Minggu, 20 Mei 2018

Bahasa dan Identitas Bangsa


Bahasa dan  Identitas Bangsa
Jose Dc. Verdial

Idetitas Bangsa Indonesia
Ernst Moritz Arndt mengatakan: "Tak ada elemen terluhur yang dimiliki suatu bangsa selain bahasa." Bahasa merupakan identitas sebuah bangsa. Kata 'identitas' berasal dari bahasa Latin 'idem' artinya 'yang sama'. Identitas tak lain dari ungkapan kesamaan yang menyatakan dan menentukan hidup seseorang di suatu kelompok tertentu yang bersifat sebagai  “pembeda antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya, pembeba antar bangsa dan suku”. 
Orang Perancis, Inggris atau Brasil memiliki kartu identitas (carte d`identite, identity card, carteira de identidade). Orang Jerman menyebut kartu pengenal dengan 'Ausweis' - kata 'weisen' (menunjukkan) atau 'wissend machen' (memberitahukan). Dari makna semantis istilah ini disimpulkan: Seorang Perancis misalnya pertama-tama melihat dirinya sendiri, sementara seorang Jerman menunjukkan dirinya kepada orang lain, kemudian dengan bantuan orang lain ia menyatakan dirinya sendiri.
Disini bahasa berfungsi untuk menguak perbedaan tataran pemahaman identitas. 
Lazimnya identitas merupakan suatu pemberian. Kita tidak bisa memilah-milah untuk menjadi orang Indonesia, orang rusia, orang eropa maupun orang afrika. Persoalan dimana kita dilahirkan itu adalah kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Kita tidak bisa memesan orangtua dan leluhur kita dari toko atau internet. Statement, pernyataan untuk meminta/menagih pengakuan akan identitas akan membuat kita terombang-ambing tanpa arah seperti sumbat botol di laut lepas. identitas suatu kelompok, Negara, suku hanya bisa di tunjukkan oleh masyarakatnya sendiri. Pengakuan ini juga merupakan pertarungan internal yang harus dilakukan setiap orang, lebih berat lagi oleh mereka yang leluhurnya berasal dari konteks budaya yang berbeda atau yang telah tercerabut dari akar budayanya sendiri. Banyak anak adopsi di Eropa dari belahan dunia lain tidak lagi menyadari akarnya. Mereka mengalami krisis identitas dan mengais identitas tiruan terutama yang belakangan ini dipasarkan oleh falsafah identitas majemuk. Termasuk dalam identitas selain pengakuan terhadap diri sendiri, kesadaran diri sebagai individu, insan tak terbagikan, juga afirmasi keanggotaan suatu kebersamaan atau bangsa. Kita mengidentifikasikan diri dengan bangsa kita; kita satu dengannya dan kembali menemukan diri dalam bangsa kita. Identifikasi merupakan fusi sadar setiap individu dalam suatu kebersamaan senasib atau seasal. Simbol-simbol identitas nasional seperti bendera merah-putih, Garuda Pancasila, Lagu Indonesia Raya, kesebelasan nasional, tim bulutangkis nasional, dan sebagainya membantu kita untuk mempererat dan menegaskan identitas bersama yang telah dimatangkan sejarah.
 Bagi bangsa Indonesia salah satu warisan historis dan hakiki untuk identitas bersama yakni bahasa Indonesia yang dicetuskan generasi pemuda 1928. Sumpah pemuda 1928 di tengah trik politik penjajah 'Divide et impera' (pecah-belah dan jajah!) merupakan 'blessing in disguise' (rahmat dalam ketidakpastian) bagi penghuni nusantara. Friedrich Schiller mengatakan: "Bahasa adalah cermin suatu bangsa. Jika kita bercermin, maka terpantul wajah kita - diri kita sendiri." Di hadapan bahasa sebagai cermin bangsa, kita merefleksikan pertanyaan ironis rekanku tadi. Forum formal-internasional mengizinkan seorang kepala negara atau pemerintahan berpidato dalam bahasa nasionalnya, terlepas dari kefasihannya berbahasa asing. Yang hendak ditonjolkan di sana adalah identitas nasional, bukan agama atau sukunya. Selama ini cukup getol digunjingkan bahaya invasi bahasa Inggris sebagai pisau pergaulan internasional yang tak terelakkan. Dalam konteks ancaman terhadap eksistensi dan ketahanan bahasa Indonesia, ada juga bahaya lain: Rambatan bahasa Arab yang tak teredamkan lewat jalur saleh dan suci, yang begitu pongah menggeser bahasa Indonesia. Sayangnya, media massa sebagai forum pendidikan bangsa mempermudah ekspansi liar dimaksud. Sementara itu dewan bahasa nasional membisu karena takut terjerumus dalam isu agama yang sensitif. "Siapa yang tidak melawan, dia hidup tidak benar" - demikian slogan gerakan kebudayaan di Jerman 1968.
Momentum ±88 tahun sumpah pemuda dengan salah satu klaim kesatuan bahasa yakni bahasa Indonesia, bukan sekadar ritus tahunan tanpa makna. Kesadaran mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia merupakan bagian esensial dari identitas dan integritas nasional. Kita wajib merawat dan menyiangi taman bahasa nasional. Jika bahasa nasional perlahan-lahan digeser, maka kita berada di jalur penyangkalan jati diri dan keutuhan sebagai bangsa Indonesia. Kita ditagih untuk mengadakan tekad, kiat politik dan afirmasi kolektif terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional; semacam 'sumpah pemuda baru'. Inilah jawaban yang tepat atas warisan luhur generasi 1928.
Menjaga Identitas Bahasa Melalui Media Massa
            Media massa cetak maupun elektronik setiap hari, setiap saat di dengar, dilihat dan dibaca oleh masyarakat Indonesia. Umumnya setiap media massa mengunakan sarana bahasa Indonesia. Oleh karena itu media massa memiliki fungsi strategis dalam upaya pembinaan bahasa Indonesia.
Media massa, baik itu media cetak maupun media elektronik memiliki jangkauan yang sangat luas. Negara kita wilayahnya luas sekali dan juga memiliki ribuan pulau yang terbentang dari sabang sampai merauke, hal ini tentunya membutuhkan alat komunikasi yang dapat menjangkau semua wilayah itu. Masyarakat yang tersebar luas itu pasti memiliki minat yang berbeda-beda dalam hal mengakses informasi. Ada orang yang lebih snang menonton TV, ada yang lebih suka mendengarkan radio dan banyak juga yang suka membaca surat kabar, terutamanya kalangan menegah ke atas. Dengan demikian masyarakat Indonesia yag tersebar luas dari sabang sampai merauke, dari jawa sampai Kalimantan merupakan konsumen media massa.
Media massa selama ini dijadikan konsumsi sehari-hari oleh sebagin besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu menempatkan media massa sebagai alat untuk membina dan menjaga bahasa Indonesia adalah suatu hal yang tepat. Jika bahasa Indonesia yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang benar, ini berarti secara tidak langsung masyarakat telah diarahkan untuk mengunakan bahasa yang benar pula. Bahasa yang digunakan dalam media massa sangat mempengaruhi kebiasaan berbahasa para pembaca media massa tersebut. Jika bahasa Indonesia yang digunakan dalam media massa itu tidak sesuai dengan kaidah bahasa, maka hal ini akan merusak penggunaan bahasa Indonesia.
Menjaga Idntitas Bahasa melalui Pendidikan dan Kegiatan Kenegaraan
Sejalan dengan berlakunya undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Sebagian masyarakat menuntut pengutamaan penggunaan badasa daerah untuk menjaga eksistensi bahasa daerah masing-masing. Walaupun begitu tuntutan agar bahasa daerah digunakan untuk komunikasi baik dalam situasi formal dan nonformal mengalami banyak kendala. Kendala itu berkaitan dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Pada bagian ini akan dipaparkan tuntutan pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa Negara. Yang dimaksud dengan kedudukan bahasa Indonesia adalah status bahasa Indonesia sebagai system lambang nilai budaya yang dirumuskan atas dasar nilai social. Yang dimaksud dengan fungsi bahasa Indonesia adalah peran bahasa Indonesia pada masyarakat Indonesia.
Berdasarkan sumpah pemuda, bahasa Indonesia mempunyai kedudukan sebagai bahasa nasional. Sesuai dengan kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia mempunyai fungsi (a) lambang kebanggaan kebangsaan, (b) lambang identitas nasional, (c) alat komunikasi antar warga, antardaerah dan antarbudaya, (d) alat yang memungkinkan sebagai pemersatu berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing kedalam kesatuan kebangsaan Indonesia. Di samping berkedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa Negara seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 36. Dalam kedudukanya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia mempunyai fungsi (a) bahasa resmi kenegaraan, (b) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, (c) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan pembagunan, (d) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi (Arifin dan Tasai, 2002:10).
Dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia masih mempunyai kedudukan yang kokoh atau tidak mengalami gangguan yang berarti. Fungsi bahasa Indonesia masih berjalan dengan baik, meskipun ada sedikit kendala karena masih ada warga Indonesia yang belum mampu berbahasa Indonesia. Tetapi jumlahnya tidak banyak, terutama orang-orang yang berada di pedalaman saja yang belum mampu berbahasa Indonesia. Bagaimana bahasa Indonesia menyikapi perkembangan zaman di er globalisasi ini yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada pengunaan bahasa asing (inggris)? Bahasa Indonesia mau tidak mau harus membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, kosakata dalam bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi diserap kedalam bahasa Indonesia. Penyerapan kosakata bahasa inggris ini tentu akan memperkaya perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia.
Saat ini di lingkungan sekolah juga sedang gencar-gencarnya menggunakan bahasa asing terutama bahasa inggris. Bahasa inggris mulai marak digunakan di sekolah-sekolah berstandar internasional sebagai bahasa pengantar pendidikan. Usaha pembinaan melalui pengajaran bahasa Indonesia melalui system persekolahan dilakukan dengan mempertimbangkan bahasa sebagai satu keseluruhan berdasarkan konteks pemakaian yang ditujukan untuk peningkatan mutu penguasaan dan pemakaian bahasa yang baik dengan tidak mengabaikan adanya berbagai ragam bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat. Peningkatan mutu pendidikan bahasa dapat dilakukan dengan melalui kegiatan sebagai berikut: 1) pengembangan kurikulum bahasa Indonesia, 2) pengembangan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan perkembangan metodologi pengajaran bahasa, 3) pengembangan tenaga kependidikan kebahasaan yang professional dan 4) pengembangan sarana pendidikan bahasa yang memedahi, terutama sarana uji kemahiran bahasa.
Usaha pembinaan dapat pula dilakukan melalui pemasyarakatan bahasa Indonesia. pemasyarakatan bahasa Indonesia ini dimaksudkan untuk meningkatkan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia dan meningkatkan mutu penggunaanya. Pemasyarakatan bahasa Indonesia ini juga harus menjangkau kelompok yang belum bisa berbahasa Indonesia agar berperan aktif dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa secara berkesinambungan.
Bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana dalam kegiatan oleh setiap masyarakat Indonesia, seperti dalam bidang seni, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seni, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan itu juga berdampak pada perkembangan bahasa. Perkembangan seni, budaya, ilmu penegtahuan dan tehnologi tidak lepas dari kemajuan tehnologi yang semakin memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi yang dibutuhkan terutama media baik itu media cetak maupun media elektronik. Media massa sekarang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia, bahkan hampir setiap hari masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di jawa dan Sumatra selalu mengkonsumsi media massa baik itu untuk mencari berita maupun untuk mencari hiburan. Oleh karena itu menempatkan media massa sebagai alat untuk membina dan menjaga bahasa Indonesia adalah suatu hal yang tepat. Jika bahasa Indonesia yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar, ini berarti secara tidak langsung masyarakat telah diarahkan untuk mengjaga indentitas bangsa Indonesia.
            Di dalam hasil rumusan Seminar Politik Bahasa Nasional disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembinaan bahasa adalah upaya untuk meningkatkan mutu pemakaian bahasa. Usaha pembinaan ini menyangkut upaya meningkatkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa. Usaha pembinaan melalui pengajaran bahasa Indonesia melalui sistem persekolahan dilakukan dengan mempertimbangkan bahasa sebagai satu keseluruhan berdasarkan konteks pemakaian yang ditujukan untuk meningkatkan mutu penguasaan sehingga mampu berbicara, menulis dan membaca dengan baik tanpa mengabaikan beragam bahasa yang ada di Indonesia.


Pergaulan Remaja Antara Cinta dan Seks


Pergaulan Remaja antara Cinta dan Seks
(Pandagan dalam Realitas kehidupan)
Jose Dc. Verdial

Cinta, kencan tanpa hubungan seks, itu bisa? Cinta, kencan lalu hubungan seks sebelum pernikahan sah, itu boleh? Apakah seks sama dengan cinta? Ini sebuah pergulatan maha berat. Ada yang berpendapat: hubungan seks terjadi untuk memperoleh dan mempertahankan cinta; yang lain berpandangan bahwa pria dan wanita saling mencintai untuk memperoleh hubungan seks. Seks itu nikmat dan indah. Seks dirancang Allah demi kebahagiaan. Tapi hubungan seks di luar nikah secara diam-diam merebut sukacita dari hati dua insan yang sedang dilanda asmara.
Pergaulan, persahabatan dan pacaran para muda-mudi dilatarbelakangi oleh pengalaman kesepian dan kegelisahan eksistensial. Seorang pemuda atau pemudi boleh saja hidup dalam kelimpahan harta namun kesepian eksistensial tak dapat dihilangkan oleh beraneka harta di sekelilingnya. Kesepian eksis-tensial melahirkan kegelisahan dalam jiwa yakni kerisauan yang mencari terus menerus untuk menemukan kawan bicara hati yang sepadan. Ketidaktenangan seorang manusia disebabkan karena ia tidak saja diciptakan sebagai manusia melainkan sebagai seorang laki-laki dan wanita.
Konseling seksual modern mengatakan bahwa kesepian dan kegelisahan manusia (laki-laki/wanita) adalah “kesepian genitalia– kegelisahan kelamin.” Namun pandangan ini terlalu picis karena mengidentikan manusia hanya sebatas “alat kelamin” padahal manusia adalah sebuah totalitas jiwa dan raga.
Kegelisahan eksistensial ini selalu mencari hingga menemukan “tempat teduh amannya” antara lain: Teman (biasa-biasa saja): orang yang dipertemukan bersama karena mengerjakan hal yg sama secara bersama-sama. Ada teman sekolah atau teman seperjalanan dalam bis. Di sini, orang hanya memperhatikan teman seadanya, sepintas kilas saja. Biarpun begitu, tiada alasan untuk meremehkan relasi antar teman. Relasi antar teman adalah wadah persemaian benih-benih persahabatan.
                Sahabat (lebih dari biasa-biasa): orang yang terlibat dalam hidup orang lain – saling terlibat dalam suka duka hidup, saling memperhatikan satu sama lain. Pengetahuan, pengalaman, perhatian, mereka bagikan satu sama lain. Relasi antar sahabat memungkinkan orang untuk berinteraksi dalam segala sesuatu kecuali soal saling menghina atau saling mencela. Persahabatan berdampak posetif dan negative. Secara posetif, persahabatan sejati dapat memperluas pandangan dan memperluas ruang lingkup gerak dan hubungan antar pribadi di tengah masyarakat. Secara negative, persahabatan picis dapat menyebabkan kemandegan dalam perkembangan, ketertutupan terhadap lingkungan yang lebih luas karena ada sikap “posesif ekslusif”.
                Kekasih (luar biasa biasa di luarkeluarkan perbendaharaan satu demi satu): hubungan antar dua manusia menjadi kekasih ketika mereka saling terpikat lalu saling terikat satu sama lain. Mereka bisa hanyut dan tenggelam dalam pengaruh psikoseksual pada dirinya maupun pada yang lain. Daya tarik dan interaksi seksual, berkencan yang direncanakan baik dalam tindakan nyata maupun dalam khayalan, semunya adalah tanda-tanda hubungan antar manusia yang lebih dari sekedar relasi dekat sebagai sahabat melainkan sebagai kekasih. Tidak ada yang dapat mengganggu relasi kasih ini kecuali ketidakjujuran dan ketidaksenonohan seksual.
Aku Mencintaimu dan Aku Jatuh Cinta Padamu”. Ada orang yang sulit menerima ungakapan-ungkapan ini, dan ada pula orang yang sulit mengungkapkannya. Apakah ada perbedaan mendasar di antara dua ekspresi ini. Sampai dengan saat ini kedua ungkapan ini dipandang sama saja. Pada moment ‘kasihsayang’ ini saya coba membuat suatu analisis kecil yang kiranya bisa membantu ‘mereka yang mabuk asmara’ dan kaum muda pada umumnya dalam menyimak ungkapan-ungkapan yang lahir di kala ada dalam relasi cinta sehingga tidak salah “berlaku.”
                Ungkapan “aku mencintaimu” mengandung beberapa pengertian yakni: a) cinta sebagai kewajiban; b) cinta sebagai perasaan; c) cinta sebagai sesuatu yang dilakukan demi seseorang karena itu amat bernilai baginya.
                Bila cinta diartikan sebagai kewajiban maka: “aku mencintaimu” sama artinya dengan saya bertanggungjawab atas dirimu dan aku harus melakukan kewajiban moralku, memenuhi atau menunaikan tanggungjawabku.
                Kalau cinta diartikan sebagai perasaan, maka cinta ini harus dilawan-kan dengan kebencian. Mengatakan, “aku mencintaimu” sama artinya dgn mengatakan “engkau menggetarkan hatiku.” Getaran ini bisa menjadi motivasi pemberian diri tapi gampang dicemari oleh egoisme karena orang terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri, menjadikan dirinya pusat perhatian. Kehadiran yang didambakan sudah dapat mengobarkan rasa gembira hati.
                Sehubungan dengan perasaan ini, satu hal perlu dicatat di sini. Tak jarang perasaan cinta kepada seseorang dibingkai hanya pada soal romantisme dua insan yang lagi membara asmaranya dan semua perasaan lain dikesamping-kan dan diremehkan. Bila perasaan itu marak, kaum muda bilang falling in love tetapi perasaan itu surut cinta tiba-tiba menjadi masa lalu. Rasa birahi sesaat dengan mudahnya dikacaukan dengan cintakasih.
                Kalau cinta diartikan dengan lebih mendalam maka cinta sama artinya dengan keinginan, kerinduan untuk melakukan sesuatu yang bernilai bagi orang lain yg dicintai dalam hidupnya. Maka mengatakan “aku mencintaimu” berarti “aku mau lakukan sesuatu yang bernilai bagimu” atau “aku mau lakukan sesuatu yang membahagiakanmu.” Karena itu lawan dari cinta dalam arti ini bukan kebencian tapi sikap acuh tak acuh, tak peduli, tiada perhatian.
Aku Jatuh Cinta Padamu”. Ungkapan yang khusus dipakai oleh mereka yang sedang dimabuk asmara yakni: “Aku jatuh cinta padamu.” Menyatakan kata-kata ini berarti mengungkapkan erosnya: ungkapan cinta yang dipadukan dengan nafsu seks: cumburayu, rabaan, belaian, birahi lalu hubungan seks.
 “Aku jatuh cinta padamu” mengungkapkan ketidaktahuan bagaimana hidup terpisah, mengarah kepada hubungan eksklusif dua individu yang memadu kasih karena dimabuk asmara, malah ungkapan itu sering kali berarti juga keinginan untuk melakukan hubungan seks tanpa cinta yaitu seks cuma berupa suatu daya mekanistis dari unsur biologis belaka, suatu pelepasan ketegangan biologis manusiawi. Seks yang demikian bisa beri rasa enak-nikmat tetapi tak mampu memberikan kebahagiaan.

 Cinta dan kencan plus “ngeseks”
                 Pada zaman pil antihamil ini seks dibicarakan secara terbuka dengan maksud untuk mengenal hakikatnya yang terdalam dan melahirkan respek yang pantas pada martabat manusia. Masalahnya sekarang ialah bahwa orang beralih dari berbicara tentang seks menuju melakukan seks secara bebas dengan dalil “test alat-alat: berfungsi baik atau tidak.” Cinta, kencan dan ngeseks dipandang sebagai satu paket yang harus dijalani. Cinta, kencan tanpa ngeseks dirasa kolot amat dan itu sama sekali tak seru.
                Masih adakah nilai mulia dalam hidup manusia? Sedangkan adanya manusia bukan saja ada biologis tapi juga spiritual dan intelektual. Pandangan Kristen menegaskan “tubuh bukan untuk nafsu tapi untuk memuliakan Allah. Tubuh adalah kenisah Allah bukan ladang zinah dan cabul.”

“Pedagogi seksual yang bercorak liberal”     
Humanisme dan behaviorisme mengajarkan bahwa manusia hanyalah hewan dan orang-orang muda dianjurkan untuk melampiaskan dengan bebas nafsu birahi seksnya dan perasaannya sehingga ia bisa jadi rileks. Pikiran ini nampak dalam pandangan progresif permisif liberal berikut ini:
Alfred Kinsey (zoolog). Norma-norma kesusilaan dan keagamaan serta adat istiadat tradisional pada umumnya dinilai “represif”oleh pedagogic seksual kontemporer yakni menghalangi perkembangan hidup manusia yang wajar dan matang. Pedagogi seksual kontemporer berpendapat sebaiknya keinginan seksual kaum muda tidak boleh ditekan dan ditindas malah sebaliknya pemuda-pemudi diberi dorongan dan kebebasan untuk mempraktekkan hubungan seksual kapan saja dan di mana saja di saat munculnya nafsu birahi. Pendidikan tentang kehidupan seksual di sekolah-sekolah tak boleh hanya bersifat informative tapi harus bersifat revolusioner dalam arti nilai-nilai kesusilaan harus ditinggalkan demi suburnya kebebasan seksual. Hubungan seksual yang bebas itu hak azasi dan harus dibebaskan dari penilaian moral dan religius.
                Menurut Dr. Alfred Kinsey: mereka yang menjalankan hidupnya dengan berorientasi pada norma-norma agama dan adat istiadat telah menjadi “korban kesusilaan.” Kinsey menyebut manusia sebagai human animal and human mammal. Menurutnya adalah baik kalau manusia memakai daya seksual seperti binatang dalam keadaan bebas dan tanpa perlu rasa malu, tanpa perlu rasa bersalah dan berdosa. Dengan hubungan seks bebas tanpa perlu malu manusia mengalami kelepasan dan pembebasan dari ketegangan saraf. Usaha Kinsey ialah melepaskan manusia dari rasa bersalah dan berdosa, khususnya dalam hal seksual behavior. Pembebasan ala Kinsey dinamakan “pengobatan suara hati manusia dengan obat bius.”
Sigmund Freud (psikiater dan dokter ahli saraf). Ia mengajarkan bahwa kebutuhan utama setiap manusia adalah pemuasan insting seksualnya. Insting seks bukan baru berfungsi ketika seseorang memasuki masa puber melainkan insting seks sudah dimulai sejak masa kanak-kanak meskipun dalam wujud yang berbeda. Menurut Freud dinamika jiwa manusia didorong oleh keinginan untuk mencapai “orgasme” atau kepuasan syahwat.
Wilhelm Reich (Sosiolog dan Pembina Daya Seks). Ia mengatakan “Panca indera ‘kebinatangan manusia’ beribu-ribu tahun lamanya tak berfungsi dan kini baru bangun dari tidurnya utk berfungsi secara wajar. Hal ini menye-babkan perombakan radikal dalam tatanan hidup berkeluarga, karena bila seksualitas sungguh disetujui maka tiada argument lagi untuk menentang hubungan seks bebas dengan pasangan kencan. Ideologi pernikahan musnah.”
Untuk mempersiapkan generasi muda bagi zaman yang baru ini, Reich mendesak supaya dibangunkan rumah-rumah hubungan di mana generasi muda bisa hidup bersama, saling bercumbu, saling meraba, saling merangsang dan boleh mengadakan perbuatan seks tanpa halangan apapun.
H. Scarbath, A. Comfort dan H. Kentler. Menurut F.W. Foerster, seorang pedagog: “Tak dapat disangsikan sama sekali bahwa perasaan malu yang dikembangkan merupakan perlindungan yang jauh lebih ampuh bagi muda-mudi daripada pendidikan seksual yang bersifat informatoris.”
Pendidikan seksual yang bercorak liberal yang disebut juga pendidikan seksual yang emansipatoris. mendobrak dan menolak azas pendidikan yang menjunjung tinggi rasa malu. Scarbath dan Comfort berusaha sekuat tenaga untuk mendidik kamu muda supaya dapat menggunakan daya seksualnya yang meletup-letup dengan tanggungjawab sendiri, tanpa ditekan oleh pandangan orang lain. Kentler dengan tegas mengatakan: hapuskanlah segala perasaan malu dari agenda hidup karena perasaan malu mengakibatkan penindasan terhadap daya seksual dan menciptakan seorang manusia pemalu saja.

“Saling merangsang menyebabkan puas dan buas”
                Banyak muda-mudi memasuki masa pacaran dengan niat tulus dan baik. Di antara mereka ada rasa saling menghargai dan menghormati harkat dan martabat sebagai pria dan wanita. Mereka mengenal batas-batas pergaulan, mereka menciptakan dan menyepakati jalur-jalur lalulintas yang boleh dan tak boleh dilalui di masa pacaran. Tapi seiring bertambahnya intensitas kencan dan makin intensif rayuan, tanda-tanda lalulintas pacaran mudah saja dilanggar. Pengalaman umum mengatakan bahwa si pemuda menjadi penggerak dan pengambil inisiatif untuk melanggar aturan lalulintas berpacaran. Kalau si pemudi tak mampu mengendalikan rayuan maut dan daya seksual si pemuda, biasanya ia pun mudah terbawa oleh arus perasaan seksual yang dipanas-panasin melalui ciuman dan rabaan halus pada tubuhnya… (bila otak tak kerja lagi…bolonglah pertahanan…jadilah sudah…)
                Dari catatan konseling seksual yang dibuat oleh para pakar ditemukan perbedaan antara respons pria dan wanita terhadap rangsangan erotis. Seorang gadis yang diciumi, diraba, dielus, dipeluk oleh pacarnya akan terangsang dan setelah itu ia merasa puas disertai rasa malu dan ia akan minta pulang segera karena waktunya telah tiba untuk pulang ke rumah sesuai pesan orangtua.
                Lain lagi dengan laki-laki. Semakin ia terangsang setelah mencium, meraba, membuka dan melihat “buah-buah terlarang” ia tak akan jadi puas malah makin buas, meminta dan terus meminta hingga “memangsa pacarnya.” Si pria tak mengerti si gadis, si gadis tak mengerti si pria. Si gadis mengajak prianya untuk pulang setelah merasa puas tapi si pria meminta si gadisnya untuk terus saling merangsang karena belum tiba di puncak permainan. Si pria tak mengerti si gadisnya: mengapa sang gadis ingin berhenti dan mengajak pulang sedang ia belum puas? Dari sini lahir konflik walau sesaat lalu mereka begitu mesra dan romantis tanpa dipikirkan lebih dahulu keduanya hanyut dalam arus perasaan seksual sehingga terjadi hubungan seks yang sama sekali tak direncanakan. Sering terjadi bahwa APA YANG MERUPAKAN PUNCAK KENIKMATAN PENGALAMAN SEKSUAL BAGI SI PEMUDA MENJADI AWAL MULA PENDERITAAN SI PEMUDI. TIDAK SEDIKIT PEMUDI TERJERUMUS DALAM DUNIA PELACURAN OLEH KARENA CINTA YANG MURNI PERNAH DIPERMAINKAN OLEH SEORANG LAKI-LAKI”.

Refleksikan Nasehat ini;
Main Cinta
Nasehat teman kepada teman:
hati-hati. Jangan main cinta
bila kamu tak ingin menangis
dan hatimu robek-robek….

Namun teman itu mendengar
tanpa mau mendengarkan
terus saja ia mencintai dan dicintai
mencintai, dicintai
mencintai, dicintai

Pada suatu hari yang kurang baik
Hati cintawan ini mulai robek
Cinta yang datang lagi ia tolak
Ia menangis dan terus meratap
Rasanya bagaikan gila: gila cinta dan cinta gila
Akhirnya ia gila sungguhan dan berantakan

Kalau seks dipandang dan dipergunakan hanya untuk memuaskan nafsu birahi saja, maka akhirnya manusia akan terpisah dari sesama dan jauh dari Tuhannya. Kodrat seksual yang sebenarnya dimaksudkan untuk ikut serta menciptakan persatuan paling mesra diputarbalikkan menjadi hambatan bagi relasi yang sungguh bersifat personal bahkan sampai mengasingkan manusia satu sama lain: partner jadi rival, suasana romantis jadi suasana penuh dengan rasa egoistis dan curiga. Oleh karena itu pemisahan seksualitas dari pribadi manusia dapat disebut dosa seksual yang fundamental. Maksudnya, isolasi seksualitas dari perkembangan dan pembentukan pribadi seutuhnya, sehingga seks dicari demi seks belaka, demi nikmat saja. Persetubuhan tanpa persejiwaan membuat manusia sama tingkatnya dengan hewan.
                Celakanya ialah bahwa banyak pemuda mencari pengalaman seksual yang pertama dengan seorang pelacur dan seorang pemudi mencari peng-alaman seksual pertama dengan seorang ‘laki-laki mata keranjang’, sehingga gambaran mengenai “pacar” atau “bakal istri atau bakal suami” kurang tepat: ‘pacar’ atau ‘bakal istri, bakal suami’ dan ‘istri-suami’ dianggap sebagai alat yang dibutuhkan untuk melepaskan nafsu birahinya secara ‘halal.’ Akibatnya relasi seksual dalam perkawinan tak dipandang sebagai ‘ikatan mesra cinta kasih’ tapi ‘persatuan alat kelamin sesaat saja.’ Melakukan aksi yang bertentangan dengan seksualitas manusiawi yang sejati sama artinya dengan melakukan dosa dalam bidang seksual.        
Dosa seksual meninggalkan bekas. Tanda bekas yang kelihatan di luar tak berarti bila dibandingkan titik noda yang ditinggalkan pada jiwa orang itu. Perasaan bersalah, jiwa gelisah, hati risau ditempa dalam api nafsu birahi yg menyala-nyala. Akibat dari praktek seks yang tak halal ialah muncul beragam fobia yang mencemaskan para dokter jiwa yang paling piawai sekalipun. Tapi yang paling parah ialah bahwa dosa seks merusak jiwa dari dalam.
                Dosa seksual mencemoohkan dan menipu. Kita ambil sebagai contoh raja Daud. Daud tertarik pada bisikan halus seks dan waktu ia lemah ia ditipu oleh kekuasaan dosa yg mencengkeram. Bertahun-tahun lamanya ia harus menempuh tangga pertobatan yang tinggi untuk kembali kepada damai hidup. Banyak rumah tangga hancur karena nafsu birahi sesaat; kerajaan-kerajaan telah berpindah tangan karena enak seksual sesaat; uang ataupun warisan apa saja ludes karena beberapa menit penyimpangan neraka.
                Manusia yang tak tahu kekang diri menabur dalam daging dan menuai kebinasaan dari dagingnya. Dosa seks mempermainkan mereka yang bersetubuh di luar nikah. Seperti semua rencana iblis, dosa seks mengambil semua hal baik dari mereka yang “doyan seks” tanpa memberi gantinya. Iblis ibarat majikan yang tak kenal belaskasihan.
                Dosa seksual memperbudak orang. Banyak orang digenggam ketat oleh seks dan percabulan. Sebab mereka telah mematuhi dosa seks dan menyerahkan diri kepadanya sebagai majikan. Mereka yang “doyan main goyang-goyang” tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu salah tapi mereka tak berdaya untuk melepaskan diri dari kecemarannya. Dosa yang tadinya membawa kenikmatan, akhirnya menjadi penindas – Namin me namen, namen me namin akhirnya Au nak ka Namen (bahasa Dawan). semula ‘para tukang maju mundur’ ini memiliki dosa namun akhirnya dosa memiliki diri mereka.’Mentalitas playboy’ dan ‘callgirl’ pada intinya antiseksual karena menjadikannya kurang manusiawi sehingga akhirnya tinggal genitalitas belaka.
                Masih adakah hari esok yang ceriah untuk orang-orang ini? Ingatlah akan kisah Maria Magdalena…. Bertobat, kembali Sang Cinta Sejati supaya belajar bagaimana caranya mencintai secara benar.
Cinta yang benar menaruh penghargaan yang tinggi terhadap pacar yang dicintai. Cinta yang benar selalu siap sedia berkorban atau tak meminta dan menuntut yang macam-macam. Cinta yang benar bersabar. Cinta kasih sejati tak pernah punya syarat dan tidak mengenal istilah “kalau”.
Jadi seks itu tidak identik dengan cinta melainkan seks hanya salah satu ekspresi cinta. Seks pra nikah bukanlah satu ujian cinta tetapi tanda bahwa orang tak sanggup berkorban, tanda orang tak bisa bersabar, tanda awal per-selingkuhan terutama di kala salah seorang alami sakit. Jika anda menikmati seks  sebelum menikah sah apa “surprise”-nya setelah pernikahan sah anda? Ini adalah “bulan madu tanpa madu.” Mengapa anda bersedia menghancurkan kehidupan seks seumur hidup hanya untuk mendapat kesenangan seks pranikah yang beberapa saat saja tanpa ketenangan?
Saat hubungan seks bukannya di masa pacaran melainkan di saat menjadi suami-istri sah. Tempat hubungan seks yang aman bukanlah di luar rumah nikah melainkan relasi seks yang aman dan nyaman ada di dalam rumah nikah sah.

Selamat membaca dan rubalah gaya pacaran-mu…!!!



Senin, 14 Mei 2018

CERPEN "Cermin Jiwa"


Cermin Jiwa
Jose Dc. Verdial

Wajah Nia jernih, tenang, dan penuh percaya diri. Sepasang lengkung alisnya serupa mantra. Menenteramkan siapa pun yang menatapnya. Ia keluar dari rumah berdinding bebak. Menampakkan sosok samar di kebun singkong. Hangat matahari menyingkap kabut di rambutnya. Dari celah-celah daun singkong, ia menatapi Philos, lelaki muda di seberang jalan. Lelaki itu menyusuri kesunyian ke kantor. Sepasang kupu-kupu mengitari kepalanya. Cahaya matanya serupa cermin jiwa: memantulkan hangat semesta yang membuka cakrawala Nia.

Di kebun singkong itu Nia memantulkan kesegaran daun-daun mekar. Gadis itu sengaja berada di kebun singkong. Ia bisa mencium aroma asap jerami dibakar. Menghirup bau tanah basah sawah sehabis dibajak. Mencuri pandang pada Philos, lelaki kurus, dengan hidung mencuat, bibir tipis dan jarang berbincang. Ketampanan lelaki itu terselubung sepi. Tinggal di rumah berdinding bebak yang luas dan terpelihara, lelaki kurus itu terlambat menikah. Nia selalu menatap matanya yang memantulkan keteduhan tanah yang ditumbuhi rumput, perdu, dan daun-daun liar.

Tatapan Nia pada Philos sering kali dilakukannya dengan diam-diam, menakik rasa gundah yang nyeri di hati. Philos seperti hidup sendirian, setelah ibunya meninggalkannya, pergi begitu saja, pada umurnya yang sepuluh tahun. Nia selalu memandangi lelaki itu sejak kecil. Lelaki itu terus saja bekerja, mengaji ke Gua Bunda Maria, tanpa senyum, tanpa berbincang-bincang

Ayah Philos sungguh aneh. Lelaki tua itu selalu keluyuran malam. Rambutnya memutih seluruhnya. Separuh wajah bagian kanan, menghitam arang memendam bara. Ia selalu bepergian tiap malam, mencari lawan berjudi, dan kata orang, sesekali mencuri sarang burung walet di tebing terjal pantai. Ia merambati tebing-tebing karang selengket cicak. Lewat larut malam ia pulang. Mabuk. Meracau. Teriak-teriak. Lantang. Menembus kabut dini hari.

Lambat laun Nia mulai paham, dan ia takjub, melihat Philos tumbuh dengan dirinya sendiri, di rumah berdinding bebak yang luas, peninggalan kakeknya.

Pada gerimis yang rapuh, menjelang senja, burung-burung sriti menghambur di atas pohon randu alas, di belakang Gua Bunda Maria. Bercericit gaduh. Ayah Philos mengetuk pintu rumah Nia, teratur dan sopan. Suaranya berat dan patah-patah. Nia berlarian membukakan pintu. Meminta lelaki berambut putih itu duduk di ruang tamu. Gugup.

"Tolong panggilkan ayah dan ibumu," pinta ayah Philos. Sungguh gemetar Nia memandangi ayah Philos. Tatapan lelaki tua itu liar, beringas, dan menyerang.

Bang Jever, ayah Nia, tersenyum tenang.

"Aku ingin bicara juga dengan istrimu," kata ayah Philos, dengan permohonan yang lembut. Tapi Ili Mau, ibu Nia, menahan rasa takut, getar dalam dada. Guncangan tertahan itu diredakannya.

"Begini, Bang Jever. Saya datang sore ini untuk meminang Nia bagi Philos. Saya sudah tua, tak bisa memberikan apa pun bagi anak saya itu, kecuali mencarikannya jodoh."
Terdiam. Lama. Belahan wajah hitam ayah Philos seperti bara terhembus angin. Lelaki tua itu mengambil napas, dan meredakan rasa murka. Dipandanginya Bang Jever yang tersenyum.


"Aku serahkan pinangan ini pada Nia," sahut Bang Jever, teduh dan lembut. Buru-buru Ili Mau menyambut. "Aku minta waktu agar anak gadisku cukup matang."

Lelaki berambut memutih dengan belahan wajah hitam itu tampak teduh dan tenteram. Memandangi Bang Jever dan Ili Mau, bergantian, mencari kepastian. Tiap saat ia menatap wajah Bang Jever yang tersenyum, bara dalam belahan wajahnya padam. Tiap saat ia menatap wajah Ili Mau yang menegang, bara dalam belahan wajahnya menyala. Terhenti ia pada segaris senyum Bang Jever, yang tulus, dan tak dibuat-buat. Lelaki tua itu menunduk. Terus tersenyum.

Ayah Philos berdiam diri. Memandangi lagi Bang Jever. Mencari keyakinan. Ayah Philos mengangguk-angguk. Bangkit. Mohon diri. Mengulurkan tangan. Menyalami Bang Jever. Berpamitan. Bukan sekadar bersalaman. Ayah Philos mencium tangan Bang Jever. Tertetes sepercik air mata di punggung tangan Bang Jever.

Burung-burung sriti tak lagi gaduh bercericit. Hinggap di dahan pohon randu alas. Seketika sepi, seketika pekat merambat.

Di Gua Bunda Maria, di belakang rumah berdinding bebak Bang Jever, samar terdengar suara anak-anak mengaji. Bang Jever berdiam diri di meja makan. Menelantarkan pepes ikan mas kesukaannya. Tak berselera. Dipandanginya Nia dan Ili Mau bergantian, kehilangan suara.

Telah mengering sepercik air mata di punggung tangan Bang Jever. Tapi tangan itu tak segera dicucinya. Tak digerakkannya untuk menuang nasi dalam piring. Tak melahap pepes ikan masakan kesukaanya tersebut. Terdiam. Menampakkan rautan renungan dalam wajahnya, terutama di sekitar mata.

"Apa yang Ayah risaukan?" tegur Nia, pelan, teduh.

"Bagaimana aku menampik lamaran ayah Philos?"

"Kenapa mesti ditampik?"

Terbatuk, Bang Jever menukas, "Lu menerimanya?"

"Kalau Ayah amati sisi wajah ayah Philos yang bersih, tentu tak perlu bimbang macam ini."

"Lu menerima Philos?"

"Saya hanya meminta Ayah melihat sisi terang pada wajah ayah Philos."

"Ho’oo, Lu selalu begitu!"

Seketika, tersenyum dan cairlah rautan renungan dalam wajah Bang Jever. Lelaki itu mengambil nasi, makan dengan lahap. Pepes ikan masakan kesukaanya  itu tinggal duri-duri. Pada bagian kepala ikan pun dicecapnya. Terserak remah-remah tulang belulang dan duri ikan di piring. Tak ada lagi percakapan. Terdengar sendawa Bang Jever. Berkali-kali.

Sesuatu yang tak lazim, Philos memandang ayahnya bersarung, berpeci, dan buru-buru melangkah ke Gua Bunda Maria Bang Jever menjelang magrib. Belum pernah Philos melihat wajah ayahnya sebening itu. Belahan wajah menghitam itu tak lagi membara. Belahan wajah itu seteduh lumpur sawah musim tanam padi.

Malam hari ayah Philos memasuki rumah, pelan-pelan, tanpa suara. Duduk di ruang tengah. Terbatuk. Menghirup kopi, Sambil Merokok. Termenung. Sesekali mencuri-curi pandang ke arah anak lelakinya.

"Telah kulamar Nia untukmu," kata ayah Philos, berat, dan menunduk. Tak tampak kerisauan pada wajah Philos. Tetap tenang. Melakukan segala hal sendirian. Diam-diam.

Melihat ayah Philos bergegas ke Gua Bunda Maria, Ili Mau cemberut. Sesekali ia mengerling ke arah lelaki tua itu. Tiap kali dilihatnya belahan hitam wajah lelaki itu, Ili Mau, tanpa disadarinya bergidik. Buru-buru ia meninggalkan Gua Bunda Maria. Tak dilihatnya dalam kelam puncak pohon randu alas, cericit burung-burung sriti beterbangan. Sesaat. Kembali sunyi.

Tiap kali datang orang baru ke Gua Bunda Maria, Ili Mau selalu menyambut dengan mata bercahaya. Kali ini lain. Dadanya berdegup. Meletup-letup. Tak bisa dibayangkannya, Nia anak gadisnya, hidup serumah dengan lelaki beringas, yang selalu membawa ceracau mabuk dan murka ke rumah.

"Ayah Philos itu, uh, mengapa selalu datang ke Gua Bunda Maria?" gerutu Ili Mau.
"Mestinya Ili Mau merasa senang. Dia datang ke Gua Bunda Maria kita. Bukannya mabuk," tukas Nia, mencengangkan. "Dia berbuat begitu lantaran ingin meminangmu."

"Ini lebih baik, daripada dia keluyuran malam, dan mencuri sarang burung walet."
Sebulan kemdian ayah Philos berkunjung ke Gua Bunda Maria, Bang Jever. Tak seorang pun menatap langit di atas pohon randu alas, di belakang Gua Bunda Maria. Burung-burung sriti berkitar-kitar, bercericit, hinggap-terbang, hinggap dan terbang lagi di pohon randu alas itu. Langit masih gelap, dan burung-burung sriti itu luput dari perhatian orang-orang yang bergegas ke Gua Bunda Maria.

Tak sekali pun ayah Philos bertanya kepada Bang Jever mengenai pernikahan anak lelakinya dengan Nia. Dalam diam bersimpuh, dia biasa terisak-isak, dengan mata terpejam memanjatkan doa. Tatkala orang-orang sudah meninggalkan Gua Bunda Maria, dia masih bersimpuh sendirian. Lama, hingga matahari berkilau menghangati hamparan tikar Gua Bunda Maria. Lelaki tua itu beringsut, pelan, bangkit.

Kali ini, dalam dingin kabut dini hari, ayah Philos telah menyempurnakan ketenteraman wajahnya dari pergolakan. Belahan hitam wajahnya tak menyeramkan, serupa lumpur sawah yang digenangi air: rata, datar, menyimpan anugerah alam. Orang-orang di Gua Bunda Maria mulai menerima kehadiran lelaki tua itu. Tak lagi menatap dengan selidik dan tatapan curiga.

Di tengah-tengah suara orang berdoa, ayah Philos tak dapat menahan tubuh. Tersungkur. Tiada lagi napas mengembus dari hidungnya. Ia rebah dengan tangan masih menggenggam kontas. Tubuhnya terjerembap. Tidak menggelepar. Tidak berkelejatan. Tubuh itu terburu, kehilangan napas pelan-pelan, di antara orang- orang yang bersimpuh doa. Mula-mula orang-orang tak menduga lelaki tua itu direnggut ajal. Tapi kemudian orang-orang terperanjat, gugup dan memekik tertahan.

Kini orang-orang mulai melihat cericit burung-burung sriti yang tak terhitung banyaknya, berkitar-kitar terbang di puncak pohon randu alas, di belakang Gua Bunda Maria Ayah Lufti. Dalam sekejap, sangat cepat, burung-burung sriti itu hinggap di dahan dan ranting pohon randu alas. Tak lagi mengepakkan sayap. Tak lagi bercericit gaduh.

Sepasang kupu-kupu kuning terbang di atas kepala Philos. Nia sangat gemas, ingin menangkap sepasang kupu-kupu itu. Selalu dilihatnya tiap pagi, diam-diam di kebun singkong yang menyembunyikan wajah dan tubuhnya, kupu-kupu di atas kepala Philos. Lelaki itu berangkat ke kantor. Berjalan kaki. Selalu berjalan kaki ke mana pun pergi. Dan sepasang kupu-kupu itu mengantarkannya menyusuri jalan berumput pada pagi berkabut, saat embun meraup tersengat matahari.

Ayahnya diam-diam memperhatikan perilaku anak gadisnya. Sambil minum teh, menghisap pipa rokok, saat matahari menghangat, dia menemukan anak gadisnya turun ke kebun singkong samping rumah, hanya untuk melihat Philos. meninggalkan rumah, berjalan kaki, diiringi kupu-kupu. Mengapa sepasang kupu-kupu? Dalam jarak yang begitu jauh, sepasang kupu-kupu itu terus mengitari kepala Philos.

Kepergok Bang Jever memasuki rumah, Nia tersipu-sipu. Terhenti. Menanti teguran.

"Apa Ayah mesti menegur Philos, bagaimana kelanjutan lamaran ayahnya dulu?"

"Biar Philos sendiri yang menentukan," tukas Nia tenang. "Ayah jangan salah sangka. Aku cuma suka memandangi sepasang matanya. Sungguh aneh mata itu, selalu memancarkan alam yang lembut dan tanpa dendam. Aku suka memandanginya."