Menurut Yohanes (2007), linguistik di Indonesia mengalami keterlambatan 23 abad, tata bahasa tradisional yang booming pada 400 SM, di Indonesia baru memperoleh wujudnya pada 1950-an, misal pada Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia Sutan Takdir Alisjahbana, atau baru berwujud pada 1653 ketika Joannes Ramon menulis tata bahasa Melajoe.
Joannes Ramon dalam pendeskripsian fenomena bahasa Melajoe, ia menggunakan istilah dalam bahasa Belanda yang tidak lain terjemahan istilah Latin, misalnya dalam penyebutan kelas kata. Oleh Joannes Ramon kelas kata dalam bahasa Melajoe dibedakan atas (1)namen atau benda, (2)voornamen atau kata ganti, (3)woorden atau kata kerja, (4)bijwoorden atau kata keterangan, (5)voorzettingen atau kata depan, (6)koppelingen atau kata sambung, dan (7)inwurpen atau kata seru (Kridalaksana, 2002:4). Pembagian kelas kata seperti itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Dyonisius Thrax (100 SM) atas (1)onoma atau kata benda, (2)antonymia atau kata ganti, (3)rhema atau kata kerja, (4)epirrhema atau kata keterangan, (5)prothesis atau kata depan, (6)syndesmoi atau kata sambung, (7)metosche atau partisipel, dan (8) arthron atau kata sandang (Sulaiman, 1973:15; Pateda, 1990:16).
Analisis tata bahasa tradisional mendasarkan pada kaidah bahasa lain terutama Yunani, Romawi, dan Latin. Semua paham bahwa karakteristik bahasa Indonesia, misalnya, tidak sama dengan bahasa-bahasa tersebut. Bahasa Yunani, Romawi, dan Latin tergolong bahasa deklinatif, yaitu yang perubahan katanya menunjukkan kategori, kasus, jumlah, atau jenisnya (Kridalaksana,1984: 36), sedangkan bahasa Indonesia tergolong sebagai bahasa inflektif, yaitu perubahan bentuk katanya menunjukkan hubungan gramatikal (Kridalaksana, 1984: 75).
Pada 1910, Sasrasoeganda menulis Kitab jang Menjatakan Djalan Bahasa Melajoe, yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana merupakan buku teks yang sangat berpengaruh di kalangan guru pada waktu itu (Kridalaksana dalam Yohanes, 1985). Padahal, buku tersebut jelas-jelas ditulis berdasarkan tradisi Yunani-Romawi sebagaimana diintroduksi oleh Thrax ataupun Joannes Ramon. Hal itu terbukti dalam pembahasannya, misal: perkataan nama benda, perkataan nama sefai, perkataan pengganti nama, perkataan pekerjaan, perkataan bilangan, perkataan tambahan, perkataan pengantar (baca: preposisi), perkataan penghubung, dan perkataan penyeru (Kridalaksana dalam Yohanes, 1985). Buku Sasrasoeganda tersebut disusun berdasar karya van Wijk (1889) Spraakleer der Maleiche Taal yang notabene juga memboyong tradisi Yunani-Romawi.
Mulai tahun 1940, ahli-ahli bahasa memperdalam ilmunya dengan menulis beberapa buku. Ahli tersebut antara lain: Za’ba berjudul Pelita Bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh buku Winstedt Malay Grammar (1914). Selang dua tahun, pada 1942 di Indonesia terbit Djalan Bahasa Indonesia karya Soetan Moehammad Zain. Berturut-turut setelah itu Ilmu Saraf Indonesia (1944) karya B.R. Motik, Tatabahasa Indonesia (1946) karya Husain Munaf, Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1 (1949) karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang setahun kemudian (1950) disusul buku kedua Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 2. Pada tahun yang sama (1950) terbit juga karya Fokker Beknopte Grammatica van de Bahasa Indonesia, dan karya Armijn Pane Mentjari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia. C.A. Mees pada 1953 menulis Tatabahasa Indonesia, kemudian Poedjawijatna dan Zoetmulder menulis Tatabahasa Indonesia I, II (1955). Pada 1956 Slametmuljana menulis Kaidah Bahasa Indonesia I, II, Tardjan Hadidjaja Tatabahasa Indonesia, Batuah Zainnudin Dasar-dasar Tatabahasa Indonesia. Pada 1964 Soetarna menerbitkan Sari Tatabahasa Indonesia.
Buku-buku tersebut pada masanya dijadikan rujukan dalam pengkajian maupun pengajaran bahasa Indonesia. Buku-buku itu tergolong berpendekatan tata bahasa tradisional. Seperti pada buku Mees (1953), pembahasan kopula adalah, jadi, dan menjadi membuktikan ciri translingual dengan memindahkan kaidah bahasa Eropa ke dalam bahasa Indonesia. Penjenisan objek, sebagaimana dilakukan Sutarno (dalam Yohanes, 2007), atas (1)objek penderita, (2)objek pelaku, (3)objek penyerta, dan (4)objek berkata depan menampakkan pengaruh deklinasi seperti telah dibahas di muka sesungguhnya takbersesuaian dengan tabiat bahasa Indonesia.
Buku-buku tersebut lebih dominan pada bahasa tulis. Begitupun penjelasan konsep yang terjadi pada buku-buku tersebut yang banyak didasarkan pada nosi atau makna mengindikasikan dominasi tradisional pada karya tersebut. Oleh karena itu, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa sampai dengan sebelum 1965-an perkembangan linguistik di Indonesia terdominasi oleh tata bahasa tradisional.
Kewarna-warnian bahasa Indonesia sekarang dapat dilihat bahwa kajian berdasar teori tradisional pada periode 2000-an ini masih juga mewarnai peristiwa linguistis (penelitian ataupun pengajaran) bahasa Indonesia.

2.5      Analisis Kalimat
Berikut akan dipaparkan analisis kalimat sesuai dengan prinsip-prinsip linguistik tradisional. Karena prinsip yang masih sederhana, maka penganalisisannya sebatas jenis kalimat dan penggolongan rhema, onoma, serta syndesmoi.
            Berdasarkan pada teori Protagoras, mengenai jenis-jenis kalimat yang antara lain kalimat narasi, kalimat tanya, kalimat jawab, kalimat perintah, kalimat laporan, do’a dan undangan. Kelima kalimat dibawah ini hanya termasuk kalimat berita atau laporan.
1.      Hari ini  saya belajar linguistik. 
2.      Saya suka membaca buku.
3.      Aku ingin melampiaskan rindu yang terpendam.
4.      Saya tidak masuk karena sakit. 
5.      Dirinya sakit karena disakiti.

            Analisis berikut didasarkan pada pandangan Plato mengenai jenis kata : Onoma dan Rhema.
1.      Hari ini                  saya                 belajar linguistik.
                              (onoma)             (rhema)

2.      Saya                      suka membaca buku.
(onoma)                 (rhema)                                   
3.      Aku                       ingin melampiaskan rindu yang terpendam.
(onoma)                 (rhema)
4.      Saya                      tidak masuk karena sakit.
(onoma)                 (rhema)                       
5.      Dirinya                  sakit karena disakiti.
(onoma)                 (rhema)          
            Analisis kalimat berikutdidasarkan pada teori Aristoteles yang menambahi pandangan gurunya (Onoma, Rhemata, Syndesmoi, dan Arthoron). Karena bahasa Indonesia tidak mengenal kosakata bergender, maka penggolongan Arthoron ditiadakan.
1.      Hari ini                  saya                 belajar linguistik.
                              (onoma)          (rhema)
2.      Saya                      suka membaca buku.
(onoma)                 (rhema)                       
3.      Aku                       ingin melampiaskan rindu yang terpendam.
(onoma)                 (rhema)                       
4.      Saya                      tidak masuk     karena sakit.
(onoma)                 (rhema )           (syndesmoi)    
5.      Dirinya                  sakit                 karena disakiti.
(onoma)                 (onoma)           (syndesmoi)                
Menurut Aristoteles, penambahan satu kelas kata lagi yang dibuat oleh gurunya, Plato, yaitu dengan syndesmoi seperti kata “karena” yang terbukti bahwa kata ini merupakan penghubung kalimat.




PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Berdasarkan penjabaran di muka, maka dapat ditarik beberapa simpulan yang sesuai dengan masalah yang diajukan, antara lain:
1.      dalam sejarah perkembangannya, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham, pendekatan, dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat rumit, saling berlawanan dan membingungkan terutama bagi para pemula. Begitu pula dengan aliran tradisional, teori ini dimulai dari zaman Yunani yang mempertentangkan masalah bahasa yang bersifat fisis dan nomos, analogi dan anomali. Dari zaman ini dikenal beberapa tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa. Muncul zaman Romawi sebagai kelanjutan dari zaman Yunani, zaman Pertengahan, zaman Renaisans, hingga menjelang lahirnya Linguistik Modern yang masing-masing tokohnya memiliki kekhasan dalam pemikiranya. Tata bahasa tradisional tidak mengenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan tulisan, dan mengacu pada kaidah bahasa yang dibuat secara preskriptif serta melibatkan logika.
2.      Tokoh Linguistik Tradisional antara lain Protagoras, Gorgias, dan Plato. Namun dari ketiga atokoh itu yang paling banyak dianut dan dikembangkan adalah pendapat dari plato.
3.      Penerus atau perkembangan linguistik tradisional antara lain: (a) Di dunia: Aristoteles yang mengembangkan teori gurunya, Kaum Stoik yang membagi jenis-jenis kata menjadi bermacam-macam serta mengklasifikasikan kalimat aktif-pasif dan kalimat transitif-intransitif, ada pula kaum Alexandria dengan buku karangan Dinosyous Thrax, pada zaman Romawi terdapat tokoh Varro dan Pricia.  (b) Di Indonesia: pada tahun 1940-an, ahli bahasa Indonesia berbondong-bondong mengembangkan ilmu bahasa mereka dengan menyusun buku-buku yang digunakan sebagai pedoman materi bahasa di sekolah. Hingga tahun 2000-an Linguistik Tradisional masih digunakan
4.      Keenam kalimat di muka bisa digolongkan ke dalam jenis kalimat berita. Sedangkan menurut analisis Plato, di dalam keenam kalimat itu  terdapat onoma dan rhema. Dan keenam kalimat tersebut bisa digolongkasn ke dalam onoma, rhema, syndesmoi menurut Aristoteles.

3.2  Saran
a.       Masih banyak ke kurangan dalam makalah ini, itu sebabnya penulis mengharapkan kritik serta saran demi kelengkapan serta keakuratan pembahasan linguistik tradisional ini.
b.      Penulis selanjutnya diharap lebih teliti dalam menganalisis kalimat berdasarkan tokoh-tokoh karena pendapat mereka meski terlihat sama tetapi sebenarnya berbeda.
c.       Makalah ini masih terbatas pada pembahasan tentang sejarah, ciri-ciri, kelebihan dan kelemahan aliran tradisional, dan zaman-zaman yang terdapat pada aliran tradisional. Pada pengkajian selanjutnya diharapkan lebih mendalam dan lebih luas.

  DAFTAR REFRENSI

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
 Lyons, John. 1968. Introduction to Theorical Linguistics. Cambridge: Cambridge at The University Press.
Parera, Jos Daniel. 1986. Studi Linguistik Umum dan Historis Bandingan. Malang: Penerbit Erlangga.
 Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
 Taukit, Muhammad, dkk. 2013. Tugas Linguistik: Linguistik Tradisional. (http://cintabahasa13.blogspot.co.id/2013/12/aliran-tradisional-revisi-ke-1.html?m=1, diakses pada 5Desember 2015).
 Yohanes, Budinuryanta. 2007. Perkembangan Linguistik di Indonesia. (http://bentarabahasa.blogspot.co.id/2007/12/perkembangan-linguistik-di-indonesia.html?m=1, diakses pada 5 Desember 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar