PERKEMBANGAN LINGUISTIK DI INDONESIA
Oleh
Jose Da Conceicao Verdial
A. Pendahuluan
Indonesia memiliki area yang cukup memungkinkan untuk
berkembangnya penelitian di segala bidang, khususnya bidang linguistik.
Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa, atau ilmu yang menjadikan bahasa
sebagai objek kajiannya. Dalam hal ini, linguistik memiliki peran dalam
melestarikan budaya lisan maupun tulisan (bahasa) yang sudah lama ada dan
berkembang di Indonesia.
Perkembangan linguistik di Indonesia lebih banyak
dipengaruhi oleh aliran-aliran yang tumbuh di Amerika dan Eropa. Hal ini
diawali oleh adanya kepentingan negara-negara kolonial untuk mencari informasi
mengenai Indonesia yang memiliki banyak suku dengan bahasa yang berbeda.
Informasi tersebut dimaksudkan untuk misi perluasan daerah kekuasaan, dan
penyebaran agama Nasrani. Akan tetapi, pada masa tersebut penelitian bahasa
hanya pada tahap deskripsi sederhana mengenai sistem fonologi, morfologi,
sintaksis, serta pencatatan butir-butir leksikal yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Belanda dan Eropa lainnya.
B. Perkembangan Linguistik di
Indonesia
Istilah linguistik dapat dipahami sebagai keilmuan yang
membicarakan bahasa, baik pendekatan maupun tujuannya. Karya Raja Ali Haji
(1856) dapat digolongkan sebagai karya linguistik ilmiah karena prestasi
kebahasaan pada zamannya meskipun hanya berupa karya pedagogis. Dalam
perkembangannya di Indonesia bidang yang paling banyak diminati adalah
gramatik, khususnya sintaksis. Hal itu disebabkan karena kajian linguistik
Indonesia tumbuh dari perhatian pada pemakaian bahasa khususnya tata bahasa
(gramatika pedagogis). Kalau linguistik Eropa lahir dari filsafat, linguistik
India dan Arab lahir dari Agama, linguistik Indonesia lahir dari pengajaran bahasa.
Hal yang perlu mendapat perhatian untuk melihat perkembangan
linguistik di Indonesia adalah karya yang dihasilkan oleh tokoh dan
pemikirannya sebagai berikut:
Tokoh dan
Karya Pemicu Kebangkitan Linguistik Indonesia
No.
|
Nama
|
Tahun
|
Judul
|
1
|
Joannes
Roman
|
1653
|
Grond ofte
Kort Berich van de Malaysche Tale, Vervat in Twee Deelen: Het eerste
handelende van de Letters ende Haren aenhangh, Het Andere, van de deelen
eener Redene
|
2
|
George
Henrik Werndly
|
1736
|
Maleische
Spraakkuntst
|
3
|
William
Marsden
|
1812
|
A Grammar
of the Malayan Language
|
4
|
John
Crawfurd
|
1852
|
A Grammar
and Dictionary of the Malay Language
|
5
|
Raja Ali
Haji
|
1857 dan 1859
|
Bustanul
Katibin
Kitab
Pengetahuan Bahasa
|
6
|
J.J. de
Hollander
|
1882
|
Handleiding
bij de Boefening der Maleische Taal en Letterkunde
|
7
|
Gerth van
Wijk
|
1889
|
Spraakleer
der Maleische Taal
|
8
|
Koewatin
Sasrasoeganda
|
1910
|
Kitab jang
Menyatakan Djalan Bahasa Melajoe
|
9
|
Ch. Van
Ophujsen
|
1915
|
Maleische
Spraakkunst
|
10
|
R.
O. Winsted
|
1914
|
Malay
Grammar
|
11
|
Zainal
‘Abidin bin Ahmad (Za’ba)
|
1940
|
Pelita
Bahasa Melayu
|
12
|
Soetan
Moehammad Zain
|
1943
|
Djalan
Bahasa Indonesia
|
13
|
S. Takdir
Alisjahbana
|
1953
|
Tata
Bahasa Baru Bahasa Indonesia
|
14
|
Madong
Lubis
|
1954
|
Paramasastra
Lanjut
|
15
|
I. R.
Poedjawijatna dan P.J. Zoetmulder
|
1955
|
Tata
Bahasa Indonesia
|
16
|
C. A. Mess
|
1957
|
Tatabahasa
Indonesia
|
17
|
Slametmuljana
|
1957
|
Kaidah
Bahasa Indonesia
|
18
|
Teeuw
|
1961
|
Critical
Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia
|
19
|
E. M. F.
Payne
|
1964
|
Basic
Syntactic Structures in Standar Malay
|
20
|
Ramlan
|
1964
1985
|
Tipe-tipe
Konstruksi Frase dalam Bahasa Indonesia
Tata
Bahasa Indonesia, Penggolongan Kata
|
21
|
Anton M.
Moeliono
|
1967
|
Suatu
Reorientasi dalam Tata Bahasa Indonesia
|
22
|
Gorys
Keraf
|
1969
|
Tatabahasa
Indonesia
|
23
|
S.
Wojowasito
|
1978
|
Ilmu
Kalimat Strukturil
|
24
|
Samsuri
|
1985
|
Tata
Kalimat Bahasa Indonesia
|
Keduapuluh empat linguis tersebut membentangkan gagasan dengan silang pendapat
yang sangat menarik. Perbedaan filosofi kajian mereka terekam dalam pembahasan
mengenai kelas kata yang mereka lakukan. Keduapuluh empat linguis tersebut
membagi kelas kata bahasa Indonesia secara bervariasi. Jumlah kelas kata yang
paling sedikit dilakukan oleh Samsuri (1985) yang hanya membagi kelas kata
bahasa Indonesia atas dua kelas saja dan jumlah kelas kata yang paling banyak
dilakukan oleh Ramlan (1985) yang membagi kelas kata bahasa Indonesia atas 12
kelas kata.
Kridalaksana (1986) secara memadai
menyajikan bahasan mengenai silang pendapat kelas kata bahasa Indonesia yang
pernah dituliskan oleh keduapuluh empat linguis.
Ada beberapa filosofi berpikir yang berkembang pada perkembangan awal
kajian linguistik Indonesia. Kridalaksana (1986: 9 – 26) membaginya ke dalam
empat kategori, yaitu pandangan yang mengacu ke:
(1) tatabahasa pedagogis,
(2) tatabahasa teknis,
(3) tatabahasa modern, dan
(4) tatabahasa pedagogis yang berorientasi linguistis.
Empat kategori ini dapat dirinci
menjadi dua garis besar saja, yaitu tatabahasa pedagogis yang berorientasi ke
tatabahasa tradisional dan tata bahasa teknis yang menjadikan struktural
sebagai pijakan analisis.
Tatabahasa pedagogis merupakan kajian linguistik yang bertujuan mempelajari
suatu bahasa untuk keperluan penguasaan bahasa tersebut agar dapat digunakan
dalam berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan penutur asli maupun dengan
penutur asing. Tata bahasa pedagogis merupakan pelengkap dari pengajaran
bahasa. Pada perkembangan awal, kajian linguistik secara pedagogik dilakukan
oleh kaum penjajah untuk memperkukuh kekuasaannya dan oleh kaum misionaris
nasrani dan muslim untuk menyebarkan agamanya.
Ada dua kelompok tatabahasa
pedagogis, kelompok pertama mereka
yang menelaah bahasa ini secara nonformal untuk tujuan mempelajari bahasa
Melayu dengan maksud ingin berintegrasi dengan masyarakat nusantara. Kelompok kedua, mereka yang mulai
menyusun tatabahasa dengan maksud diajarkan secara formal kepada orang lain.
Kedua kelompok ini umumnya dipelopori oleh linguis Belanda. Kajian
linguistiknya didasarkan pada telaah yang telah dilakukan terhadap bahasa Belanda.
Kajian ini mengacu kepada tatabahasa
tradisional sesuai pandangan Aristoteles terutama dalam hal kelas kata.
Mereka mengaji bahasa berdasarkan makna
yang bersifat normatif dan tidak terlalu peduli terhadap bentuk. Hal ini
terlihat jelas dalam kelas kata yang mereka buat.
Kridalaksana (1986: 10 – 18)
menyebutkan sejumlah nama yang tergolong ke dalam penelaah tatabahasa pedagogis
ini antara lain:
1) Joannes
Roman (1653),
2) George
Henrik Werndly (1736),
3) William
Marsden (1812),
4) John
Crawfurd (1852),
5) Raja Ali
Haji (1857 dan 1859),
6) J.J. de
Hollander (1882),
7) Gerth van
Wijk (1889),
8) Koewatin
Sasrasoeganda (1910),
9) Ch. Van
Ophujsen (1915),
10) R. O.
Winsted (1914),
11) Soetan
Moehammad Zain (1943),
12) Sutan Takdir
Alisjahbana (1953),
13) Madong Lubis
(1954),
14) I.R.
Poedjawijatna dan P. J. Zoetmulder (1955), dan
15) C. A. Mess
(1957).
Sejak dari Joanes Roman (1653)
sampai dengan John Crawfurd (1852) telaah tatabahasa pedagogis dilakukan dengan
tujuan ingin menguasai bahasa Melayu dan menggunakannya secara langsung ke
penutur bahasa Melayu di Nusantara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hasil
telaah ini dipelajari secara nonformal oleh komunitas Belanda yang bertugas di
Indonesia. Mulai pada masa Raja Ali Haji (1857) hingga masa C. A. Mess (1957)
tatabahasa pedagogis ini dipelajari secara formal baik melaui bangku sekolah
maupun dalam kursus-kursus bahasa.
Di antara linguis tatabahasa
pedagogis ini Kridalaksana (1986:14) menyebutkan bahwa Koewatin Sasrasoganda
(1910) adalah linguis pribumi pertama yang menulis tatabahasa Melayu
dalam bahasa Melayu dengan tradisi Yunani-Latin-Belanda. Kridalaksana
menggelarinya sebagai Bapak Tata Bahasa
Tradisional.
Kategori kedua adalah tata
bahasa teknis. Tata bahasa ini berusaha untuk memahami bahasa dengan
memanfaatkan teori dan metode linguistik. Linguis sudah mulai menggunakan
kriteria yang jelas dalam penelaahan bahasa. Linguis yang digolongkan ke dalam
kategori ini adalah Slametmuljana (1957), Anton M. Moeliono (1967), S.
Wojowasito (1978). M. Ramlan (1985), dan Samsuri (1985).
Slamemuljana (1957) menelaah bahasa
Indonesia dengan menggunakan analisis fungsionalistis, yaitu analisis yang
menekankan kepada fungsi gramatika dalam telaah kalimat. Slametmuljana mulai
mengenalkan gatra, seperti gatra sebutan untuk subjek, gatra pangkal untuk
predikat. Telaah ini menekankan kepada fungsi kalimat. Kepulangan Anton M.
Moeliono dari Amerika Serikat memicu perkembangan besar linguistik Indonesia.
Chaer (2007:378) menyatakan bahwa Anton M. Moeliono dan T. W. Kamil yang baru
saja pulang dari Amerika Serikat, keduanya adalah orang yang pertama kali
mengenalkan konsep fonem, morfem, frasa dan klausa dalam pendidikan formal
linguistik di Indonesia. Sebelumnya yang dikenal hanya kata dan kalimat.
Kehadiran M. Ramlan (1985) dengan
tatabahasa struktural dan Samsuri (1985) dengan tatabahasa generatif
membangkitkan linguistik Indonesia menjadi sebuah kajian yang menarik
perhatian. Konsep struktural Ferdinan de Saussure disusul oleh
strukturalisme Bloomfield dan teori transformasi Chomsky mulai bergema di
berbagai perguruan tinggi. Kajian Keraf dan Kajian Verhaar terhadap bahasa
Indonesia melengkapi kebangkitan telaah linguistik Indonesia.
Berikut kemajuan yang dicapai sepanjang sejarah linguistik
Indonesia dalam beberapa bidang kajiannya antara lain:
1. Bidang fonologi
a. masuknya konsep
fonem (tahun 70-an),
b. masuknya wawasan
tentang unsur suprasegmental oleh Amran Halim, Intonasi (1969), dan Hans Lapoliwa (1981) dengan fonologi generatifnya.
c. Usaha memahami
lafal bahasa Indonesia oleh Joko Kencono (1983).
2. Bidang morfologi
a. masuknya konsep
morfem (tahun 60-an)
b. pemakaian Model
IA
c. penggunaan Model
IP
3. Bidang Sintaksis
a. pengenalan konsep
hierarki gramatikal dalam linguistik Indonesia.
b. Pengenalan konsep
frasa menggunakan teori Hockett (aliran Neo Bloomfieldian) oleh Ramlan (1964)
c. Pengenalan teori
tagmemik oleh Kridalaksana (70-an)
d. Sudaryanto (1979)
mempertajam konsep klausa.
4. Bidang leksikografi
Muncul seorang pelopor leksikografi modern Indonesia, yaitu
W.J.S.Poerwadarminta. Kamusnya yang terkenal adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Selain itu, ia juga menaruh
perhatian pada bahasa Jawa dan Jawa Kuno.
Perkembangan linguistik semakin meriah pada tahun 2000
hingga sekarang ini dengan munculnya beragam bidang dan pendekatan kajian
linguistik yang dilakukan di pelbagai universitas di Indonesia. Hal itu bisa
dilihat dari sering munculnya tulisan-tulisan (jurnal, makalah, artikel, tesis,
atau disertasi) yang menggali tentang bahasa, khususnya pragmatik bahasa
Indonesia.
C. Simpulan
Perkembangan linguistik di Indonesia lebih banyak
dipengaruhi oleh aliran-aliran yang tumbuh di Amerika dan Eropa. Hal ini
diawali oleh adanya kepentingan negara-negara kolonial untuk mencari informasi
mengenai Indonesia yang memiliki banyak suku dengan bahasa yang berbeda.
Informasi tersebut dimaksudkan untuk misi perluasan daerah kekuasaan, dan
penyebaran agama Nasrani.
Periode perkembangan linguistik di Indonesia meliputi:
1.
…sampai 1940
Sampai akhir abad 19 buku-buku tata bahasa banyak mendapat
pengaruh tata bahasa tradisional model Yunani dan Latin.
2.
Tahun 40-an sampai 60-an
Pada periode ini karya-karya kebahasaan dapat dibagi atas
tata bahasa pedagogis dan tata bahasa teoretis. Penelitian yang bersifat ilmiah
dan teoretis belum berkembang pesat pada periode ini, namun beberapa buku
berusaha mengungkap sisi lain bahasa Indonesia secara ilmiah.
3.
Tahun 60-an sampai 70-an
Periode ini menandai dimulainya kajian-kajian empiris
tentang bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa lain.
4.
Tahun 70-an sampai 80-an
Antara tahun tersebut teori linguistik Indonesia ditandai
dengan penerapan teori aliran Leiden, dan teori TG. Hal baru yang diperkenalkan
dalam sistem bahasa Indonesia adalah wacana sebagai satuan terbesar dalam
hierarki gramatikal.
5.
Tahun 80-an sampai 90-an
Pada periode ini perkembangan teori linguistik menjadi
sintesis atas teori-teori yang ada. Penelitian dalam bidang pragmatik mulai
mendapat tempat cukup penting dalam penelitian linguistik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar