Pergaulan Remaja
antara Cinta dan Seks
(Pandagan dalam Realitas kehidupan)
Jose Dc.
Verdial
Cinta, kencan tanpa hubungan seks,
itu bisa? Cinta, kencan lalu hubungan seks sebelum pernikahan sah, itu boleh?
Apakah seks sama dengan cinta? Ini sebuah pergulatan maha berat. Ada yang
berpendapat: hubungan seks terjadi untuk memperoleh dan mempertahankan cinta;
yang lain berpandangan bahwa pria dan wanita saling mencintai untuk memperoleh
hubungan seks. Seks itu nikmat dan indah. Seks dirancang Allah demi
kebahagiaan. Tapi hubungan seks di luar nikah secara diam-diam merebut sukacita
dari hati dua insan yang sedang dilanda asmara.
Pergaulan, persahabatan dan
pacaran para muda-mudi dilatarbelakangi oleh pengalaman kesepian dan
kegelisahan eksistensial. Seorang pemuda atau pemudi boleh saja hidup dalam
kelimpahan harta namun kesepian eksistensial tak dapat dihilangkan oleh
beraneka harta di sekelilingnya. Kesepian eksis-tensial melahirkan kegelisahan
dalam jiwa yakni kerisauan yang mencari terus menerus untuk menemukan kawan
bicara hati yang sepadan. Ketidaktenangan seorang manusia disebabkan karena ia
tidak saja diciptakan sebagai manusia melainkan sebagai seorang laki-laki dan
wanita.
Konseling seksual modern
mengatakan bahwa kesepian dan kegelisahan manusia (laki-laki/wanita) adalah
“kesepian genitalia– kegelisahan kelamin.” Namun pandangan ini terlalu picis
karena mengidentikan manusia hanya sebatas “alat kelamin” padahal manusia
adalah sebuah totalitas jiwa dan raga.
Kegelisahan eksistensial ini
selalu mencari hingga menemukan “tempat teduh amannya” antara lain: Teman
(biasa-biasa saja): orang yang dipertemukan bersama karena mengerjakan
hal yg sama secara bersama-sama. Ada teman sekolah atau teman seperjalanan
dalam bis. Di sini, orang hanya memperhatikan teman seadanya, sepintas kilas
saja. Biarpun begitu, tiada alasan untuk meremehkan relasi antar teman. Relasi
antar teman adalah wadah persemaian benih-benih persahabatan.
Sahabat
(lebih dari biasa-biasa): orang yang terlibat dalam hidup orang lain –
saling terlibat dalam suka duka hidup, saling memperhatikan satu sama lain.
Pengetahuan, pengalaman, perhatian, mereka bagikan satu sama lain. Relasi antar
sahabat memungkinkan orang untuk berinteraksi dalam segala sesuatu kecuali soal
saling menghina atau saling mencela. Persahabatan berdampak posetif dan
negative. Secara posetif, persahabatan sejati dapat memperluas pandangan dan
memperluas ruang lingkup gerak dan hubungan antar pribadi di tengah masyarakat.
Secara negative, persahabatan picis dapat menyebabkan kemandegan dalam perkembangan,
ketertutupan terhadap lingkungan yang lebih luas karena ada sikap “posesif
ekslusif”.
Kekasih
(luar biasa ►biasa di luar►keluarkan perbendaharaan satu demi satu): hubungan
antar dua manusia menjadi kekasih ketika mereka saling terpikat lalu saling
terikat satu sama lain. Mereka bisa hanyut dan tenggelam dalam pengaruh
psikoseksual pada dirinya maupun pada yang lain. Daya tarik dan interaksi
seksual, berkencan yang direncanakan baik dalam tindakan nyata maupun dalam
khayalan, semunya adalah tanda-tanda hubungan antar manusia yang lebih dari
sekedar relasi dekat sebagai sahabat melainkan sebagai kekasih. Tidak ada yang
dapat mengganggu relasi kasih ini kecuali ketidakjujuran dan ketidaksenonohan
seksual.
“Aku Mencintaimu dan Aku Jatuh
Cinta Padamu”. Ada orang yang sulit menerima ungakapan-ungkapan ini, dan
ada pula orang yang sulit mengungkapkannya. Apakah ada perbedaan mendasar di
antara dua ekspresi ini. Sampai dengan saat ini kedua ungkapan ini dipandang
sama saja. Pada moment ‘kasihsayang’ ini saya coba membuat suatu analisis kecil
yang kiranya bisa membantu ‘mereka yang mabuk asmara’ dan kaum muda pada
umumnya dalam menyimak ungkapan-ungkapan yang lahir di kala ada dalam relasi
cinta sehingga tidak salah “berlaku.”
Ungkapan “aku
mencintaimu” mengandung beberapa pengertian yakni: a) cinta sebagai
kewajiban; b) cinta sebagai perasaan; c) cinta sebagai sesuatu yang dilakukan
demi seseorang karena itu amat bernilai baginya.
Bila cinta
diartikan sebagai kewajiban maka: “aku mencintaimu” sama artinya dengan saya
bertanggungjawab atas dirimu dan aku harus melakukan kewajiban moralku,
memenuhi atau menunaikan tanggungjawabku.
Kalau cinta
diartikan sebagai perasaan, maka cinta ini harus dilawan-kan dengan kebencian.
Mengatakan, “aku mencintaimu” sama artinya dgn mengatakan “engkau menggetarkan
hatiku.” Getaran ini bisa menjadi motivasi pemberian diri tapi gampang dicemari
oleh egoisme karena orang terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri, menjadikan
dirinya pusat perhatian. Kehadiran yang didambakan sudah dapat mengobarkan rasa
gembira hati.
Sehubungan
dengan perasaan ini, satu hal perlu dicatat di sini. Tak jarang perasaan cinta
kepada seseorang dibingkai hanya pada soal romantisme dua insan yang lagi
membara asmaranya dan semua perasaan lain dikesamping-kan dan diremehkan. Bila
perasaan itu marak, kaum muda bilang falling
in love tetapi perasaan itu surut cinta tiba-tiba menjadi masa lalu. Rasa
birahi sesaat dengan mudahnya dikacaukan dengan cintakasih.
Kalau cinta
diartikan dengan lebih mendalam maka cinta sama artinya dengan keinginan,
kerinduan untuk melakukan sesuatu yang bernilai bagi orang lain yg dicintai
dalam hidupnya. Maka mengatakan “aku mencintaimu” berarti “aku mau lakukan
sesuatu yang bernilai bagimu” atau “aku mau lakukan sesuatu yang
membahagiakanmu.” Karena itu lawan dari cinta dalam arti ini bukan kebencian
tapi sikap acuh tak acuh, tak peduli, tiada perhatian.
“Aku Jatuh Cinta Padamu”. Ungkapan yang khusus dipakai oleh
mereka yang sedang dimabuk asmara yakni: “Aku jatuh cinta padamu.” Menyatakan
kata-kata ini berarti mengungkapkan erosnya: ungkapan cinta yang dipadukan
dengan nafsu seks: cumburayu, rabaan, belaian, birahi lalu hubungan seks.
“Aku jatuh cinta padamu” mengungkapkan
ketidaktahuan bagaimana hidup terpisah, mengarah kepada hubungan eksklusif dua
individu yang memadu kasih karena dimabuk asmara, malah ungkapan itu sering
kali berarti juga keinginan untuk melakukan hubungan seks tanpa cinta yaitu
seks cuma berupa suatu daya mekanistis dari unsur biologis belaka, suatu
pelepasan ketegangan biologis manusiawi. Seks yang demikian bisa beri rasa
enak-nikmat tetapi tak mampu memberikan kebahagiaan.
Cinta
dan kencan plus “ngeseks”
Pada zaman pil
antihamil ini seks dibicarakan secara terbuka dengan maksud untuk mengenal
hakikatnya yang terdalam dan melahirkan respek yang pantas pada martabat
manusia. Masalahnya sekarang ialah bahwa orang beralih dari berbicara tentang seks menuju melakukan seks secara bebas dengan
dalil “test alat-alat: berfungsi baik atau tidak.” Cinta, kencan dan ngeseks dipandang sebagai satu paket
yang harus dijalani. Cinta, kencan tanpa ngeseks
dirasa kolot amat dan itu sama sekali tak seru.
Masih adakah
nilai mulia dalam hidup manusia? Sedangkan adanya manusia bukan saja ada
biologis tapi juga spiritual dan intelektual. Pandangan Kristen menegaskan
“tubuh bukan untuk nafsu tapi untuk memuliakan Allah. Tubuh adalah kenisah
Allah bukan ladang zinah dan cabul.”
“Pedagogi seksual yang bercorak liberal”
Humanisme dan behaviorisme
mengajarkan bahwa manusia hanyalah hewan dan orang-orang muda dianjurkan untuk
melampiaskan dengan bebas nafsu birahi seksnya dan perasaannya sehingga ia bisa
jadi rileks. Pikiran ini nampak dalam pandangan progresif permisif liberal
berikut ini:
Alfred Kinsey (zoolog). Norma-norma kesusilaan dan keagamaan serta adat istiadat
tradisional pada umumnya dinilai “represif”oleh pedagogic seksual kontemporer
yakni menghalangi perkembangan hidup manusia yang wajar dan matang. Pedagogi seksual
kontemporer berpendapat sebaiknya keinginan seksual kaum muda tidak boleh
ditekan dan ditindas malah sebaliknya pemuda-pemudi diberi dorongan dan
kebebasan untuk mempraktekkan hubungan seksual kapan saja dan di mana saja di
saat munculnya nafsu birahi. Pendidikan tentang kehidupan seksual di
sekolah-sekolah tak boleh hanya bersifat informative tapi harus bersifat
revolusioner dalam arti nilai-nilai kesusilaan harus ditinggalkan demi suburnya
kebebasan seksual. Hubungan seksual yang bebas itu hak azasi dan harus
dibebaskan dari penilaian moral dan religius.
Menurut Dr.
Alfred Kinsey: mereka yang menjalankan hidupnya dengan berorientasi pada
norma-norma agama dan adat istiadat telah menjadi “korban kesusilaan.” Kinsey
menyebut manusia sebagai human animal and
human mammal. Menurutnya adalah baik kalau manusia memakai daya seksual
seperti binatang dalam keadaan bebas dan tanpa perlu rasa malu, tanpa perlu
rasa bersalah dan berdosa. Dengan hubungan seks bebas tanpa perlu malu manusia
mengalami kelepasan dan pembebasan dari ketegangan saraf. Usaha Kinsey ialah
melepaskan manusia dari rasa bersalah dan berdosa, khususnya dalam hal seksual behavior. Pembebasan ala Kinsey
dinamakan “pengobatan suara hati manusia
dengan obat bius.”
Sigmund Freud (psikiater dan dokter ahli saraf). Ia mengajarkan bahwa kebutuhan
utama setiap manusia adalah pemuasan insting seksualnya. Insting seks bukan
baru berfungsi ketika seseorang memasuki masa puber melainkan insting seks
sudah dimulai sejak masa kanak-kanak meskipun dalam wujud yang berbeda. Menurut
Freud dinamika jiwa manusia didorong oleh keinginan untuk mencapai “orgasme”
atau kepuasan syahwat.
Wilhelm Reich (Sosiolog dan Pembina Daya Seks). Ia mengatakan “Panca indera
‘kebinatangan manusia’ beribu-ribu tahun lamanya tak berfungsi dan kini baru
bangun dari tidurnya utk berfungsi secara wajar. Hal ini menye-babkan
perombakan radikal dalam tatanan hidup berkeluarga, karena bila seksualitas
sungguh disetujui maka tiada argument lagi untuk menentang hubungan seks bebas
dengan pasangan kencan. Ideologi pernikahan musnah.”
Untuk mempersiapkan generasi muda
bagi zaman yang baru ini, Reich mendesak supaya dibangunkan rumah-rumah hubungan di mana generasi
muda bisa hidup bersama, saling bercumbu, saling meraba, saling merangsang dan
boleh mengadakan perbuatan seks tanpa halangan apapun.
H. Scarbath, A. Comfort dan H. Kentler. Menurut F.W. Foerster, seorang
pedagog: “Tak dapat disangsikan sama sekali bahwa perasaan malu yang
dikembangkan merupakan perlindungan yang jauh lebih ampuh bagi muda-mudi
daripada pendidikan seksual yang bersifat informatoris.”
Pendidikan seksual yang bercorak
liberal yang disebut juga pendidikan seksual yang emansipatoris. mendobrak dan
menolak azas pendidikan yang menjunjung tinggi rasa malu. Scarbath dan Comfort
berusaha sekuat tenaga untuk mendidik kamu muda supaya dapat menggunakan daya
seksualnya yang meletup-letup dengan tanggungjawab sendiri, tanpa ditekan oleh
pandangan orang lain. Kentler dengan tegas mengatakan: hapuskanlah segala
perasaan malu dari agenda hidup karena perasaan malu mengakibatkan penindasan
terhadap daya seksual dan menciptakan seorang manusia pemalu saja.
“Saling merangsang menyebabkan puas dan buas”
Banyak
muda-mudi memasuki masa pacaran dengan niat tulus dan baik. Di antara mereka
ada rasa saling menghargai dan menghormati harkat dan martabat sebagai pria dan
wanita. Mereka mengenal batas-batas pergaulan, mereka menciptakan dan
menyepakati jalur-jalur lalulintas yang boleh dan tak boleh dilalui di masa
pacaran. Tapi seiring bertambahnya intensitas
kencan dan makin intensif rayuan, tanda-tanda lalulintas pacaran mudah saja
dilanggar. Pengalaman umum mengatakan bahwa si pemuda menjadi penggerak dan
pengambil inisiatif untuk melanggar aturan lalulintas berpacaran. Kalau si
pemudi tak mampu mengendalikan rayuan maut dan daya seksual si pemuda, biasanya
ia pun mudah terbawa oleh arus perasaan seksual yang dipanas-panasin melalui
ciuman dan rabaan halus pada tubuhnya… (bila otak tak kerja lagi…bolonglah pertahanan…jadilah
sudah…)
Dari catatan
konseling seksual yang dibuat oleh para pakar ditemukan perbedaan antara
respons pria dan wanita terhadap rangsangan erotis. Seorang gadis yang diciumi,
diraba, dielus, dipeluk oleh pacarnya akan terangsang dan setelah itu ia merasa
puas disertai rasa malu dan ia akan minta pulang segera karena waktunya telah
tiba untuk pulang ke rumah sesuai pesan orangtua.
Lain lagi
dengan laki-laki. Semakin ia terangsang setelah mencium, meraba, membuka dan
melihat “buah-buah terlarang” ia tak akan jadi puas malah makin buas, meminta
dan terus meminta hingga “memangsa pacarnya.” Si pria tak mengerti si gadis, si
gadis tak mengerti si pria. Si gadis mengajak prianya untuk pulang setelah
merasa puas tapi si pria meminta si gadisnya untuk terus saling merangsang
karena belum tiba di puncak permainan. Si pria tak mengerti si gadisnya:
mengapa sang gadis ingin berhenti dan mengajak pulang sedang ia belum puas?
Dari sini lahir konflik walau sesaat lalu mereka begitu mesra dan romantis tanpa
dipikirkan lebih dahulu keduanya hanyut dalam arus perasaan seksual sehingga
terjadi hubungan seks yang sama sekali tak direncanakan. Sering terjadi bahwa “APA
YANG MERUPAKAN PUNCAK KENIKMATAN PENGALAMAN SEKSUAL BAGI SI PEMUDA MENJADI AWAL
MULA PENDERITAAN SI PEMUDI. TIDAK SEDIKIT PEMUDI TERJERUMUS DALAM DUNIA
PELACURAN OLEH KARENA CINTA YANG MURNI PERNAH DIPERMAINKAN OLEH SEORANG
LAKI-LAKI”.
Refleksikan Nasehat ini;
Main Cinta
Nasehat
teman kepada teman:
hati-hati. Jangan main cinta
bila kamu tak ingin menangis
dan hatimu robek-robek….
Namun teman itu mendengar
tanpa mau mendengarkan
terus saja ia mencintai dan dicintai
mencintai, dicintai
mencintai, dicintai
Pada suatu hari yang kurang baik
Hati cintawan ini mulai robek
Cinta yang datang lagi ia tolak
Ia menangis dan terus meratap
Rasanya bagaikan gila: gila cinta dan cinta gila
Akhirnya ia gila sungguhan dan berantakan
Kalau seks dipandang dan dipergunakan hanya untuk memuaskan nafsu
birahi saja, maka akhirnya manusia akan terpisah dari sesama dan jauh dari
Tuhannya. Kodrat seksual yang sebenarnya dimaksudkan untuk ikut serta
menciptakan persatuan paling mesra diputarbalikkan menjadi hambatan bagi relasi
yang sungguh bersifat personal bahkan sampai mengasingkan manusia satu sama
lain: partner jadi rival, suasana romantis jadi suasana penuh dengan rasa
egoistis dan curiga. Oleh karena itu pemisahan seksualitas dari pribadi manusia
dapat disebut dosa seksual yang fundamental. Maksudnya, isolasi seksualitas
dari perkembangan dan pembentukan pribadi seutuhnya, sehingga seks dicari demi
seks belaka, demi nikmat saja. Persetubuhan tanpa persejiwaan membuat manusia
sama tingkatnya dengan hewan.
Celakanya
ialah bahwa banyak pemuda mencari pengalaman seksual yang pertama dengan
seorang pelacur dan seorang pemudi mencari peng-alaman seksual pertama dengan
seorang ‘laki-laki mata keranjang’, sehingga gambaran mengenai “pacar” atau
“bakal istri atau bakal suami” kurang tepat: ‘pacar’ atau ‘bakal istri, bakal
suami’ dan ‘istri-suami’ dianggap sebagai alat yang dibutuhkan untuk melepaskan
nafsu birahinya secara ‘halal.’ Akibatnya relasi seksual dalam perkawinan tak
dipandang sebagai ‘ikatan mesra cinta kasih’ tapi ‘persatuan alat kelamin
sesaat saja.’ Melakukan aksi yang bertentangan dengan seksualitas manusiawi yang
sejati sama artinya dengan melakukan dosa dalam bidang seksual.
Dosa seksual meninggalkan bekas.
Tanda bekas yang kelihatan di luar tak berarti bila dibandingkan titik noda
yang ditinggalkan pada jiwa orang itu. Perasaan bersalah, jiwa gelisah, hati
risau ditempa dalam api nafsu birahi yg menyala-nyala. Akibat dari praktek seks
yang tak halal ialah muncul beragam fobia yang mencemaskan para dokter jiwa
yang paling piawai sekalipun. Tapi yang paling parah ialah bahwa dosa seks
merusak jiwa dari dalam.
Dosa seksual
mencemoohkan dan menipu. Kita ambil sebagai contoh raja Daud. Daud tertarik
pada bisikan halus seks dan waktu ia lemah ia ditipu oleh kekuasaan dosa yg
mencengkeram. Bertahun-tahun lamanya ia harus menempuh tangga pertobatan yang
tinggi untuk kembali kepada damai hidup. Banyak rumah tangga hancur karena
nafsu birahi sesaat; kerajaan-kerajaan telah berpindah tangan karena enak
seksual sesaat; uang ataupun warisan apa saja ludes karena beberapa menit
penyimpangan neraka.
Manusia yang
tak tahu kekang diri menabur dalam daging dan menuai kebinasaan dari dagingnya.
Dosa seks mempermainkan mereka yang bersetubuh di luar nikah. Seperti semua
rencana iblis, dosa seks mengambil semua hal baik dari mereka yang “doyan seks”
tanpa memberi gantinya. Iblis ibarat majikan yang tak kenal belaskasihan.
Dosa seksual
memperbudak orang. Banyak orang digenggam ketat oleh seks dan percabulan. Sebab
mereka telah mematuhi dosa seks dan menyerahkan diri kepadanya sebagai majikan.
Mereka yang “doyan main goyang-goyang” tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu
salah tapi mereka tak berdaya untuk melepaskan diri dari kecemarannya. Dosa
yang tadinya membawa kenikmatan, akhirnya menjadi penindas – Namin
me namen, namen me namin akhirnya Au nak ka Namen (bahasa Dawan). semula
‘para tukang maju mundur’ ini memiliki dosa namun akhirnya dosa memiliki diri
mereka.’Mentalitas playboy’ dan ‘callgirl’ pada intinya antiseksual
karena menjadikannya kurang manusiawi sehingga akhirnya tinggal genitalitas
belaka.
Masih adakah
hari esok yang ceriah untuk orang-orang ini? Ingatlah akan kisah Maria
Magdalena…. Bertobat, kembali Sang Cinta Sejati supaya belajar bagaimana
caranya mencintai secara benar.
Cinta yang benar menaruh
penghargaan yang tinggi terhadap pacar yang dicintai. Cinta yang benar selalu
siap sedia berkorban atau tak meminta dan menuntut yang macam-macam. Cinta yang
benar bersabar. Cinta kasih sejati tak pernah punya syarat dan tidak mengenal
istilah “kalau”.
Jadi seks itu tidak identik
dengan cinta melainkan seks hanya salah satu ekspresi cinta. Seks pra nikah
bukanlah satu ujian cinta tetapi tanda bahwa orang tak sanggup berkorban, tanda
orang tak bisa bersabar, tanda awal per-selingkuhan terutama di kala salah
seorang alami sakit. Jika anda menikmati seks
sebelum menikah sah apa “surprise”-nya setelah pernikahan sah anda? Ini
adalah “bulan madu tanpa madu.” Mengapa anda bersedia menghancurkan kehidupan seks
seumur hidup hanya untuk mendapat kesenangan seks pranikah yang beberapa saat
saja tanpa ketenangan?
Saat hubungan seks bukannya di
masa pacaran melainkan di saat menjadi suami-istri sah. Tempat hubungan seks
yang aman bukanlah di luar rumah nikah melainkan relasi seks yang aman dan
nyaman ada di dalam rumah nikah sah.
Selamat membaca dan rubalah gaya pacaran-mu…!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar