Minggu, 20 Mei 2018

Pergaulan Remaja Antara Cinta dan Seks


Pergaulan Remaja antara Cinta dan Seks
(Pandagan dalam Realitas kehidupan)
Jose Dc. Verdial

Cinta, kencan tanpa hubungan seks, itu bisa? Cinta, kencan lalu hubungan seks sebelum pernikahan sah, itu boleh? Apakah seks sama dengan cinta? Ini sebuah pergulatan maha berat. Ada yang berpendapat: hubungan seks terjadi untuk memperoleh dan mempertahankan cinta; yang lain berpandangan bahwa pria dan wanita saling mencintai untuk memperoleh hubungan seks. Seks itu nikmat dan indah. Seks dirancang Allah demi kebahagiaan. Tapi hubungan seks di luar nikah secara diam-diam merebut sukacita dari hati dua insan yang sedang dilanda asmara.
Pergaulan, persahabatan dan pacaran para muda-mudi dilatarbelakangi oleh pengalaman kesepian dan kegelisahan eksistensial. Seorang pemuda atau pemudi boleh saja hidup dalam kelimpahan harta namun kesepian eksistensial tak dapat dihilangkan oleh beraneka harta di sekelilingnya. Kesepian eksis-tensial melahirkan kegelisahan dalam jiwa yakni kerisauan yang mencari terus menerus untuk menemukan kawan bicara hati yang sepadan. Ketidaktenangan seorang manusia disebabkan karena ia tidak saja diciptakan sebagai manusia melainkan sebagai seorang laki-laki dan wanita.
Konseling seksual modern mengatakan bahwa kesepian dan kegelisahan manusia (laki-laki/wanita) adalah “kesepian genitalia– kegelisahan kelamin.” Namun pandangan ini terlalu picis karena mengidentikan manusia hanya sebatas “alat kelamin” padahal manusia adalah sebuah totalitas jiwa dan raga.
Kegelisahan eksistensial ini selalu mencari hingga menemukan “tempat teduh amannya” antara lain: Teman (biasa-biasa saja): orang yang dipertemukan bersama karena mengerjakan hal yg sama secara bersama-sama. Ada teman sekolah atau teman seperjalanan dalam bis. Di sini, orang hanya memperhatikan teman seadanya, sepintas kilas saja. Biarpun begitu, tiada alasan untuk meremehkan relasi antar teman. Relasi antar teman adalah wadah persemaian benih-benih persahabatan.
                Sahabat (lebih dari biasa-biasa): orang yang terlibat dalam hidup orang lain – saling terlibat dalam suka duka hidup, saling memperhatikan satu sama lain. Pengetahuan, pengalaman, perhatian, mereka bagikan satu sama lain. Relasi antar sahabat memungkinkan orang untuk berinteraksi dalam segala sesuatu kecuali soal saling menghina atau saling mencela. Persahabatan berdampak posetif dan negative. Secara posetif, persahabatan sejati dapat memperluas pandangan dan memperluas ruang lingkup gerak dan hubungan antar pribadi di tengah masyarakat. Secara negative, persahabatan picis dapat menyebabkan kemandegan dalam perkembangan, ketertutupan terhadap lingkungan yang lebih luas karena ada sikap “posesif ekslusif”.
                Kekasih (luar biasa biasa di luarkeluarkan perbendaharaan satu demi satu): hubungan antar dua manusia menjadi kekasih ketika mereka saling terpikat lalu saling terikat satu sama lain. Mereka bisa hanyut dan tenggelam dalam pengaruh psikoseksual pada dirinya maupun pada yang lain. Daya tarik dan interaksi seksual, berkencan yang direncanakan baik dalam tindakan nyata maupun dalam khayalan, semunya adalah tanda-tanda hubungan antar manusia yang lebih dari sekedar relasi dekat sebagai sahabat melainkan sebagai kekasih. Tidak ada yang dapat mengganggu relasi kasih ini kecuali ketidakjujuran dan ketidaksenonohan seksual.
Aku Mencintaimu dan Aku Jatuh Cinta Padamu”. Ada orang yang sulit menerima ungakapan-ungkapan ini, dan ada pula orang yang sulit mengungkapkannya. Apakah ada perbedaan mendasar di antara dua ekspresi ini. Sampai dengan saat ini kedua ungkapan ini dipandang sama saja. Pada moment ‘kasihsayang’ ini saya coba membuat suatu analisis kecil yang kiranya bisa membantu ‘mereka yang mabuk asmara’ dan kaum muda pada umumnya dalam menyimak ungkapan-ungkapan yang lahir di kala ada dalam relasi cinta sehingga tidak salah “berlaku.”
                Ungkapan “aku mencintaimu” mengandung beberapa pengertian yakni: a) cinta sebagai kewajiban; b) cinta sebagai perasaan; c) cinta sebagai sesuatu yang dilakukan demi seseorang karena itu amat bernilai baginya.
                Bila cinta diartikan sebagai kewajiban maka: “aku mencintaimu” sama artinya dengan saya bertanggungjawab atas dirimu dan aku harus melakukan kewajiban moralku, memenuhi atau menunaikan tanggungjawabku.
                Kalau cinta diartikan sebagai perasaan, maka cinta ini harus dilawan-kan dengan kebencian. Mengatakan, “aku mencintaimu” sama artinya dgn mengatakan “engkau menggetarkan hatiku.” Getaran ini bisa menjadi motivasi pemberian diri tapi gampang dicemari oleh egoisme karena orang terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri, menjadikan dirinya pusat perhatian. Kehadiran yang didambakan sudah dapat mengobarkan rasa gembira hati.
                Sehubungan dengan perasaan ini, satu hal perlu dicatat di sini. Tak jarang perasaan cinta kepada seseorang dibingkai hanya pada soal romantisme dua insan yang lagi membara asmaranya dan semua perasaan lain dikesamping-kan dan diremehkan. Bila perasaan itu marak, kaum muda bilang falling in love tetapi perasaan itu surut cinta tiba-tiba menjadi masa lalu. Rasa birahi sesaat dengan mudahnya dikacaukan dengan cintakasih.
                Kalau cinta diartikan dengan lebih mendalam maka cinta sama artinya dengan keinginan, kerinduan untuk melakukan sesuatu yang bernilai bagi orang lain yg dicintai dalam hidupnya. Maka mengatakan “aku mencintaimu” berarti “aku mau lakukan sesuatu yang bernilai bagimu” atau “aku mau lakukan sesuatu yang membahagiakanmu.” Karena itu lawan dari cinta dalam arti ini bukan kebencian tapi sikap acuh tak acuh, tak peduli, tiada perhatian.
Aku Jatuh Cinta Padamu”. Ungkapan yang khusus dipakai oleh mereka yang sedang dimabuk asmara yakni: “Aku jatuh cinta padamu.” Menyatakan kata-kata ini berarti mengungkapkan erosnya: ungkapan cinta yang dipadukan dengan nafsu seks: cumburayu, rabaan, belaian, birahi lalu hubungan seks.
 “Aku jatuh cinta padamu” mengungkapkan ketidaktahuan bagaimana hidup terpisah, mengarah kepada hubungan eksklusif dua individu yang memadu kasih karena dimabuk asmara, malah ungkapan itu sering kali berarti juga keinginan untuk melakukan hubungan seks tanpa cinta yaitu seks cuma berupa suatu daya mekanistis dari unsur biologis belaka, suatu pelepasan ketegangan biologis manusiawi. Seks yang demikian bisa beri rasa enak-nikmat tetapi tak mampu memberikan kebahagiaan.

 Cinta dan kencan plus “ngeseks”
                 Pada zaman pil antihamil ini seks dibicarakan secara terbuka dengan maksud untuk mengenal hakikatnya yang terdalam dan melahirkan respek yang pantas pada martabat manusia. Masalahnya sekarang ialah bahwa orang beralih dari berbicara tentang seks menuju melakukan seks secara bebas dengan dalil “test alat-alat: berfungsi baik atau tidak.” Cinta, kencan dan ngeseks dipandang sebagai satu paket yang harus dijalani. Cinta, kencan tanpa ngeseks dirasa kolot amat dan itu sama sekali tak seru.
                Masih adakah nilai mulia dalam hidup manusia? Sedangkan adanya manusia bukan saja ada biologis tapi juga spiritual dan intelektual. Pandangan Kristen menegaskan “tubuh bukan untuk nafsu tapi untuk memuliakan Allah. Tubuh adalah kenisah Allah bukan ladang zinah dan cabul.”

“Pedagogi seksual yang bercorak liberal”     
Humanisme dan behaviorisme mengajarkan bahwa manusia hanyalah hewan dan orang-orang muda dianjurkan untuk melampiaskan dengan bebas nafsu birahi seksnya dan perasaannya sehingga ia bisa jadi rileks. Pikiran ini nampak dalam pandangan progresif permisif liberal berikut ini:
Alfred Kinsey (zoolog). Norma-norma kesusilaan dan keagamaan serta adat istiadat tradisional pada umumnya dinilai “represif”oleh pedagogic seksual kontemporer yakni menghalangi perkembangan hidup manusia yang wajar dan matang. Pedagogi seksual kontemporer berpendapat sebaiknya keinginan seksual kaum muda tidak boleh ditekan dan ditindas malah sebaliknya pemuda-pemudi diberi dorongan dan kebebasan untuk mempraktekkan hubungan seksual kapan saja dan di mana saja di saat munculnya nafsu birahi. Pendidikan tentang kehidupan seksual di sekolah-sekolah tak boleh hanya bersifat informative tapi harus bersifat revolusioner dalam arti nilai-nilai kesusilaan harus ditinggalkan demi suburnya kebebasan seksual. Hubungan seksual yang bebas itu hak azasi dan harus dibebaskan dari penilaian moral dan religius.
                Menurut Dr. Alfred Kinsey: mereka yang menjalankan hidupnya dengan berorientasi pada norma-norma agama dan adat istiadat telah menjadi “korban kesusilaan.” Kinsey menyebut manusia sebagai human animal and human mammal. Menurutnya adalah baik kalau manusia memakai daya seksual seperti binatang dalam keadaan bebas dan tanpa perlu rasa malu, tanpa perlu rasa bersalah dan berdosa. Dengan hubungan seks bebas tanpa perlu malu manusia mengalami kelepasan dan pembebasan dari ketegangan saraf. Usaha Kinsey ialah melepaskan manusia dari rasa bersalah dan berdosa, khususnya dalam hal seksual behavior. Pembebasan ala Kinsey dinamakan “pengobatan suara hati manusia dengan obat bius.”
Sigmund Freud (psikiater dan dokter ahli saraf). Ia mengajarkan bahwa kebutuhan utama setiap manusia adalah pemuasan insting seksualnya. Insting seks bukan baru berfungsi ketika seseorang memasuki masa puber melainkan insting seks sudah dimulai sejak masa kanak-kanak meskipun dalam wujud yang berbeda. Menurut Freud dinamika jiwa manusia didorong oleh keinginan untuk mencapai “orgasme” atau kepuasan syahwat.
Wilhelm Reich (Sosiolog dan Pembina Daya Seks). Ia mengatakan “Panca indera ‘kebinatangan manusia’ beribu-ribu tahun lamanya tak berfungsi dan kini baru bangun dari tidurnya utk berfungsi secara wajar. Hal ini menye-babkan perombakan radikal dalam tatanan hidup berkeluarga, karena bila seksualitas sungguh disetujui maka tiada argument lagi untuk menentang hubungan seks bebas dengan pasangan kencan. Ideologi pernikahan musnah.”
Untuk mempersiapkan generasi muda bagi zaman yang baru ini, Reich mendesak supaya dibangunkan rumah-rumah hubungan di mana generasi muda bisa hidup bersama, saling bercumbu, saling meraba, saling merangsang dan boleh mengadakan perbuatan seks tanpa halangan apapun.
H. Scarbath, A. Comfort dan H. Kentler. Menurut F.W. Foerster, seorang pedagog: “Tak dapat disangsikan sama sekali bahwa perasaan malu yang dikembangkan merupakan perlindungan yang jauh lebih ampuh bagi muda-mudi daripada pendidikan seksual yang bersifat informatoris.”
Pendidikan seksual yang bercorak liberal yang disebut juga pendidikan seksual yang emansipatoris. mendobrak dan menolak azas pendidikan yang menjunjung tinggi rasa malu. Scarbath dan Comfort berusaha sekuat tenaga untuk mendidik kamu muda supaya dapat menggunakan daya seksualnya yang meletup-letup dengan tanggungjawab sendiri, tanpa ditekan oleh pandangan orang lain. Kentler dengan tegas mengatakan: hapuskanlah segala perasaan malu dari agenda hidup karena perasaan malu mengakibatkan penindasan terhadap daya seksual dan menciptakan seorang manusia pemalu saja.

“Saling merangsang menyebabkan puas dan buas”
                Banyak muda-mudi memasuki masa pacaran dengan niat tulus dan baik. Di antara mereka ada rasa saling menghargai dan menghormati harkat dan martabat sebagai pria dan wanita. Mereka mengenal batas-batas pergaulan, mereka menciptakan dan menyepakati jalur-jalur lalulintas yang boleh dan tak boleh dilalui di masa pacaran. Tapi seiring bertambahnya intensitas kencan dan makin intensif rayuan, tanda-tanda lalulintas pacaran mudah saja dilanggar. Pengalaman umum mengatakan bahwa si pemuda menjadi penggerak dan pengambil inisiatif untuk melanggar aturan lalulintas berpacaran. Kalau si pemudi tak mampu mengendalikan rayuan maut dan daya seksual si pemuda, biasanya ia pun mudah terbawa oleh arus perasaan seksual yang dipanas-panasin melalui ciuman dan rabaan halus pada tubuhnya… (bila otak tak kerja lagi…bolonglah pertahanan…jadilah sudah…)
                Dari catatan konseling seksual yang dibuat oleh para pakar ditemukan perbedaan antara respons pria dan wanita terhadap rangsangan erotis. Seorang gadis yang diciumi, diraba, dielus, dipeluk oleh pacarnya akan terangsang dan setelah itu ia merasa puas disertai rasa malu dan ia akan minta pulang segera karena waktunya telah tiba untuk pulang ke rumah sesuai pesan orangtua.
                Lain lagi dengan laki-laki. Semakin ia terangsang setelah mencium, meraba, membuka dan melihat “buah-buah terlarang” ia tak akan jadi puas malah makin buas, meminta dan terus meminta hingga “memangsa pacarnya.” Si pria tak mengerti si gadis, si gadis tak mengerti si pria. Si gadis mengajak prianya untuk pulang setelah merasa puas tapi si pria meminta si gadisnya untuk terus saling merangsang karena belum tiba di puncak permainan. Si pria tak mengerti si gadisnya: mengapa sang gadis ingin berhenti dan mengajak pulang sedang ia belum puas? Dari sini lahir konflik walau sesaat lalu mereka begitu mesra dan romantis tanpa dipikirkan lebih dahulu keduanya hanyut dalam arus perasaan seksual sehingga terjadi hubungan seks yang sama sekali tak direncanakan. Sering terjadi bahwa APA YANG MERUPAKAN PUNCAK KENIKMATAN PENGALAMAN SEKSUAL BAGI SI PEMUDA MENJADI AWAL MULA PENDERITAAN SI PEMUDI. TIDAK SEDIKIT PEMUDI TERJERUMUS DALAM DUNIA PELACURAN OLEH KARENA CINTA YANG MURNI PERNAH DIPERMAINKAN OLEH SEORANG LAKI-LAKI”.

Refleksikan Nasehat ini;
Main Cinta
Nasehat teman kepada teman:
hati-hati. Jangan main cinta
bila kamu tak ingin menangis
dan hatimu robek-robek….

Namun teman itu mendengar
tanpa mau mendengarkan
terus saja ia mencintai dan dicintai
mencintai, dicintai
mencintai, dicintai

Pada suatu hari yang kurang baik
Hati cintawan ini mulai robek
Cinta yang datang lagi ia tolak
Ia menangis dan terus meratap
Rasanya bagaikan gila: gila cinta dan cinta gila
Akhirnya ia gila sungguhan dan berantakan

Kalau seks dipandang dan dipergunakan hanya untuk memuaskan nafsu birahi saja, maka akhirnya manusia akan terpisah dari sesama dan jauh dari Tuhannya. Kodrat seksual yang sebenarnya dimaksudkan untuk ikut serta menciptakan persatuan paling mesra diputarbalikkan menjadi hambatan bagi relasi yang sungguh bersifat personal bahkan sampai mengasingkan manusia satu sama lain: partner jadi rival, suasana romantis jadi suasana penuh dengan rasa egoistis dan curiga. Oleh karena itu pemisahan seksualitas dari pribadi manusia dapat disebut dosa seksual yang fundamental. Maksudnya, isolasi seksualitas dari perkembangan dan pembentukan pribadi seutuhnya, sehingga seks dicari demi seks belaka, demi nikmat saja. Persetubuhan tanpa persejiwaan membuat manusia sama tingkatnya dengan hewan.
                Celakanya ialah bahwa banyak pemuda mencari pengalaman seksual yang pertama dengan seorang pelacur dan seorang pemudi mencari peng-alaman seksual pertama dengan seorang ‘laki-laki mata keranjang’, sehingga gambaran mengenai “pacar” atau “bakal istri atau bakal suami” kurang tepat: ‘pacar’ atau ‘bakal istri, bakal suami’ dan ‘istri-suami’ dianggap sebagai alat yang dibutuhkan untuk melepaskan nafsu birahinya secara ‘halal.’ Akibatnya relasi seksual dalam perkawinan tak dipandang sebagai ‘ikatan mesra cinta kasih’ tapi ‘persatuan alat kelamin sesaat saja.’ Melakukan aksi yang bertentangan dengan seksualitas manusiawi yang sejati sama artinya dengan melakukan dosa dalam bidang seksual.        
Dosa seksual meninggalkan bekas. Tanda bekas yang kelihatan di luar tak berarti bila dibandingkan titik noda yang ditinggalkan pada jiwa orang itu. Perasaan bersalah, jiwa gelisah, hati risau ditempa dalam api nafsu birahi yg menyala-nyala. Akibat dari praktek seks yang tak halal ialah muncul beragam fobia yang mencemaskan para dokter jiwa yang paling piawai sekalipun. Tapi yang paling parah ialah bahwa dosa seks merusak jiwa dari dalam.
                Dosa seksual mencemoohkan dan menipu. Kita ambil sebagai contoh raja Daud. Daud tertarik pada bisikan halus seks dan waktu ia lemah ia ditipu oleh kekuasaan dosa yg mencengkeram. Bertahun-tahun lamanya ia harus menempuh tangga pertobatan yang tinggi untuk kembali kepada damai hidup. Banyak rumah tangga hancur karena nafsu birahi sesaat; kerajaan-kerajaan telah berpindah tangan karena enak seksual sesaat; uang ataupun warisan apa saja ludes karena beberapa menit penyimpangan neraka.
                Manusia yang tak tahu kekang diri menabur dalam daging dan menuai kebinasaan dari dagingnya. Dosa seks mempermainkan mereka yang bersetubuh di luar nikah. Seperti semua rencana iblis, dosa seks mengambil semua hal baik dari mereka yang “doyan seks” tanpa memberi gantinya. Iblis ibarat majikan yang tak kenal belaskasihan.
                Dosa seksual memperbudak orang. Banyak orang digenggam ketat oleh seks dan percabulan. Sebab mereka telah mematuhi dosa seks dan menyerahkan diri kepadanya sebagai majikan. Mereka yang “doyan main goyang-goyang” tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu salah tapi mereka tak berdaya untuk melepaskan diri dari kecemarannya. Dosa yang tadinya membawa kenikmatan, akhirnya menjadi penindas – Namin me namen, namen me namin akhirnya Au nak ka Namen (bahasa Dawan). semula ‘para tukang maju mundur’ ini memiliki dosa namun akhirnya dosa memiliki diri mereka.’Mentalitas playboy’ dan ‘callgirl’ pada intinya antiseksual karena menjadikannya kurang manusiawi sehingga akhirnya tinggal genitalitas belaka.
                Masih adakah hari esok yang ceriah untuk orang-orang ini? Ingatlah akan kisah Maria Magdalena…. Bertobat, kembali Sang Cinta Sejati supaya belajar bagaimana caranya mencintai secara benar.
Cinta yang benar menaruh penghargaan yang tinggi terhadap pacar yang dicintai. Cinta yang benar selalu siap sedia berkorban atau tak meminta dan menuntut yang macam-macam. Cinta yang benar bersabar. Cinta kasih sejati tak pernah punya syarat dan tidak mengenal istilah “kalau”.
Jadi seks itu tidak identik dengan cinta melainkan seks hanya salah satu ekspresi cinta. Seks pra nikah bukanlah satu ujian cinta tetapi tanda bahwa orang tak sanggup berkorban, tanda orang tak bisa bersabar, tanda awal per-selingkuhan terutama di kala salah seorang alami sakit. Jika anda menikmati seks  sebelum menikah sah apa “surprise”-nya setelah pernikahan sah anda? Ini adalah “bulan madu tanpa madu.” Mengapa anda bersedia menghancurkan kehidupan seks seumur hidup hanya untuk mendapat kesenangan seks pranikah yang beberapa saat saja tanpa ketenangan?
Saat hubungan seks bukannya di masa pacaran melainkan di saat menjadi suami-istri sah. Tempat hubungan seks yang aman bukanlah di luar rumah nikah melainkan relasi seks yang aman dan nyaman ada di dalam rumah nikah sah.

Selamat membaca dan rubalah gaya pacaran-mu…!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar