STRUKTURALISME
FERDINAND DE SAUSSURE DALAM BAHASA INDONESIA
Oleh
Jose Da Conceicao Verdial
1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Latar
belakang abad ke-19 yang merupakan masa pendewasaan ilmuwan-ilmuwan pada
permulaan abad ke-20, telah ditinjau dan ada 3 corak pemikiran utama yang yang dapat
dibeda-bedakan; (1) tradisi berkelanjutan, kajian gramatikal dan linguistik
yang dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan Eropa dengan cara yang berbeda-beda sejak
zaman kuno; (2) apresiasi progresif ilmu pengetahuan linguistik India, terutama
dalam bidang fonetik dan fonologi; dan (3) pengasimilasian ilmu pengetahuan
linguistik terutama sebagai ilmu yang berorientasi historis, ke dalam
sikap-sikap, komparatisme, evolusionisme, abad ke-19 dan positifisme ilmu
pengetahuan alam. (Robins, 1995:278)
Perbedaan
utama yang paling mecolok antara dua abad yang lalu adalah peningkatan yang
pesat dalam linguistik deskriptif yng mencapai kedudukannya yang kuat dewasa
ini dikontraskan dalam linguistik historis. Tokoh sentral dalam perubahan sikap
dari abad k-19 ke abad k-20 adalah pakar linguistik kebangsaan Swiss yang
bernama Ferdinand deSaussure. (Robins, 1995:280)
Secara
historis, gagasan-gagasan Saussure dapat dibagi menjadi 3 kelompok. Pertama,
memformalisasikan dan mengeksplisitkan sesuatu yang diasumsikan atau diabaikan
oleh pakar-pakar linguistik sebelumnya, yaitu 2 dimensi mendasar dan esensial
dari kajian linguistic. Dua dimensi mendasar tersebut yaitu sinkronik yang
memperlakukan bahasa-bahasa sebagai sistem lengkap komunikasi pada suatu saat
tertentu dan diakronik yang memperlakukan factor-faktor pengubah yang
mempengaruhi bahasa pada suatu kurun waktu diperlakukan secara historis.
Sinkronik atau deskrptif, dan diakronik atas historis. Kedua, Saussure
membedakan komptensi linguistik penutur dengan peristwa sebenarnya atau data
linguistik (ujara), sebagai langue
dan parole. Ketiga, bahwa setiap langue harus dilihat dan dideskripsikan
secara sinkronik sebagai suatu sistem unsur-unsur yang saling terkait, yaitu
unsur leksikal, gramatikal, dan fonologi, dan bukan sebagai suatu kumpulan
kesatuan yang dapat berdiri sendiri.
(Robins, 1995:280-281)
Gagasan terpenting yana dimunculkan De
Saussure adalah langue dan parole. Langue adalah
pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama
oleh semua warga masyarakat. Sedangkan parole adalah
perwujudan langue pada individu. Eksistensi langue
memungkinkan adanya parole, seperti yang kita ketahui bahwa parole adalah
wicara aktual, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya.
(George Ritzer, 2004).
Dalam perkembangan
bahasa, peran aliran struktural Ferdinand deSaussure adalah adanya pembakuan
dalam penulisan ejaan, dan tanda baca. Di samping itu, tata bahasa indonesia
baku, yang berisi tentang tata penulisan kalimat, dan struktur bahasa Indonesia
baku. Begitu pun pengadaan kamus, baik kamus umum maupun kamus khusus (kamus
istilah), kata serapan dan sebagainya. Contoh dalam
ketentuan penulisan kalimat, bahwa setiap kalimat diawali huruf kapital dan
diakhiri tanda baca. “Adik membeli pisang.” Kalimat ini menyatakan
bentuk berita, karena secara jelas dengan tanda baca yang digunakan. Ini
merupakan implikasi dari ciri-ciri linguistik tersebut.
1.2
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di muka, maka tujuan dalam
makalah ini antara lain adalah:
a.
Mendeskripsikan ciri-ciri linguistik strukturalisme
Ferdinand deSausurre.
b.
Mendeskripsikan tokoh-tokoh linguistik strukturalisme
Ferdinand deSausurre.
c.
Mendeskripsikan penerus dan perkembangan linguistik
strukturalisme Ferdinand deSausurre.
d.
Mendeskripsikan analisis kalimat berdasarkan
linguistik strukturalisme Ferdinand deSausurre.
2.
PEMBAHASAN
2.1 Aliran
Strukturalisme FerdinanddeSausurre (Sausurrean)
Aliran Struktural muncul pada awal abad
ke XX atau tepatnya tahun 1916. Tahun tersebut menjadi tahun monumental
lahirnya aliran struktural, sebab pada tahun itu terbit
sebuah buku berjudul ”CoursedeLinguistiqueGenerale” karya Saussure yang berisi
pokok-pokok teori struktural yang jua sebagai pokok-pokok pikiran linguistik
modern.
Membaca pemikiran Saussure tentang
strukturalisme, seolah-olah kita diajak untuk berdialog sistemik yang dapat
mengantarkan kita pada wilayah linguistik dan gramatikal. Mengingat, landasan
filosofis yang digagas Saussure lebih menekankan pada aspek kajian bahasa yang
merupakan nilai filosofis terpenting dalam memahami arus strukturalisme. Dalam
pandangan Steven Best dan Douglas Kellner, strukturalisme merupakan konsep-konsep
struktural linguistik dalam sains manusia yang mereka gunakan untuk
merekonstruksi dasar yang lebih mapan. Levis-Strauss, misalnya, menerapkan
analisis linguistik terhadap kajian sosial mitologi, sistem kekeluargaan dan
fenomena antropologis, sedangkan Lacan mengembangkan psikoanalisa struktural
dan Althusser mengembangkan Marxisme struktural. Itulah sebabnya, kenapa
strukturalis diatur oleh kode dan aturan-aturan yang tak sadar, seperti ketika
bahasa membentuk makna melalui serangkaian oposisi biner yang berbeda-beda,
atau ketika mitologi mengatur prilaku makna dan teks menurut sistem atau aturan
kode.
Selain sebagai bapak strukturalisme, Saussure
juga sebagai bapak linguistik yang memiliki sikap concern terhadap landasan filosofis sebuah
bahasa. Ia yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara mengalisa bahasa
untuk memahami sistem tanda atau simbol dengan menggunakan analisis struktural
dalam kehidupan masyarakat. Maka, tak heran kalau Saussure mengatakan bahwa
linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya menggunakan
bahasa yang bersifat otonom.
Bahasa, menurut Saussure, adalah sistem tanda
yang paling lengkap karena mengungkapkan gagasan struktural yang terungkap
dalam sistem tanda dan simbol tersebut. Dengan demikian, bahasa hanyalah
penting dalam sistem interdisipliner yang tercakup pada wilayah nilai dan makna
sehingga memperkuat landasan filosofis yang kita analisis. Kajian Saussure
memang tak lepas dari aspek linguistik, sehingga analisis strukturalisme yang
digagasnya mempunyai relevansi dengan sistem tanda maupun bahasa. Itulah
kenapa, strukturalisme berupaya mengisolasi struktur umum aktivitas manusia
dengan mengaplikasikan analogi pertamanya dalam bidang linguistik.
2.2 Ciri-Ciri
Ciri-ciri
strukturalisme deSausurre berdasarkan buku yang dirangkum Charles Bally dan
Albert Sechehay (mahasiswa Sausurre) tahun 1915 dengan judul CoursedeLinguistiqueGenerale, yaitu:
a) Telaah
Sinkronik dan Diakronik
Istilah sinkronis dan diakronis
sudah mulai muncul sejak abad ke-19. Yang memperkenalkan istilah ini adalah
Ferdinand deSaussure, linguis Swiss yang juga peletak dasar linguistik modern.
Pada mulanya, Saussure adalah seorang ahli linguistik diakronis. Ia meneliti
bahasa-bahasa Indo-Eropa (Kridalaksana, 2005:9-10). Beliau kemudian berusaha
mengembangkan pendekatan baru dalam linguistik yang ia namakan pendekatan
sinkronis.
Pendekatan sinkronis adalah
pendekatan yang titik kajiannya menyasar pada bahasa dalam satu kurun masa
tertentu. Dalam masa waktu kajian yang terbatas (Chaer, 2007: 14) itu, bahasa
tersebut diterangkan bagaimana cara kerja dan penggunaannya oleh para
penuturnya (Alwasilah, 1991: 87). Atau dalam istilah Parera (1991), linguistik
sinkronis mempelajari bahasa berdasarkan gejala-gejala bahasa yang bersifat
sezaman yang diujarkan oleh pembicara.Contoh, mempelajari bahasa Indonesia yang
di gunakan pada zaman Jepang atau pada masa tahun 50-an.
Sedangkan telaah bahasa diakronik
adalah telaah bahasa dari masa ke masa yang digunakan oleh para
penuturnya. Dalam hal ini telaah diakronis
berupaya mengkaji bahasa (atau bahasa-bahasa) pada masa yang tidak terbatas;
bisa sejak awal kelahiran bahasa itu sampai zaman punahnya (bila sudah punah)
atau sampai masa kini (Chaer, 2007). Dalam kajian ini, bahasa dilihat memiliki
fase-fase yang mencerminkan perkembangan bahasa tersebut (Parera,1991). Contoh,
mempelajari bahasa Indonesia dimulai sejak zaman sriwijaya sampai zaman
sekarang ini.
Sebelum terbit buku CoursedeLinguistiqueGenerale telaah
bahasa selalu dilakukan orang secara diakronik tidak pernah secara diakronik.
Para ahli belum sadar bahwa bahasa dapat diteliti secra sinkronik. Inilah
salahsatu pandangan deSaussure yang sangat penting sehingga kita dapat
memberikan telaah terhadap suatubahasa tertentu tanpa melihat sejarah bahasa
itu.
b) Perbedaan
Langue dan Parole
Menurut Saussure, langue ini ada
dalam benak orang, bukan hanya abstraksi-abstraksi saja. Langue adalah sesuatu
yang berkadar individual tapi juga sosial universal. Dengan kata lain,
merupakan keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi
verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa. Langue itu abstrak dan
tertentu pada suatu bahasa. Sebagai orang Indonesia maka kita mempunyai Langue
Bahasa Indonesia, tetapi kalau kita mempelajari bahasa Jerman umpamanya maka
langue kita pun bertambah yaitu langue bahasa Jerman.
Sedangkan Parole adalah pemakaian
atau realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa; sifatnya
konkret, pribadi, dinamis, lincah, sosial, terjadi pada waktu, tempat, dan
suasana tertentu. Parole itu merupakan ujaran seseorang, yaitu apa yang
diucapkan dan apa yang didengar oleh pihak penanggap ujaran.
c) Perbedaan
Signifiant dan Signifie
Ferdinand deSaussuremengemukakan
teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signé atau signélinguistique)
dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen
signifiant dan komponen signifie. Yang dimaksud dengan signifiant adalah
citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita. Sedangkan
signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Untuk
lebih jelas signifie sama dengan makna atau “yang diartikan” yang wujudnya
berupa pengertian atau konsep signifiant; dan signifiant sama dengan
bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu atau “yang mengartikan”
yang wujudnya berupa runtutan bunyi.Hubungan antara signifiant dan
signifie sangat erat, karena keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
d) Relasi
Sintagmatik dan Paradigmatik
Bapak linguistik modern membedakan
adanya dua macam hubungan, yaitu sintagmatik dan hubungan paradigmatik.
Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam
suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. Hubungan sintagmatik
dalam tataran fonologi tampak pada urutan fonem-fonem dalam sebuah kata yang
tidak dapat diubah tanpa merusak makna kata itu. Contohnya kata /k, i, t, a/.
Apabila urutannya diubah maka maknanya akan berubah, atau tidak bermakna sama
sekali.
Hubungan sintagmatik pada tataran
morfologi tampak pada urutan morfem-morfem pada suatu kata. Ada kemungkinan
maknanya berubah tetapi ada kemungkinan pula tak bermakna sama sekali. Misal,
kata segitiga ≠tigasegi, kata barangkali ≠ kalibarang, dan
kata tertua≠tuater. Hubungan sintakmatik pada tataran
sintaksis tampak pada urutan kata yang mungkin dapat diubah tetapi mungkin juga
tidak dapat diubah tanpa mengubah makna kalimat tersebut atau menyebabkan tak
bermakna sama sekali.
Contohnya:
Evi membeli
tas baru
Evi baru
membeli tas
Membeli Evi
tas baru
Baru Evi
membeli tas
Hubungan paradigmatik adalah
hubungan antar unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur
sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Hubungan paradigmatik
pada tataran fonologi tampak pada contoh berikut antar bunyi /r/, /k/, /b/,
/m/, dan /d/ yang terdapat pada kata-kata rata, kata, bata, mata,
dandata. Hubungan paradigmatik pada tataran morfologi tampak pada contoh
pada prefiks me-di-, pe-,dan te- yang
terdapat pada kata-kata merawat, dirawat, perawat, dan terawat.Sedangkan
hubungan paradigmatik pada tataran sintaksis dapat dilihat pada contoh antara
kata-kata yang menduduki fungsi subjek, predikat, dan objek. Misalnya ;
Ana menulis
surat
Ani makan
bakso
Dia memakai
sepatu
2.3 Tokoh
Aliran linguistik struktural muncul pada awal abad
ke XX (1916) yang dipelopori oleh FerdinandeSausurre. Hal itu ditandai dengan
terbitnya sebuah buku berjudul ”CoursedeLinguistiqueGenerale” karya
Charles Bally dan Albert Sechehay (mahasiswa Sausurre yang merangkum catatan
kuliah yang diberikan gurunya) berisi pokok-pokok teori struktural yang juga
sebagai pokok-pokok pikiran linguistik modern.
Ferdinand deSaussure (lahir di
Jenewa, 26 November 1857 – dari keluarga Protestan Prancis (Huguenot) yang
ber-emigrasi dari daerah Lorraine ketika perang agama pada akhir abad
ke-16, meninggal di Vufflens-le-Château, 22 Februari 1913 pada umur 55
tahun) adalah linguis Swedia yang dipandang sebagai salah satu Bapak
Linguistik Modern dan semiotika. Karya
utamanya, Coursdelinguistiquegénérale
diterbitkan pada tahun 1916, tiga tahun setelah kematiannya, oleh dua orang
mantan muridnya, Charles Ballyand Albert Sechehaye, berdasarkan catatan-catatan
dari kuliah Saussure di Paris. Konsepnya yang paling terkenal adalah pembedaan
tanda bahasa menjadi dua aspek, yaitu signifiant (yang memaknai) dan signifie (yang dimaknai). Dalam semiologi,
Saussure berpendapat bahwa bahasa sebagai “suatu sistem tanda yang mewujudkan
ide” dapat dibagi menjadi dua unsur: langue (bahasa), sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh
suatu masyarakat yang digunakan sebagai alat komunikasi, dan parole (ujaran),
realisasi individual atas sistem bahasa.
Sejak kecil, Saussure memang sudah
tertarik dalam bidang bahasa. Pada tahun 1870, ia masuk Institut Martine, di
Paris. Dua tahun kemudian (1872), ia menulis “Essaisur les langues” yang ia
persembahkan untuk ahli linguistik pujaan hatinya (yang menolong dia untuk
masuk ke Institut Martine, Paris), yakni Pictet. Pada tahun 1874 ia belajar
fisika dan kimia di universitas Genewa (sesuai tradisi keluarganya), namun 18
bulan kemudian, ia mulai belajar bahasa sansekerta di Berlin. Rupanya, Saussure
semakin tertarik pada studi bahasa, maka pada 1876-1878 ia belajar bahasa di
Leipzig; dan pada tahun 1878-1879 di Berlin. Di perguruan tinggi ini, ia
belajar dari tokoh besar linguistik, yakni Brugmann dan Hübschmann.
Ketika masih mahasiswa, ia telah
membaca karya ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney yang membahas
tentang The Life andGrowth of Language: andoutline of Linguistic Science (1875); buku ini
sangat mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878,
Saussure menulis buku tentang Mémoiresurlesystéme primitif des voyellesdans les
languesindo-européennes (Catatan Tentang Sistem Vokal Purba Dalam
Bahasa-bahasa Indo-Eropa). Pada tahun 1880 ia mendapat gelar doktor (dengan
prestasi gemilang: summacumlaude) dari universitas Leipzig dengan
disertasi: De l’emploi du génetifabsoluensanscrit (Kasus Genetivus Dalam Bahasa
Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke Paris.
Tahun 1881 menjadi dosen di satu di
antara universitas di Paris. Setelah lebih dari sepuluh tahun mengajar di
Paris, ia dianugrahkan gelar profesor dalam bidang bahasa Sansekerta dan
Indo-Eropa dari Universitas Genewa. Menurut Beliau, prinsip dasar
strukturalisme adalah bahwa alam semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan
benda (substansial).
2.4 Penerus
Saussure merupakan pelopor aliran linguistik
struktural. Beliau dikenal sebagai bapak strukturalisme dan sekaligus Bapak Linguistik Modern.
Linguis setelah beliau merupakan mayoritas penerusnya yang selanjutnya
membentuk aliran-aliran baru lantaran ketidakpuasan terhadap teori
pendahulunya. Berikut Tokoh-tokoh yang merupakan penganut/penerus teori ini
baik lingkup internasional maupun nasional (Indonesia).
2.4.1 Penerus
di Dunia (Selain di Indonesia)
1) Aliran Praha
Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang
tokohnya, yaitu Vilemmathesius (1882-1945). Dalam bidang Fonologi aliran Praha
inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi.
Aliran Praha ini juga memperkenalkan dan mengembangkan suatu istilah yang
disebut morfonologi, bidang yang meneliti struktur fonologis morfem. Dalam
bidang sintaksis, Vilem Mathesius mencoba menelaah kalimat melalui pendekatan
fungsional. Menurut pendekatan ini kalimat dapat dilihat dari struktur
formalnya dan juga dari struktur informasinya yang terdapat dalam kalimat yang
bersangkutan. Struktur informasi menyangkut unsur tema dan rema.
Awalnya kelompok ini mengambil ilham dari karya Ferdinand deSaussure, tapi kemudian memperluas teori tersebut khususnya dalam bidang
fonemik. Aliran Praha merupakan salah satu aliran yang lebih banyak
mengaplikasikan tipe linguistik sinkronis.
2)
Aliran Glosematik
Aliran
Glosematik lahir di Denmark, tokohnya Louis Hjemslev (1899-1965) yang
meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Namanya menjadi terkenal karena
usahanya untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri, bebas
dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis dan terminologis sendiri.
Analisis
bahasa dimulai dari wacana, kemudian ujaran itu dianalisis atas
konstituen-konstituen yang mempunyai hubungan paradigmatis dalam;
1. rangka
forma (hubungan gramatikal intern),
2. substansi
(kategori ekstern dari objek material),
3. ungkapan
(medium verbal dan grafis), dan
4. isi (makna).
Prosedur
yang bersifat analitis dan semi aljabar ini menghasilkan satuan dasar yang
disebut glosem, yang mempunyai pengertian kurang lebih sama
dengan morfem menurut teori Bloomfield. Menurut Hjemslev teori bahasa haruslah
bersifat sembarang saja, artinya harus merupakan suatu sistem deduktif
semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai secara tersendiri untuk dapat
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari premis-premisnya.
Suatu teori harus bebas dari pengalama apa pun, namun, teori itu harus tepat,
maksudnya, harus memenuhi syarat untuk diterapkan pada data empiris tertentu,
yaitu bahasa. Sedangkan teori itu agar dapat dipakai secara empiris haruslah
konsisten, tuntas, dan sederhana.
Sejalan
dengan pendapat Saussure, Hjemslev menganggap bahasa itu mengandung dua segi,
taitu segi ekspresi (menurut de Saussure: signifiant) dan segi
isi (menurut de Saussure: signifie). Masing-masing segi mengandung forma dan
substansi, sehingga diperoleh
1. Forma ekspresi
2. Substansi ekspresi
3. Forma isi, dan
4. Substansi isi.
Perbedaan
forma dari substansi berlaku untuk semua hal yang ditelaah secara ilmiah;
sedangkan pembedaan ekspresi dari isi hanya berlaku bagi telah bahasa saja.
Karena
teorinya pula Hjemslev dianggap tokoh yang paling berjasa dalam aliran
Kopenhagen. Dalam aliran ini ahli bahasa Skandinavia seperti J.N Madvig, A
Noreen, H,G Wiwel, O. Jespersen hingga tokoh yang tertua Rasmus Rask sering
menujukkan kekhasan dalam mengembangkan teori kebahasaan di setiap kajiannya.
Setelah terjadi kekhasan yang menarik akhirnya terdapat sebuah aliran yang bernama
aliran Kopenhagen berkat sekelompok para ahli linguistik yang menamakan dirinya
Linguistic of Copenhagen. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tokoh yang
terkenal yaitu Brondal dan juga Hjelmslev. Hjemslev mengembangkan wawasan
prolegomena dalam mengembangkan teori linguistik dan mengembangkan teori
glosematik ini.
Pemikiran
Hjemslev bahwa bahasa sebagai objek kajian linguistik harus
didudukkan sebagai struktur sui-generis yg memiliki totalitas dan otonominya
sendiri membuat aliran Kopenhagen ini juga berbeda dengan aliran-aliran
sebelumnya. Disini bahasa dibagi menjadi dua fungsi yaitu:
1. eksternal yang meliputi unsur non linguistik dan
struktur internal itu sendiri.
2. ia mendiskripsikan bahwa teori merupakan hasil
abstraksi yg berkaitan dengan dunia ideasi dan bukan paparan deskriptif.
Terakhir ia
memberi konsep tentang tata tingkat hubungan dan hubungan fungsional antar
tingkatan secara asosiatif dengan cara menjelaskan ciri hubungan fungsional
antar kelas yang dibagi menjadi 3 yaitu interdependensi, determinasi dan
konstelasi, ketiga ciri ini masih dapat diklasifikasikan lagi.
Baik Fungsi
eksternal maupun fungsi internal, seperti dalam aliran Glosematikbahasa
memiliki 4 strata yang harus dimiliki yaitu rangka forma (hubungan gramatikal
intern), substansi (kategori ekstern dari obyek material), ungkapan (baik
berupa wahana verbal maupun grafis) dan isi atau makna. Keempat strata tersebut
akan sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Hjemslev yakni linguistik
berkaitan dengan pengetahuan yang tersenden, esensi bahasa ada pada “system
dalam”, dan teori merupakan dedukasi murni yg harus dibebaskan dari kabut
realitas.
Analisis
merupakan pemerian objek kajian yang mengandung sejumlah unsure dalam berbagai
tingkatannya, yang memiliki ketergantungan hubungan yang satu dengan lainnya.
Butir awal yang memiliki ketergantungan dinamakan kelas. Jika kelas mempunyai
kesatuan yang luas maka akan tercipta komponen kelas. Dalam kelas ini dapat
diklarifikasikan berdasarkan proses dan system. Kelas sebagai bagian dari
proses disebut chain, dengan memiliki komponen berupa bagian dan
penganalisasinya berupa partition. sedangkan kelas sebagai bagian dari system
disebut paradigm, dengan mempunyai komponen berupa anggota dan menganalisisnya
berupa articulation.
Prosedurnya
dapat berupa Induktif maupun deduktif. Jika dalam induktif dilakukan dengan
sintesis untuk memperoleh pemerian tentang kelas, komponen, hubungan
masing-masing dalam keutuhan maupun pada ciri totalitas itu sendiri. Bila
dilakuakan secara deduktif caranya dengan menggunakan metode analitis. metode
tersebut bertujuan untuk menyelaraskan konsep yang bukan hanya berlaku pada
segmen tetapi berlaku bagi segmen, antar segmen dan totalitasnya.
Dalam metode
ini kita juga akan menemukan sebuah cara yaitu melalui komutasi antar segmen,
tetapi hal ini mempunyai dampak yang negatif. Dampak tersebut berupa gejala
sinkretisme dan gejala oplosning. sejala sinkretisme yakni paradigma yang dapat
memiliki hubungan tumpang-tindih antara satu dengan lainnya, meskipun mereka
sebenarnya tunggal. Sedangkan gejala oplosning adalah timbulnya varian
sinkretisme atau syncretism-variety yang justru dapat dijadikan pangkal tolak
dalam memberikan ciri penanda elemen-elemen tertentu.
Akhirnya
dapat dikatakan, sebagaimana de Saussure maka Hjemslev juga menganggap bahasa
sebagai suatu sistem hubungan; dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan
paradigmatik.
3) Linguistik
Aliran Transformasional
A)
Transformational Grammar
Aliran transformasional
dipelopori oleh Noam Chomsky yang merupakan reaksi dari aliran strukturalisme.
Konsep strukturalisme yang paling ditentang adalah konsep bahwa bahasa sebagai
faktor kebiasaan (habit). Pembahasan
tata bahasa transformasi ditulis oleh Chomsky dalam bukunya yang berjudul Syntactic Structure Pada tahun 1957,
yang kemudian diperkembangkan karena adanya kritik dan saran dari berbagai
pihak ke dalam bukunya yang kedua berjudul Aspect
of the Theory of Syntax pada tahun 1965 (Chaer, 2012:364).
Adapun asumsi yang mendasari pendekatan
bahasa secara transformasional ini adalah sebagai berikut:
a.
Bahasa merupakan satu
produk kebudayaan yang kreatif manusiawi
b.
Bahasa bukan merupakan
rekaman tingkah laku luar yang berupa bunyi yang dapat didengar, melainkan
bahasa merupakan satu proses mentalistik yang nantinya dapat dilahirkan dalam
bentuk luar bunyi bahasa yang didengar atau dimanisfetasikan dalam bentuk
tulisan.
c.
Bahasa merupakan satu
proses produktif, sehingga metode analisis bahasa harus bersifat deduktif.
d.
Formalisasi matematis
dapat juga dikenakan pada formalisasi sistem produktif bahasa.
e.
Analisis bahasa tidak
dapat dilepaskan dari hakikat bahasa yang utuh yakni bunyi dan makna.
Menurut Chomsky (dalam
Chaer, 2012:364) salah satu tujuan dari penelitian bahasa adalah untuk menyusun
tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan
kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Setiap tata
bahasa merupakan teori dari bahasa itu sendiri, dan tata bahasa itu harus
memenuhi dua syarat, yakni:
a)
Kalimat yang dihasilkan
oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai
kalimat yang ajar dan tidak dibuat-buat.
b)
Tata bahasa tersebut
harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga istilah yang digunakan tidak
berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar
dengan teori linguistik tertentu.
Sejalan dengan konsep langue dan parole dari de Saussure, Chomsky membedakan adanya kemampuan (competence) dan perbuatan berbahasa (performance). Competence adalah pengetahuan
yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya; sedangkan performance adalah pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang
sebenarnya. Dalam tata bahasa transformasional ini, yang menjadi objeknya
adalah competence, meskipun performance juga penting.
Menurut aliran ini,
sebuah tata bahasa hendaknya terdiri atas sekelompok kaidah yang tertentu
jumlahnya, tetapi dapat menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
Pada dasarnya setiap kita mengucapkan suatu kalimat, kita telah membuat kalimat
baru, yang berbeda dari sekian banyak kalimat yang pernah kita ucapkan atau
tuliskan. Kemampuan membuat kalimat-kalimat baru inilah yang disebut aspek kreatif bahasa.
Secara umum
transformasi generatif merupakan proses atau kaidah perubahan dari struktur
dalam, menjadi struktur luar atau permukaannya, baik dalam menambah, mengurangi
(penghilangan), permutasi, maupun pergantian. Teori transformasi generatif
meninjau aspek bahasa berdasarkan sudut pandang bahasa itu sendiri, serta
menelaah unsur-unsur dan fungsinya dalam bahasa yang diteliti. Beberapa ahli
tata bahasa membuat batasan-batasan transformasi di bawah ini:
Keraf (dalam 1980: 153) Transformasi adalah suatau proses
merubah bentuk bahasa menjadi bentuk-bentuk lain, baik dari bentuk sederhana ke
bentuk yang kompleks maupun dari bentuk kompleks ke bentuk yang sederhana‖.
Samsuri (1991:35) Transformasi
adalah proses atau hasil pengubahan sebuah struktur kebebasan atau struktur
yang lain menurut kaidah tertentu‖.
Kridalaksana (1988:
198) Transformasi adalah kaidah untuk mengubah struktur gramatikal lain dengan
menambah, mengurangi, atau mengatur kembali konstituen- konstituennya. Tata
bahasa transformasi generatif merupakan teori linguistik yang menyatakan bahwa
tujuan linguistik ialah menemukan apa yang semesta dan teratur dalam kemampuan
manusia untuk memahami dan menghasilkan kalimat-kalimat yang gramatikal.
Kalimat dianggap sebagai satuan dasar, dan hubungan antara unsur-unsur dalam
struktur kalimat diuraikan atas abstraksi yang disebut kaidah struktur frase dan
kaidah transformasi.
B)
Generative
Grammar
Analisis tata bahasa
generatif bertugas mengungkapkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami
sebanyak mungkin kalimat. Tata bahasa generatif harus menjadi satu sistem
kaidah yang dapat secara berulang membangkitkan sejumlah besar struktur. Sistem
kaidah ini dapat dianalisis dalam tiga komponen tata bahasa generatif, yakni:
a.
Komponen sintaksis
Komponen ini merupakan
“sentral” dari tata bahasa, karena (a) komponen inilah yang menentukan arti
kalimat, dan (b) komponen ini jugalah yang menggambarkan aspek kreativitas
bahasa.
Untaian awal mengalami
kaidah pencabangan, untuk kemudian mengalami kaidah-kaidah subkategorisasi.
Kaidah-kaidah kategorisasi ini menghasilkan pola-pola kalimat dasar dan
deskripsi struktur untuk setiap kalimat yang disebut penanda frasa dasar. Inilah yang menjadi unsur-unsur struktur batin (deep structure). Leksikon merupakan daftar morfem beserta
keterangan yang diperlukan untuk penafsiran semantik, sintaksis, dan fonologi.
Walaupun belum diketahui dengan jelas bentuk leksikon itu, tetapi keterangan
seperti jenis kata, unsur yang dapat mendahului dan mengikutinya di dalam kalimat,
abstrak atau tidak, haruslah tercantum di dalam leksikon ini. Kaidah transformasi mengubah struktur
batin yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah kategori menjadi struktur lahir.
Karena struktur batin ini telah memiliki semua unsur yang diperlukan untuk interpretasi
semantik dan fonologis, maka kalimat yang berbeda artinya, akan mempunyai
struktur batin yang berbeda pula. Perbedaan arti biasanya tercermin di dalam
perbedaan morfem, urutan morfem, dan jumlah ,morfem yang digunakan. Ada kalimat
yang jumlah morfemnya sama, bunyi dan urutannya sama, tetapi mempunyai arti
yang berbeda. Kalimat-kalimat yang meragukan seperti ini, tentu memiliki
struktur dalam yang berbeda.
a.
Komponen
semantik
Komponen ini menetukan
interpretasi semantik sebuah kalimat. Arti kalimat yang dihasilkan ditentukan
oleh komponen ini. Arti sebuah morfem dapat digambarkan dengan memberikan unsur
makna atau ciri semantik yang membentuk arti morfem itu. Umpamanya kalau kata ayah dan ibu kita bandingkan dengan kata pensi
dan kursi, maka dapat kita lihat
kata ayah dan ibu mempunyai ciri semantik /+makhluk/ sedangkan kata pensil dan kursi tidak memiliki ciri itu, atau lazim disebut memiliki ciri
semantik /-makhluk/. Oleh karena itulah kita dapat menerima kalimat “Ayah suka
makan durian” dan kalimat “Ibu suka makan durian”, tetapi tidak dapat menerima
kalimat “Pensil suka makan durian” dan “Kursi suka makan durian”. Kalimat
tersebut tidak dapat diterima karena kata kerja makan hanya bisa dilakukan oleh kata benda yang mempunyai ciri
semantik /+makhluk/ dan tidak dapat dilakukan oleh yang berciri semantik
/-makhluk/.
b.
Komponen
fonologis
Komponen ini menentukan
bentuk fonetik dari sebuah kalimat yang dibangkitkan oleh kaidah sintaksis. Ia
menghubungkan sebuah struktur yang dilahirkan ileh komponen sintaksis dengan
simbol yang dinyatakan secara fonetis. Komponen semantik dan komponen fonologis
merupakan komponen interpretatif.
2.4.2 Penerus
di Indonesia
Konsep-konsep
linguistik modern yang dikembangkan FerdinandeSausurre sudah bergema sejak awal
abad 19 (buku deSausurre terbit). Namun, gema linguistik modern itu baru tiba
di Indonesia pada tahun lima puluhan. Tokoh pembawanya adalah Anton Moeliono
dan T.W. Kamil. Keduanya yang pertama-tama memperkenalkan konsep fonem, morfem,
frasa, dan klausa dalam pendidikan formal linguistik di Indonesia.
Terbitnya
Tata Bahasa Indonesia karangan
GorysKeraf, isinya menyodorkan kekurangan-kekurangan tata bahasa tradisional,
dan menyajikan kelebihan analisis bahasa struktural Sausurre. Selain itu,
sejumlah buku Ramlan juga menyajikan analisis bahasa struktural Sausurre,
menyebabkan linguistik moderna dalam pendidikan formal menjadi semakin kuat.
1. Erasmus
Erasmus
adalah linguis Yunani yang beraliran tradisional. Beliau mengarang tata bahasa
Latin dengan menggunakan tata bahasa Latin yang dibuat Donatus. Referensi yang
menjelaskan kisah hidup dan karya Erasmus sulit ditemukan, namun yang pasti
karya beliau mengenai tata bahasa Latin dimanfaatkan oleh para linguis
beraliran modern, salah satunya Ferdinand deSausurre.
3. ANALISIS
Berdasarkan penjelasan di muka, terdapat
delapan komponen yang dijadikan patokan analisis yaitu, sinkronis, diakronis,
parole, lange, signifiant, signifie, sintagmatik, dan paradigmatik. Dari lima
komponen tersebut terdapat lima kalimat yang harus dianalisis. Kalimat tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Hari
ini saya belajar linguistik
2.
Saya
suka membaca buku
3.
Kuingin
melampiaskan rindu yang tertunda
4.
Saya
tidak masuk karena sakit
5. Dirinya sakit karena disakiti
Berdasarkan
lima kalimat tersebut, akan kami menganalisis dengan menggunakan analisis struktural
Ferdinad De Saussure. Adapun analisis kelima kalimat tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Hari ini saya belajar linguistik
a.
Sinkronis
dan Diakronis
Kalimat
tersebut termasuk studi sinkronis karena pada kalimat tersebut tidak ada bukti
yang menunjukkan penggunaan bahasa antarzaman.
b.
Lange
dan Parole
Kalimat
tersebut termasuk parole karena kalimat tersebut merupakan wujud konkret bahasa
dan bukan wujud abstrak bahasa.
c.
Signifiant
dan Signifie
1)
Signifiant
Kata-kata
yang mengonstruksi kalimat di atas merupakan signifiant atau lambang.
2)
Signifie
Kata
hari memiliki makna waktu
dari pagi sampai pagi lagi.
Kata
ini memiliki makna kata
penunjuk terhadap sesuatu yang letaknya tidak jauh dari pembicara.
Kata
saya memiliki makna orang
yang berbicara atau menulis.
Kata
belajar memiliki makna berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.
Kata
linguistik memiliki makna ilmu tata bahasa
d.
Sintagmatik
dan paradigmatik
1)
Sintagmatik
a)
Fonem
Katahari
terdiri atas fonem /h/,/a/,/r/,/i/, kata ini terdiri atas fonem /i/, /n/,
/i/, kata saya terdiri atas fonem /s/, /a/, /y/, /a/, kata belajar
terdiri atas fonem/b/, /e/, /l/, /a/, /j/, /a/, /r/, kata linguistik
terdiri atas/l/, /i/, /ŋ/, /u/, /i/, /s/, /t/, /i/, /k/.
Relasi
antarfonem pada kata hari, ini, saya, belajar, dan linguistik
merupakan relasi sintagmatik. Relasi itu tidak berlaku jika posisi antarfonem
di ubah-ubah dan menimbulkan makna lain atau tidak bermakna sama sekali.
b)
Morfem : relasi
{hari}{ini}{saya}{belajar}{linguistik}
Relasi
sintagmatik tataran morfem adalah hubungan antara morfem satu dengan lainnya.
Contoh data di atas, antara morfem {ber-} dengan {-ajar}. Relasi tersebut akan
tidak memiliki makna sama sekali jika posisinya diubah.
c)
Sintaksis : Hari ini (keterangan waktu), saya (subjek),
belajar (predikat), linguistik (pelengkap)
2)
Paradigmatik
Relasi
paradigmatik akan berlaku jika dikomparasikan dengan kalimat yang lain dengan
gramatika yang sama.
Hari
ini saya belajar linguistik.
Saat
itu aku diajari bahasa Inggris.
Relasi paradigmatik pada data di atas
merupakan relasi paradigmatik tataran sintaksis, yaitu relasi antar fungsi
sintaksis antara kalimat yang satu dengan pembandingnya.
2. Saya suka membaca buku
a.
Sinkronis
dan Diakronis
Kalimat
tersebut termasuk studi sinkronis karena pada kalimat tersebut tidak ada bukti
yang menunjukkan penggunaan bahasa antarzaman
b.
Lange
dan Parole
Kalimat
tersebut termasuk parole karena kalimat tersebut merupakan wujud konkret bahasa
dan bukan wujud abstrak bahasa.
c.
Signifiant
dan Signifie
1)
Signifiant
Kata-kata
yang mengonstruksi kalimat di atas merupakan signifiant atau lambang.
2)
Signifie
Kata
saya memiliki makna orang yang berbicara atau menulis.
Kata
suka memiliki makna berkeadaan
senang (girang).
Kata
membacamemiliki makna melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis
(dengan melisankan atau hanya dalam hati).
Kata
bukumemiliki makna lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau
kosong.
d.
Sintagmatik
dan paradigmatik
1)
Sintagmatik
a)
Fonem
Katasaya
terdiri atas fonem /s/,/a/,/y/,/a/, kata suka terdiri atas fonem /s/, /u/,
/k/, /a/, kata membaca terdiri atas fonem /m/, /e/, /m/, /b/, /a/, /c/, /a/,
kata buku terdiri atas fonem /b/, /u/, /k/, /u/.
Relasi
antarfonem pada kata saya, suka, membaca, dan buku merupakan
relasi sintagmatik. Relasi itu tidak berlaku jika posisi antarfonem di
ubah-ubah dan menimbulkan makna lain atau tidak bermakna sama sekali.
b)
Morfem : relasi {saya}{suka}{membaca}{buku}
Relasi
sintagmatik tataran morfem adalah hubungan antara morfem satu dengan lainnya.
Contoh data di atas, antara morfem {me-} dengan {-baca}. Relasi tersebut akan
tidak memiliki makna sama sekali jika posisinya diubah.
c)
Sintaksis : saya (subjek), suka membaca (predikat), buku
(objek)
2)
Paradigmatik
Relasi
paradigmatik akan berlaku jika dikomparasikan dengan kalimat yang lain dengan
gramatika yang sama.
Saya
suka membaca buku
Aku
ingin menendang bola
Relasi
paradigmatik pada data di atas merupakan relasi paradigmatik tataran sintaksis,
yaitu relasi antar fungsi sintaksis antara kalimat yang satu dengan
pembandingnya.
3.
Kuingin
melampiaskan rindu yang tertunda
a.
Sinkronis
dan Diakronis
Kalimat
tersebut termasuk studi sinkronis karena pada kalimat tersebut tidak ada bukti
yang menunjukkan penggunaan bahasa antarzaman
b.
Lange
dan Parole
Kalimat
tersebut termasuk parole karena kalimat tersebut merupakan wujud konkret bahasa
dan bukan wujud abstrak bahasa.
c.
Signifiant
dan Signifie
1)
Signifiant
Kata-kata
yang mengonstruksi kalimat di atas merupakan signifiant atau lambang.
2)
Signifie
Kata
ku memiliki makna orang yang berbicara atau menulis.
Kata
ingin memiliki makna hendak,
mau, berhasrat.
Kata
melampiaskan memiliki makna
Kata
rindu memiliki makna sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu.
Kata
yang memiliki makna kata untuk menyatakan bahwa kata atau kalimat yang
berikut diutamakan atau dibedakan dari yang lain.
Kata
tertunda memiliki makna terhenti, dapat ditunda, ditangguhkan karena
sesuatu sebab.
d.
Sintagmatik
dan paradigmatik
1)
Sintagmatik
a)
Fonem
Katakuingin
terdiri atas fonem /k/, /u/, /i/, /ŋ/, /i/, /n/, kata melampiaskan terdiri
atas fonem /m/, /e/, /l/, /a/, /m/, /p/, /i/, /a/, /s/, /k/, /a/, /n/, kata rindu
terdiri atas fonem /r/, /i/, /n/, /d/, /u/, kata yang terdiri atas fonem
/y/, /a/, / ŋ/, kata tertunda
terdiri atas fonem /t/, /e/, /r/, /t/, /u/, /n/, /d/, /a/.
Relasi
antarfonem pada kata kuingin, melampiaskan, rindu, yang, dan tertunda
merupakan relasi sintagmatik. Relasi itu tidak berlaku jika posisi antarfonem
di ubah-ubah dan menimbulkan makna lain atau tidak bermakna sama sekali.
b)
Morfem : relasi {kuingin}{melampiaskan}{rindu}{yang}{tertunda}
Relasi
sintagmatik tataran morfem adalah hubungan antara morfem satu dengan lainnya.
Contoh data di atas, antara morfem {me-} dengan {-lampias} dan {-kan}, {ter}
dengan {tunda}. Relasi tersebut akan tidak memiliki makna sama sekali jika
posisinya diubah.
c)
Sintaksis : ku (subjek), inginmelampiaskan (predikat),
rindu (objek), yang tertunda (pelengkap)
2)
Paradigmatik
Relasi
paradigmatik akan berlaku jika dikomparasikan dengan kalimat yang lain dengan
gramatika yang sama.
Kuingin
melampiaskan rindu yang tertunda
Kuakan
melempar cinta yang terdahulu
Relasi
paradigmatik pada data di atas merupakan relasi paradigmatik tataran sintaksis,
yaitu relasi antar fungsi sintaksis antara kalimat yang satu dengan
pembandingnya.
4.
Saya
tidak masuk karena sakit
a.
Sinkronis
dan Diakronis
Kalimat
tersebut termasuk studi sinkronis karena pada kalimat tersebut tidak ada bukti
yang menunjukkan penggunaan bahasa antarzaman
b.
Lange
dan Parole
Kalimat
tersebut termasuk parole karena kalimat tersebut merupakan wujud konkret bahasa
dan bukan wujud abstrak bahasa.
c.
Signifiant
dan Signifie
1)
Signifiant
Kata-kata
yang mengonstruksi kalimat di atas merupakan signifiant atau lambang.
2)
Signifie
Kata
saya memiliki makna orang yang berbicara atau menulis.
Kata
tidak memiliki makna partikel
untuk menyatakan pengingkaran, penolakan, penyangkalan.
Kata
masukmemiliki makna datang (pergi) ke dalam.
Kata
karenamemiliki makna kata penghubung untuk menandai sebab atau alasan.
Kata
sakit memiliki makna berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh
karena menderita sesuatu.
d.
Sintagmatik
dan paradigmatik
1)
Sintagmatik
a)
Fonem
Kata
saya terdiri atas fonem /s/,/a/,/y/,/a/, kata tidak terdiri atas
fonem /t/, /i/, /d/, /a/, /k/, kata masuk terdiri atas fonem /m/, /a/,
/s/, /u/, /k/, kata karena terdiri atas fonem/k/, /a/, /r/, /e/, /n/,
/a/, kata sakit terdiri atas fonem /s/, /a/, /k/, /i/, /t/.
Relasi
antarfonem pada kata saya, tidak, masuk, karena, dan sakit
merupakan relasi sintagmatik. Relasi itu tidak berlaku jika posisi antarfonem
di ubah-ubah dan menimbulkan makna lain atau tidak bermakna sama sekali.
b)
Morfem : relasi sintagmatik pada kalimat di atas
tidak ditemukan karena morfem pada kalimat tersebut tidak ada.
c)
Sintaksis : saya (subjek), tidak masuk (predikat), karena
sakit (keterangan).
2)
Paradigmatik
Relasi
paradigmatik akan berlaku jika dikomparasikan dengan kalimat yang lain dengan
gramatika yang sama.
Saya
tidak masuk karena sakit
Saya
ingin mandi sebab panas
Relasi
paradigmatik pada data di atas merupakan relasi paradigmatik tataran sintaksis,
yaitu relasi antar fungsi sintaksis antara kalimat yang satu dengan
pembandingnya.
5.
Dirinya
sakit karena disakiti
a.
Sinkronis
dan Diakronis
Kalimat
tersebut termasuk studi sinkronis karena pada kalimat tersebut tidak ada bukti
yang menunjukkan penggunaan bahasa antarzaman
b.
Lange
dan Parole
Kalimat
tersebut termasuk parole karena kalimat tersebut merupakan wujud konkret bahasa
dan bukan wujud abstrak bahasa.
c.
d.
Signifiant
dan Signifie
1)
Signifiant
Kata-kata
yang mengonstruksi kalimat di atas merupakan signifiant atau lambang.
2)
Signifie
Kata
dirinya memiliki makna orang
seorang.
Kata
sakitmemiliki makna berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh
karena menderita sesuatu.
Kata
karena memiliki maknakata penghubung untuk menandai sebab atau alasan.
Kata
disakiti memiliki makna
e.
Sintagmatik
dan paradigmatik
1)
Sintagmatik
a)
Fonem
Kata
saya terdiri atas fonem /s/,/a/,/y/,/a/, kata sakit terdiri atas
fonem /s/, /a/, /k/, /i/, /t/, kata karena terdiri atas fonem /k/, /a/,
/r/, /e/, /n/, /a/, kata disakiti terdiri atas fonem /d/, /i/, /s/, /a/,
/k/, /i/, /t/, /i/
Relasi
antarfonem pada kata saya, sakit, karena, dan disakiti merupakan
relasi sintagmatik. Relasi itu tidak berlaku jika posisi antarfonem di
ubah-ubah dan menimbulkan makna lain atau tidak bermakna sama sekali.
b)
Morfem : relasi {dirinya}{sakit}{karena}{disakiti}
Relasi
sintagmatik tataran morfem adalah hubungan antara morfem satu dengan lainnya.
Contoh data di atas, antara morfem {di-} dengan {-sakit}, dan {-i}. Relasi
tersebut akan tidak memiliki makna sama sekali jika posisinya diubah.
c)
Sintaksis : dirinya (subjek), sakit (predikat), karena
disakiti (keterangan).
2)
Paradigmatik
Relasi
paradigmatik akan berlaku jika dikomparasikan dengan kalimat yang lain dengan
gramatika yang sama.
Dirinya
sakit karena disakiti
Dia
menangis sebab takut
Relasi
paradigmatik pada data di atas merupakan relasi paradigmatik tataran sintaksis,
yaitu relasi antar fungsi sintaksis antara kalimat yang satu dengan pembandingnya.
4.
PENUTUP
4.1
Simpulan
Berdasarkan
penjabaran secara singkat dan penganalisisan beberapa kalimat di atas, dapat
ditarik simpulan seperti di bawah ini.
a.
Linguistik struktural yang dicetuskan oleh Ferdinand
deSaussure mampu memformalisasikan dan mengeksplisitkan sesuatu yang terabaikan
oleh pakar-pakar linguistik sebelumnya (Aliran Tradisional). Aliran Struktural
lebih menitikberatkan pada pendeskripsian suatu bahasa berdasarkan
ciri sifat khas yang dimiliki bahasa tersebut.
b.
Ferdinand
deSausssureSaussure (dalam Chaer, 1994: 346-347) berpandangan bahwa
dalam studi bahasa terdapat konsep-konsep dikotomis, yaitu:
1)
telaah sinkronik dan diakronik,
2)
perbedaan langue dan parole,
3)
perbedaan significant dan signifie,
serta
4)
hubungan sintagmatik dan paradigmatik
(fonologi, morfologi, dan siktaksis)
c.
Keunggulan dan Kelemahan Aliran
Struktural yaitu:
1)
Keunggulan Aliran
Struktural
Ø aliran ini sukses membedakan konsep grafem dan fonem,
Ø metode drillandpractice membentuk keterampilan berbahasa berdasarkan kebiasaan,
Ø kriteria kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga mudah diterima
masyrakat awam,
Ø level kegramatikalan mulai rapi mulai dari morfem, kata, frase, klausa, dan
kalimat, dan
Ø berpijak pada fakta, tidak mereka-reka data.
2)
Kelemahan dari aliran
struktural adalah:
Ø
bidang morfologi dan sintaksis dipisahkan secara tegas,
Ø metode drill and practice sangat memerlukan ketekunan,
kesabaran, dang sangat menjemukan,
Ø proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap berlangsung secara fisis
dan mekanis padahal manusia bukan mesin,
Ø kegramatikalan berdasarkan kriteria keumuman , suatu kaidah yang salah pun
bisa benar jika dianggap umum,
Ø faktor historis sama sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa, dan
Ø objek kajian terbatas sampai level kalimat, tidak menyentuh aspek
komunikatif.
Aliran Struktural Ferdinand
deSaussure mengenal adanya 4 dikotomi dalam bahasa. Pada kelima kalimat yang
menjadi bahan analisis hampir semua dapat dianalisis berdasarkan konsep
dikotomi Ferdinand deSaussure. Hanya kalimat Andris sering kali melupakan sholat
lima waktu
yang dapat secara utuh dianalisis berdasarkan konsep dikotomi aliran
struktural, sedangkan yang lain ada beberapa unsur dari konsep dikotomi yang
tidak terpenuhi dalam kalimat tersebut, sehingga tidak dapat dianalisis. Pada
kalimat Ruang kelas ini sangat dingin, Bapak tilemkula siram, dan Ari sedang minum kopi di kantin tidak dapat dianalisis dalam
hubungan sintagmatik maupun paradigmatik pada tataran morfologi. Sedangkan
kalimat Mereka berpendapat bahwa Betti
sangat cantik dapat dianalisis dalam hubungan sintagmatik pada tataran
morfologi, namun tidak untuk paradigmatik tataran morfologi.
4.2
Saran
Peneliti bahasa perlu pendalaman
yang matang mengenai teori linguistik
dari aliran struktural ini. Hal ini disebabkan aliran struktural merupakan aliran
yang paling kompleks dan mecakup hampir seluruh unsur kebahasaan, yaitu
fonologi, morfologi, dan sintaksis.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 1994. LinguistikUmum. Jakarta: RinekaCipta.
Robins, R.H. 1995. A Short
History of Linguistics. London: Longman.
Verhaar. 2010.
Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar