
(FERDINAND
DE SAUSSURE)
Oleh
Jose
Da Conceicao Verdial
BAB I
POKOK PIKIRAN
1.1 Hal-hal Umum
Linguistik
diakronis tidak menelaah hubungan antara unsur-unsur bahasa yang hadir bersama,
tetapi menelaah hubungan antara unsur-unsur yang berurutan yang saling
mengganti di dalam waktu. Memang
imobilitas mutlak tidak ada: setiap bagian langue mengalami perubahan: didalam
setiap periode terjadi evolusi yang kurang lebih besar. Evolusi tersebut dapat
berbeda dalam kecepatan maupun intensitasnya, tetapi perinsipnya sendiri tetap
sama.
Fonetik, atau lebih
tepat fonetik secara utuh, merupakan objek pertama linguistik diakronis. Memang
revolusi bunyi tak sebanding dengan pengertian keadaan. Membandingkan
fonem-fonem atau kelompok-kelompok fonem dengan bentuk-bentuk sebelumnya, sama saja dengan melakukan studi
linguistik diakronis. Zaman yang terdahulu kurang lebih dapat diperbandingkan,
tetapi bila dua zaman berbaur, fonetik berhenti terlibat; yang ada hanya
deskripsi bunyi-bunyi bahasa yang menjadi objek fonologi.
Sifat
fonetik diakronis sangat bertalian dengan prinsip yang mengatakan bahwa apapun
yang berhubungan dengan fonetik dalam artian yang luas, tidak mengandung makna
atau maupun dramatik untuk menyusun sejarah bunyi sebuah kata, orang dapat
mengesampingkan makna dan hanya memperhatikan kulit materiilnya, memilah
kepingan-kepingan bunyi tanpa mempertanyakan apakah kepingan tersebut
mengandung makna. Seandainya evolusi langue
tidak menyempit menjadi evolusi bunyi, oposisi objek-objek yang menjadi bagian
dari linguistik akan segera menjadi terang: orang akan melihat dengan jelas
bahwa diakronis sama dengan nongramatikal sedangkan sinkronis sama dengan
gramatikal.
Perubahan
gramatikal dapat diuraikan dengan perubahan bunyi. Penciptaan
bentuk gramatikal dalam bahasa Jerman Hand:
Hande ‘tangan’: ‘tangan-tangan’, yang mengganti hant: hanti dapat
dijelaskan seluruhnya oleh peristiwa fonetis.
Evolusi
suatu fakta gramatikal, baik kelompok asosiatif maupun sintagmatis, tidak
berbanding dengan evolusi bunyi. Evolusi tata bahasa tidak sederhana, terbentuk
dari berbagai peristiwa khusus dan hanya satu bagian saja yang termasuk
perubahan bunyi. Di dalam asal usul jenis sintagmatis, seperti kala mendatang
bahasa Prancis prendre ai yang
menjadi prendrai ‘akan mengambil’,
dapat dibedakan paling sedikit dua peristiwa. Yang satu psikologi sifatnya,
yaitu sintesis dari dua unsur konsep, yang lain fonetis dan bergantung dari
yang pertama: yaitu pengurangan dari dua tekanan kelompok menjadi satu tekanan
(predre aià predrai).
1.2 Perubahan-perubahan Bunyi
1.2.1
Keteraturan yang Mutlak
Fonemlah yang berubah
yaitu peristiwa yang terpisah, seperti juga semua peristiwa diakronis, tetapi
yang konsekuensinya mengubah semua kata dengan cara yang sama dimana fonem
tersebut berada. Dalam pengertian itulah perubahan bunyi bersifat mutlak teratur.
Dalam bahasa Jerman,
semua i menjadi ei, kemudian ai: win, triben, lihen, zit telah menjadi Wein, treiben, leihen, Zeit. Semua u menjadi au: hus, zun, ruch à
Haus, Zaun, Rauch. Demikian pula u berubah menjadi eu: husir à Hauser, dan
sebagainya. Sebaliknya diftong ie berubah
menjadi i, tetapi tetap dituliskan ie: bandingkan kepada biegen, lieb, Tier. Sejajar dengan itu
semua ou menjadi u: muotà
Mut, dan sebagainya. Semua z (lihat halaman menjadi s
(ditulis ss): wuzer à Wasser, fliezenà fliessen, dan
sebagainya. Semua h dalam hilang bila
terletak antara dua vokal: lihen, sehen à leien, seen (tetap
ditulis leihen, sehen). Semua w berubah menjadi v labiodental (dituliskan): wazerà waser (wasser).
Perubahan bunyi apa pun, yang dilihat dari dekat, akan menegaskan keteraturan
sempurna dari perubahan-perubahan tersebut.
1.2.2
Kondisi-kondisi Perubahan Bunyi
Gejala
fonetis bersifat spontan bila hasilnya oleh sebab-sebab intern, dan bersifat
kombinasi bila merupakan hasil kehadiran sebuah atau sejumlah gejala lain.
Misalnya perpindahan o Indo-Eropa ke a Germania merupakan peristiwa spontan.
Sebaliknya, perpindahan dari bahasa Latin ct,
pt ke bahasa Italia menjadi tt (bdk
factumà fatto, captivumà cattivo)
merupakan peristiwa kombinasi karena unsur yang pertama diasimilasikan ke unsur yang kedua.
Jika
suatu peristiwa fonetis bersifat kombinasi, selalu dengan persyaratan; tetapi
jika peristiwa itu spontan, tidak selalu mutlak karena mungkin saja dipengaruhi
secara negatif oleh ketidakhadiran beberapa faktor perubahan. Misalnya k1 Indo-Eropa secara spontan
menjadi qu dalam bahasa Latin
(bandingkan kepada quattuor, inquilina, dan
sebagainya), tetapi k1 tidak
harus diikuti dengan o dan u (bandingkan kepada cottidie, colo, secundus, dan
sebagainya).
1.2.3
Metode
Untuk membedakan dengan
baik mana yang spontan dan mana yang kombinasi, perlu dianalisis tahap-tahap
perubahan dan jangan menelaah hasil sekejab sebagai hasil langsung. Jadi, untuk
menjelaskan rotasisasi (bandingkan dengan bahasa Latin *genesisà
genersis), tidak benar kalau dikatakan bahwa s laring, tidak pernah akan dapat memberi bunyi r secara langsung. Sebenarnya terjadi
dua proses: s menjadi z melalui perubahan kombinasi; namun z yang tidak ada di dalam sistem bunyi
bahasa Latin telah diganti oleh bunyi yang sangat dekat dengannya yaitu r, dan perubahan ini spontan. Jadi,
karena kekeliruan yang besar orang merancukan dua peristiwa yang berbeda
menjadi satu peristiwa. Kekeliruan yang pertama adalah menelaah hasil sekejap
sebagai hasil langsung (sà r
dan bukan zà r).
Kedua, menganggap gejala kombinasi, padahal pada bagian pertama tidak demikian
halnya.
Kekeliruan
yang paling besar adalah cara merumuskan hukum fonetik dengan melihat hasil
kini, seakan-akan fakta-fakta yang ditelaah hadir untuk selamanya, dan bukan
lahir dan mati dalam satu porsi waktu. Hal ini keliru karena dengan begitu
orang menghapus waktu urutan kronologis peristiwa.
1.2.4
Sebab-sebab Perubahan Bunyi
Berikut
adalah sebab-sebab perubahan bunyi.
1) Ada
kemungkinan ras memberi pengaruh bagi arah perubahan bunyi.
Kemungkinan
besar ada arah umum bagi gejala-gejala fonetis pada suatu zaman tertentu di
lingkungan bangsa tertentu. Terjadinya monoftong dari diftong di dalam bahasa
Prancis modern merupakan manifestasi dari kecenderungan tersebut. Namun,
meskipun didapati arus umum yang sama di dalam sejarah politik, ciri
historisnya tidak diragukan dan orang tidak melihat pengaruh langsung dari ras.
Seorang negro yang ditempatkan sejak lahir di Perancis, berbahasa Prancis sama
fasihnya dengan pribumi.
Sebagai
contoh, mulut Ionia tidak menerima a panjang dan mengubanya menjadi e, sama kekeliruannya dengan mengatakan a menjadi e dalam bahasa Ionia. Alat ucap Ionia tidak menolak untuk
melavalkan a karena pada beberapa hal
dapat melafalkan a. Jadi, itu bukan
ketidakmampuan antropologis, melainkan perubahan kebiasaan lafal.
2) Orang
sering menganggap perubahan fonetis sebagai penyesuaian pada kondisi tanah dan
iklim.
Beberapa
bahasa Utara memiliki banyak konsonan, sedangkan beberapa bahasa Selatan lebih
banyak menggunakan vokal sehingga menimbulkan bunyi yang serasi. Iklim dan
kondisi kehidupan memang mempengaruhi langue,
tetapi masalahnya menjadi sengkarut begitu orang masuk ke detail, misalnya, di
samping idiom-idiom Skandinavia, yang menggunakan begitu banyak konsonan, idiom
Skandinivia Selatan dan Finlandia lebih vokalis daripada bahasa Itali sekali
pun. Perlu dicatat pula bahwa penumpukan konsonan di dalam bahasa Jerman
mutakhir merupakan peristiwa yang sangat mutakhir sebagai akibat luluhnya vokal
belakang bertekanan, bahwa beberapa dialek Selatan (Prancis) lebih memilih
vokal daripada bahasa Perancis Utara, bahwa bahasa Serbia memiliki konsonan
yang sama banyaknya dengan bahasa Rusia di Moskow, dan seterusnya.
3) Orang
telah memasukkan hukum pengurangan usaha yang mungkin menukarkan dua pelafalan
menjadi satu, atau lafal yang sulit diganti dengan yang mudah.
Nampaknya
hukum pengurangan usaha menjelaskan sejumlah kasus, misalnya perpindahan
aklusif ke spiran (habereà avoir
‘mempunyai’), luluhnya massa suku kata yang sangat besar di dalam banyak
bahasa, gejala asimilasi (misalnya lyà II, *alyos à Germania allos, tn ànn, *atnosà Latin annus), perubahan diftong menjadi
monoftong yang hanya merupakan variasi dari asimilasi (misal aià E,
Perancis
maizon à mEzo”maison”
‘rumah’), dan sebagainya.
Namun,
kita dapat pula menyebutkan sejumlah kasus dimana kejadiannya adalah yang
sebaliknya. Misalnya menoftong dapat di pertentangkan dengan perubahan i uu
Jerman menjadi ei au eu. Jika orang menganggap bahwa pelemahan slavia dari a#, e ke a#,
e merupakan akibat pengurangan usaha, maka harus di ingat bahwa gejala yang
sebaliknya terjadi di dalam bahasa Jerman (fater→Vater, geben→geben), yaitu
perubahan karena pertambahan usaha. Jika orang menganggap bahwa bunyi bersuara
lebih mudah dilafalkan daripada bunyi tak bersuara (bdk. opera → dialek selatan
obra), yang sebaliknya membutuhkan usaha yang lebih besar, meskipun demikian
bahasa Spanyol mengalami perubahan dari z ke x (bdk. hixo “putra” yang
dituliskan hijo), dan bahasa Germania telah mengalami perubahan b d g menjadi p
t k.
Pengamatan-pengamatan
tersebut tidak berpretensi menolak penyelesaian yang diusulkan orang.
Sebenarnya kita hampir tidak mungkin menentukan bagi setiap langue, apa yang lebih mudah atau apa
yang lebih sukar untuk dilafalkan. Pelemahan memang benar berkaitan dengan
pengurangan usaha dalam pengertian panjang pendeknya bunyi, namun benar pula
bahwa pelafalan yang diabaikan jatuh pada bunyi panjang, sedangkan bunyi pendek
membutuhkan perhatian lebih banyak. Jadi, dengan mengasumsikan
kecenderungan-kecenderungan yang berbeda, orang dapat menampilkan dua fakta
yang bertentangan dengan warna yang sama. Oleh karena itu, perlu pengkajian
yang luas dan menelaah dari sudut pandang fisiologis (masalah pelafalan) dan
sudut pandang psikologis (masalah perhatian).
4) Penjelasan
yang mendapat perhatian sejak beberapa tahun ini adalah melihat perubahan lafal
sebagai akibat pendidikan fonetis di masa kanak-kanak kita.
Hanya
melalui banyak mengira-ngira, mencoba-coba dan memperbaikilah seorang anak
berhasil melafalkan apa yang didengarnya dari lingkungannya. Di sinilah mungkin terdapat bibit perubahan.
Beberapa ketidak tetapan yang tidak diperbaiki di bawah oleh individu dan
menetap sampai dia tumbuh.
5) Sering
kali orang mencari salah satu penyebab yang menentukan di dalam keadaan bangsa
secara umum pada suatu saat tertentu. Langue
mengarungi berbagai zaman, ada keresahan dari yang lain. Orang mencoba
mengaitkan bahasa-bahasa tersebut dengan periode-periode penjajahan di dalam
sejarah untuk dapat menemukan hubungan antara ketidakstabilan politis dengan
ketidakstabilan bahasa. Setelah berhasil, orang mengira dapat menerapkan
kesimpulan mengenai langue pada
umumnya pada perubahan-perubahan bunyi.
Hal itu harus berpegang pada dua
perbedaan, yaitu sebagai berikut.
a) Kestabilan
politis tidak mempengaruhi langue dengan
cara yang sama seperti ketidakstabilan politis; tidak ada gerakan timbal balik
sama sekali. Bila keseimbangan politis memperlambat evolusi langue, ini merupakan sebab positif
meskipun datang dari luar, sedangkan ketidakstabilan yang memberi dampak
sebaliknya hanya bereaksi secara negatif. Imobilitas, terhentinya suatu idiom
dapat disebabkan oleh peristiwa-peristiwa di luar langue (pengaruh suatu aliran, istana, akademi, aksara, dan
sebagainya), yang pada gilirannya mendapat pengaruh positif dari keseimbangan
sosial dan politik. Sebaliknya, jika suatu perubahan radikal yang berasal dari
keadaan suatu bangsa mempercepat evolusi bahasa, itu adalah karena langue kembali mendapat kemerdekaanya
sehingga dapat mengikuti arusnya yang teratur.
b) Di
sini kita hanya berhadapan dengan gejala-gejala fonetis, dan bukan segala jenis
perubahan langue. Dapat dimengerti
bahwa perubahan gramatikal seharusnya dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas
karena tata bahasa dalam hal tertentu mencakup nalar, jadi lebih peka terhadap
pengauh perubahan luar, yang memberi dampak langsung pada nalar. Tetapi kita
tidak berhak untuk menyatakan bahwa pada zaman penjajahan di dalam sejarah
suatu bangsa, terjadi evolusi bunyi-bunyi idiom yang dipercepat.
6) Hipotesis
“substratum awal bahasa” juga telah dijajagi; beberapa perubahan mungkin
disebabkan oleh populasi pribumi yang berbaur dengan pendatang baru. Misalnya,
perbedaan antara bahasa Oc dan bahasa
Oil berkaitan dengan proporsi yang berbeda
dari unsur asli Keltik kedua Galia. Teori tersebut telah pula diterapkan pada
keanekaan dialek di Italia, yang dikembalikan sesuai dengan daerahnya pada
pengaruh Liguria, Etruski, dan sebagainya.
7) Menyamakan
perubahan bunyi dengan perubahan mode.
Prinsip
perubahan bunyi mungkin seluruhnya bersifat psikologis. Hanya, di mana titik
tolak peniruannya, itulah yang menjadi misteri, baik bagi perubahan bunyi
maupun bagi perubahan mode.
1.2.5
Gerak Perubahan Bunyi Tidak Terbatas
Jika kita mencoba
menguji dampak dari perubahan-perubahan bunyi, kita segera melihat bahwa dampak
tersebut tak terbatas dan tak terhitung, artinya kita tidak dapat meramalkan di
mana perubahan akan berhenti. Ciri perubahan bunyi tersebut bertalian dengan
kesemenaan tanda bahasa, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan makna.
Orang dapat melihat pada saat tertentu bahwa bunyi-bunyi kata telah mengalami
perubahan dan sampai berapa jauh perubahan tersebut, namun orang tidak mungkin
mengatakan sebelumnya sampai batas mana kata tersebut berubah atau menjadi
tidak dikenali lagi
Gejala
fonetis juga tak terbatas dan tak terhitung dalam pengertian bahwa gejala
tersebut mengenai jenis lambang apa pun, tanpa adanya pembedaan antara adjektif, substantif, dan sebagainya, antara
akar kata, akhiran, desinens, dan sebagainya.
1.3 Konsekuensi Bunyi Bagi Tata Bahasa
1.3.1
Putusnya
Hubungan Gramatikal
Konsekuensi
pertama dari gejala fonetis adalah memutuskan hubungan gramatikal yang
menyatukan dua unsur atau lebih. Oleh karenanya terjadi bahwa sebuah kata tidak
dirasakan sebagai derivasi dari kata lain.
Evolusi fonetik
juga memutuskan hubungan wajar yang tadinya ada di antara dua bentuk fleksi di
dalam kata yang sama. Misalnya, comes
– comiten di dalam bahasa Perancis
Kuno menjadi cuens ǁ comte, barō – barōnem → berābaron, presbiter – presbiterium
→ prestre ǁ provoire.
1.3.2
Terhapusnya
Komposisi Kata-kata
Dampak
gramatikal yang lain dari perubahan bunyi adalah bahwa bagian-bagian yang
berbeda dengan membentuk sebuah kata, yang berperan menetapkan nilai kata
tersebut, tidak dapat dianalisis lagi: kata tersebut menjadi suatu keutuhan
yang tak terpilah.
Bentuk-bentuk
sederhana hunc, hanc, hāc, dan seterusnya
dari bahasa Latin Klasik yang berasal dari hon-ce,
han-ce, hā-ce, seperti yang nampak pada bentu-bentuk epigrafis, merupakan
hasil aglutinasi sebuah kata ganti dengan partikel –ce. Dahulu orang dapat membandingkan hon-ce, dan sebagainya dengan ec-ce,
tetapi kemudian karena –e luluh secara fonetis, tidak mungkin dibandingkan
lagi, atau dengan kata lain orang tidak membedakan lagi unsur-unsur di dalam hunc, hanc, hāc, dan
sebagainya. Evolusi fonetik selalu berawal dengan mengacaukan analisis sebelum
menjadikannya tidak mungkin sama sekali.
1.3.3
Tidak
Ada Bentuk Bunyi Kembar
Unsur yang sama
tidak mungkin mengalami dua macam perubahan sekaligus di tempat yang sama. Hal itu
akan menentang definisi perubahan bunyi sendiri. Secara mandiri, evolusi
fonetik tidak mampu menciptakan dua bentuk.
Sebagai contoh, kalau di dalam bahasa Perancis terdapat secara
berdampingan cavalier ‘penunggang’
dan chevalier ‘ksatria’, cavalcade ‘pawai’ dan chevauchée menunggang kuda’, hal itu
adalah karena cavalier dan cavalcade telah dipinjam dari bahasa
Italia. Pada dasarnya itu sama saja dengan calidum
yang menjadi chaud ‘panas’ di
dalam bahasa Perancis dan caldo di
dalam bahasa Italia. Semua contoh di atas adalah kata pinjaman.
Jika sekarang
menganggap bahwa kata ganti Latin mē
muncul di dalam bahasa Perancis dengan dua bentuk: me dan moi ‘saya’ (“il me voit” ia melihat saya’ dan “c’est moi qu’il voit” ‘sayalah yang
dilihatnya), orang akan mengatakan, kata Latin mē yang tak bertekanlah yang menjadi me, sedangkan mē
bertekanan menjadi moi. Padahal ada
tidaknya tekanan bukan tergantung dari hukum-hukum fonetis yang telah mengubah mē ke me dan moi, melainkan
dari peran kata tersebut di dalam kalimat; itu adalah dualitas dalam tata
bahasa.
Sebenarnya di
manapun tidak ada bentuk kembar fonetis. Evolusi fonetik hanya lebih menekankan
perbedaan yang telah ada sebelumnya. Di mana pun bila perbedaan tersebut bukan
disebabkan oleh sebab-sebab luar seperti kasus kata-kata pinjaman tadi,
perbedaan merancang dualitas gramatikal dan sinkronis sama sekali tiadak ada
hubungannya dengan gejala fonetis.
1.3.4
Alternasi
Alternasi
adalah peristiwa tata bahasa yang paling luas dan paling biasa di mana perubahan bunyi memainkan
peran: peristiwa yang disebut alternasi. Di dalam bahasa Perancis semua ŏ Latin yang berada dalam suku kata
terbuka menjadi eu akibat adanya tekanan, atau ou bila ada tekanan sesudahnya.
Dari sinilah muncul bentuk-bentuk. Kembar seperti pouvons ‘kami dapat’: peuvent
‘mereka dapat’, oeuvere ‘karya’: ouvrier ‘buruh’, nouveau ‘baru’: neuf ‘baru’,
dan sebagainya, yang unsur pembedaan dan variasinya yang teratur dapat dengan
mudah diamati.
Unsur
kata dasarlah yang terkena perubahan; namun dengan sendirinya semua bagian kata
mungkin mengalami hal yang serupa dan menampilkan oposisi yang serupa.
Misalnya, lazim sekali bahwa sebuah awalan muncul dengan berbagai bentuk sesuai
dengan kodrat awal kata dasarnya. Alternasi Indo-Eropa e : o kemungkinan besar
disebabkan oleh perubahan bunyi.
Jadi,
alternasi dapat dirumuskan sebagai pertalian antara dua bunyi atau
kelompok-kelompok bunyi tertentu, yang berpermutasi secara teratur di antara
dua deret bentuk yang hadir bersama.
Orang
mengatakan bahwa unsur Latin nov- karena
perubahan fonetis menjadi neuv- nouv-
(neuve dan nouveau ‘baru’), orang melebur suatu satuan imajiner dan orang
mengesampingkan dualitas sinkronis yang ada sebelumnya. Posisi nov- di dalam nov-us dan di dalam nov-ellus
yang berbeda, sudah ada sebelum terjadi perubahan fonetis dalam bahasa Perancis
dan sekaligus merupakan gramatikal (bandingkan dengan barō: barōnem). Dualitas itulah yang merupakan asal alternasi dan
yang memungkinkan terjadinya alternasi. Alternasi selalu menjadi bagian tata bahasa dan
linguistik diakronis.
1.3.5
Hukum
Alternasi
Hukum
alternasi gramatikal hanya merupakan prinsip pengaturan tanpa paksaan. Selain
itu, kondisi bunyi yang telah menimbulkan alternasi masih dapat diamati.
Alternasi yang bersifat sangat garamatikal. Untuk menyebut alternasi, orang
menggunakan istilah permutasi, namun lebih baik itu dihindari karena justru
sering menggunakan perubahan bunyi. Istilah tersebut menimbulkan gagasan yang
selalu mengenai gerakan padahal kita berhadapan dengan keadaan.
1.3.6
Alternasi
dan Hubungan Gramatikal
Segala
oposisi bunyi yang agak teratur di dalam dua unsur cenderung menyusun hubungan
di antara mereka. Wetter secara naluriah dibandingkan dengan wittren karena
orang terbiasa melihat e beralternasi dengan i. Lebih jelas lagi, begitu para
penutur merasakan bahwa suatu oposisi bunyi diatur oleh suatu hukum umum,
pertalian yang menjadi kebiasaan tersebut mereka perhatikan dan berperan
mengeratkan hubungan gramatikal daripada merenggangkannya.
Demikian pula halnya
dengan alternasi yang tidak berarti, namun berkaitan dengan kondisi yang murni
bunyi. Awalan re- (reprendre ‘mengambil kembali’, regagner ‘ mencapai kembali’, retoucher ‘menisik’, dan sebagainya)
menjadi r- depan vokal (rouvrir
‘membuka kembali’, racheter
‘menembus’, dan sebagainya). Perbedaan tersebut sama sekali tidak mematahkan
kesatuan konsepsi, karena makna dan fungsi dianggap identik dan bahwa bahasa
ditetapkan berdasarkan kasus-kasus di mana bahasa menggunakan salah satu
bentuk.
1.4 Analogi
1.4.1
Definisi
dan Contoh-contoh
Dari
analogi berasal semua perubahan wajar dari aspek luar kata-kata yang tidak
bersifat fonetis. Suatu bentuk
analogis adalah suatu bentuk yang dibuat berdasarkan gambar dari satu atau
sejumlah bentuk lain berdasarkan aturan tertentu. Misalnya, nominatif Latin honor‘kehormatan’ bersifat analogis.
Semua orang mengatakan honōs: honōsem, kemudian dengan adanya
rotasisasi s, menjadi honōs: honōrem. Sejak itu akar kata mempunyai bentuk ganda. Dualitas
tersebut kemudian dihilangkan dengan adanya bentuk baru honor, yang dibentuk berdasarkan model ōrātor: ōrātōrem, dan
sebagainya, dengan prosedur yang akan kami kaji di bawah ini dan yang sejak
sekarang kami kembalikan pada kalkulasi proporsional keempat:
Ōrātōrem: ōrātor = honōrem: x.
x = honor
Analogi
berfungsi mengatur dan cenderung mempersatukan proses pembentukan dan fleksi.
Analogi hanya bertolak dari persona pertama tunggal aktif dan menimpa hampir
seluruh paradigma perfektum indikatif. Kasus tersebut sangat menarik karena di
sini analogi menaruh unsur –a- pada
kata dasar, yang semula adalah unsur fleksi, yaitu pephéuga-men. Padahal yang sebaliknya – unsur akar kata ditaruh
pada akhiran.
1.4.2
Gejala-gejala
Analogis bukan Perubahan
Aliran
Junggaramkertilah yang pertama kalinya memberi tempat yang sebenarnya pada
analogi dengan menunjukkan bahwa analogi, bersama perubahan bunyi, merupakan
faktor besar di dalam evolusi langue,
proses yang mengubah keadaan langue tersebut.
Peristiwa
analogis apa pun merupakan drama dengan tiga orang pelaku, yaitu: 1) pewaris
sah dari keturunan (misalnya honōs);
2) saingan (honor); 3) pelaku
kolektif yang terbentuk dari bentuk-bentuk yang telah membentuk konkruen (honōrem, ōrātor, ōrātōrem, dan
sebagainya). Dengan mudah orang menganggap honor
sebagai suatu perubahan, suatu “metaplasma” dari honōs. Kata yang terakhir itulah yang memberi substansi yang
terbesar. Namun, satu-satunya bentuk yang dianggap tak ada di dalam generasi honor adalah justru honōs.
Gejala tersebut
dapat digambarkan dengan skema berikut:
BENTUK YANG BERUBAH BENTUK YANG BARU
honos honōrem →
honor
(yang
tidak masuk ōrātor, ōrātōrem
dalam
perhitungan) dan
sebagainya
(kelompok
generator)
Jelas
sekarang bahwa ini semua adalah “paraplasma”, penempatan sebuah bentuk saingan
di samping bentuk tradisional, atau suatu penciptaan. Kalau perubahan bunyi
memasukkan unsur baru dengan menghapus apa yang tadinya ada (honōrem menggantikan honōsem), bentuk analogis tidak selalu
harus disertai hilangnya bentuk yang didampinginya. Hōnor dan honōs hadir
bersama beberapa waktu dan dapat digunakan secara bergantian. Meskipun demikian
karena bahasa menolak untuk mempertahankan dua buah penanda yang melambangkan
satu gagasan, yang paling sering terjadi adalah bentuk primitif yang kurang
terartur, dilupakan orang dan akhirnya hilang. Hasil itulah yang membuat orang
mengira ada suatu perubahan: kegiatan analogi selesai, maka keadaan yang kuno (honōs: honōrem) dan yang baru (honor:honōrem) muncul dalam oposisi yang
sama dengan oposisi yang dihasilkan oleh evolusi fonetik. Meskipun demikian
pada saat honor lahir, tak ada
perubahan apa pun karena honor tidak
menggantikan unsur apa pun. Hilangnya honōs
bukan pula suatu perubahan karena gejala ini tidak tergantung dari gejala
yang pertama tadi. Di tempat mana pun tempat orang mengikuti jalannya peristiwa
bahasa, orang melihat bahwa pembaharuan analogis dan penghapusan bentuk kuno
merupakan dua hal yang berbeda dan tidak ada transformasi di bagian mana pun.
Jadi,
ilusi “perubahan” analogis berasal dari hubungan yang dibuat orang antara unsur
yang tua dan yang muda, namun hal itu keliru karena pembentukan-pembentukan
yang disebut perubahan (tipe honor) kodratnya
sama dengan perubahan yang kami sebut penciptaan (tipe répressionnaire).
1.4.3
Analogi
Prinsip Penciptaan Langue
Analogi bersifat gramatikal:
analogi mensyaratkan kesadaran dan pemahaman adanya suatu hubungan yang
mempersatukan bentuk-bentuk di antara mereka. Meskipun gagasan tidak penting di
dalam gejala fonetis, intervensi gagasan perlu bagian analogi. Di dalam lingkup
itulah dan di dalam batas languelah
kita seharusnya menelaah gejala analogi. Meskipun demikian perlu dibedakan dua
hal: 1) pemahaman hubungan yang mengaitkan bentuk-bentuk generator di antara
mereka; 2) bentuk yang diciptakan oleh perbandingan, bentuk yang direka oleh
penutur untuk mengungkapkan gagasan. Hanya hasil itulah yang menjadi bagian parole.
Jadi, analogi sekali lagi memberi
kita pelajaran untuk memisahkan langue
dari parole. Analogi menunjukkan pada
kita akan ketergantungan parole dari langue dan memungkinkan kita untuk
meraba permainan mekanisme bahasa.
Oleh karena itu seluruh bagian
gejala terbentuk lebih dahulu sebelum orang melihat bentuk baru yang muncul.
Kegiatan langage yang sinambung yang
memilah satuan-satuan yang berada dalam inventarisnya, bukan hanya mengandung
segala kemungkinan agar satu bahasa
sesuai dengan kebiasaan, melainkan juga segala kemungkinan pembentukan
analogis.
Singkatnya, analogi dilihat secara
mandiri hanyalah sebuah aspek dari gejala penafsiran, suatu pengungkapan
kegiatan umum yang membedakan satuan-satuan untuk kemudian menggunakan mereka.
Itu sebabnya analogi bisa dikatakan bersifat gramatikal dan sinkronis.
Ciri analogi tersebut menjolok dua
pengamatan yang menguatkan pendapat-pendapat mengenai kesemenaan mutlak dan
kesemenaan relatif yaitu sebagai berikut.
1) Kita
dapat menggolongkan kata-kata berdasarkan kemampuan relatif mereka di dalam
menurunkan kata-kata lain sesuai dengan kadar kemampuan mereka untuk memilah
diri. Magasinier ‘pemilik toko’ tidak
diturunkan oleh magasin; kata
tersebut dibentuk berdasarkan model prisonnier
‘narapidana’: prison ‘penjara’.
Jadi, di dalam setiap langue terdapat
kata-kata yang produktif dan steril, namun proporsii di antara keduanya
bervariasi.
2) Ciptaan
analogis apa pun dapat ditampilkan sebagai suatu kegiatan yang serupa dengan
rumus proporsional keempat.
1.5 Analogi dan Evolusi
1.5.1
Bagaimana
Suatu Pembaharuan Analogis Masuk ke dalam Langue
Tak
satu pun unsur dapat masuk ke dalam langue
tanpa masuk ke dalam parole
terlebih dahulu, dan semua gejala
evolutif berakar di dalam lingkungan individu. Di dalam parolelah
terdapat benih segala perubahan. Setiap perubahan dilontarkan pertama kali oleh
sejumlah individu sebelum masuk ke dalam kelaziman (usage). Sebelum kata honor
mampu menggantikan kata honos, harus
ada penutur pertama yang mengucapkannya, lalu ditiru oleh yang lain dan
diulang, sampai pemakaian kata tersebut menjadi kebiasaan.
Tetapi tidak semua
pembaharuan analogis seperti itu. Ada
kombinasi-kombinasi yang segera mati karena tidak diterima oleh bahasa. Langage anak-anak banyak menghasilkan
unsur tersebut karena mereka kurang mengenal kebiasaan dan belum menguasai bahasa
dengan baik. Tetapi, orang dewasa pun menggunakan itu juga. Oleh karena itu,
banyak orang mengganti trayait dengan
traisait ‘ia memerah susu’ (bahkan
tertulis di dalam karya Rousseau). Semua pembaharuan tersebut secara mandiri
memang teratur sekali, dan dapat dijelaskan dengan cara yang sama dengan
pembaharuan yang telah diterima oleh bahasa.
Maka viendre
didasarkan pada proposisi:
Eteindrai
: eteindre ‘mematikan’ = viendre : x
X : viendre,
Bahasa hanya
mempertahankan sebagian kecil dari penciptaan wicara, namun unsur-unsur yang
bertahan pun jumlahnya cukup banyak sehingga dari satu zaman ke zaman terlihat
sejumlah bentuk baru pada kosa kata dan tata bahasa.
Subtitusi
berkelanjutan dari bentuk-bentuk tua oleh bentuk-bentuk baru merupakan salah
satu aspek yang paling mencolok di dalam perubahan bahasa. Setiap kali suatu
ciptaan menetap dan menghapus saingan, benar-benar terasa adanya sesuatu yang
tercipta dan sesuatu yang ditinggalkan. Dari sudut pandang itu analogi
menduduki tempat yang penting sekali di dalam teori evolusi.
1.5.2
Pembaharuan Analogis sebagai Perubahan
Simptom dalam Penafsiran
Langue tidak berhenti
menafsirkan dan memilah satuan-satuan yang diberikan padanya. Tetapi penafsiran
tersebut berubah dari generasi satu ke generasi lainnya. Adapun faktor-faktor
penyebabnya adalah sebagai berikut.
1) Perubahan
bunyi. Dengan membuat beberapa analisis ambigu dan analisis lain yang tidak
mungkin, perubahan bunyi mengubah kondisi-kondisi pemilihan dan hasilnya,
sehingga terjadi pemindahan batas-batas satuan dan perubahan kodrat mereka.
2) Aglutinasi.
Dampak dari aglutinasi menciutkan suatu kombinasi unsur-unsur menjadi satu
kesatuan, kemudian menciutkan segala macam keadaan di luar kata, namun mampu
mengubah analisis.
3) Ada
kecenderungan umum untuk memperkecil unsur kata dasar demi unsur pembentukan
terutama apabila kata dasar diakhiri sebuah vokal.
Apa
pun asal mula perubahan penafsiran tersebut, selalu nampak melalui munculnya
bentuk-bentuk analogis. Jadi, analogi adalah suatu bukti yang menentukan bahwa
suatu unsur pembentuk ada pada suatu saat tertentu sebagai satuan yang
bermakna. Sebuah contoh yang sangat aneh menunjukkan bagaimana analogi bergerak
pada satuan-satuan baru dari zaman ke zaman. Dalam bahasa Perancis modern somnolent ‘terkantuk-kantuk’ dianalisis somnol-ent, seolah kata tersebut sebuah present participle. Dengan demikian,
dampak yang paling terasa dan yang paling penting dari analogi adalah mengganti
bentukan-bentukan kuno, yang tak teratur dan jenuh dengan yang lebih wajar yang
dibentuk dari unsur-unsur yang hidup.
Analogi
bergerak pada langue. Oleh karena
itu, meskipun analogi secara mandiri bukan suatu peristiwa evolusi, tetapi
analogi mencerminkan perubahan-perubahan dari saat ke saat, yang muncul dalam
ekonomi dan menghasilkan kombinasi-kombinasi baru. Analogi merupakan
kolaborator yang efektif dari segala kekuatan yang terus-menerus mengubah
arsitektur suatu idiom sehingga analogi merupakan suatu faktor yang kuat di
dalam evolusi.
1.5.3
Analogi sebagai Prinsip Pembaharuan dan Pelestarian
Pembaharuan
yang dilakukan analogi bersifat lebih kabur daripada riil. Mayoritas kata-kata
merupakan kombinasi-kombinasi baru berupa unsur-unsur bunyi yang ditarik dari
bentuk-bentuk yang lebih kuno. Karena berbagai alasan yang menggunakan materi
yang kuno bagi pembaharuan yang dilakukannya, maka analogi itu bersifat
konservatif.
Namun,
analogi bukan faktor pelestarian yang kurang mendalam. Dapat dikatakan bahwa campur tangan analogi tidak
saja pada saat materi-materi yang ada sebelumnya disebar di dalam satuan-satuan
baru, melainkan juga ketika bentuk-bentuknya tetap. Pada kedua kasus tersebut,
proses yang terjadi bersifat psikologis. prinsip analogi pada dasarnya sama
dengan prinsip mekanisme langage.
Sebagai
contoh, kata Latin agunt ‘mereka
melakukan’ berpindah dalam keadaan kurang lebih utuh sejak zaman prasejarah
(ketika orang mengatakan *agonti)
sampai di ambang zaman Roman. Bentuk-bentuk tetap mempertahankan bentuknya
karena tak henti-hentinya dibuat kembali secara analogis. Sebuah kata sekaligus
dipahami sebagai satuan dan sebagai sintagma, dan kata tersebut dilestarikan
sehingga unsur-unsurnya tidak berubah. Sebaliknya, eksistensinya hanya
dipertanyakan kalau unsur-unsurnya keluar dari kebiasaan.
Satu-satunya
bentuk yang tidak terkena analogi adalah kata-kata mandiri, seperti nama diri,
terutama nama-nama tempat (seperti Paris, Jenewa, Agen, dan sebagainya), yang
tidak mungkin dianalisis sehingga tidak mungkin ditafsirkan unsur-unsurnya dan
tidak ada bentuk saingan yang muncul.
Oleh
karena itu, pelestarian sebuah bentuk dapat disebabkan oleh dua faktor yang
berlawanan, yaitu pengucilan sepenuhnya atau pembatasan yang sempit di dalam
suatu sistem, yang dengan tetap utuh bagian-bagian pokoknya selalu
menyelamatkan suatu bentuk. Analogilah yang selalu yang selalu menentukan nasib
bentuk bahasa.
1.6 ETIMOLOGI RAKYAT
Etimologi
merupakan pembaharuan yang tidak sepenuhnya
terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan usaha coba-coba untuk
menjelaskan secara kira-kira kata yang mengganggu dengan mengaitkannya pada
sesuatu yang telah dikenal. Perbedaan analogi dan etimologi adalah
bentuk-bentuk analogi bernalar, sedangkan etimologi rakyat mengalami proses
yang sedikit kebetulan dan hanya berakhir pada kekacauan.
Meskipun
demikian, perubahan tersebut hanya menyangkut hasilnya, dan hal tersebut tidak
begitu penting. Keanekaan jenisnya adalah hal yang lebih mendasar. Untuk melihat
keanekaan jenis-jenisnya perlu diketahui terlebih dahulu tipe-tipe etimologi
rakyat.
Tipe
utama dari etimologi rakyat yang pertama adalah ada kasus di mana kata mendapat
penafsiran baru, namun bentuknya tidak berubah. Cohtohnya, dalam bahasa Jerman,
durchblauen ‘menampar
bertubi-tubi’ secara etimologi berasal dari bliuwan
‘memukul’, tetapi orang mengaitannya dengan blau
‘biru’ karena adanya biru-biru yang dihasilkan pukulan-pukulan. Hal
ini dapat memberi kesan bahwa disitu telah terjadi perubahan bentuk sebagai
akibat penafsiran baru. Namun, sebenarnya itu adalah pengaruh dari bentuk
tertulis, dan orang ingin, tanpa mengubah lafal, menandai pengacuannya pada
bentuk asal kata tersebut. Yang paling sering terjadi adalah
orang mengubah bentuk kata untuk menyesuaikannya dengan unsur-unsur yang
dikenalnya. Karena tingkat perubahan bentuk tidak menciptakan
perbedaan-perbedaan mendasar di antara kata-kata yang diolah secara salah oleh
etimologi rakyat, maka kata-kata tersebut semua memiliki ciri-ciri yang sama,
yaitu merupakan penafsiran biasa dari bentuk-bentuk yang tidak dikenal melalui
bentuk-bentuk yang dikenal.
Sekarang
jelas, dalam hal apa etimologi mirip dengan analogi dan dalam hal apa etimologi
berbeda. Kedua gejala tersebut hanya memiliki satu ciri yang sama: di dalam
keduanya digunakan unsur-unsur bermakna yang disediakan oleh bahasa, namun
untuk selebihnya unsur-unsur itu berbeda sama sekali. Analogi selalu
mempersyaratkan dilupakannya bentuk sebelumnya. Sebaliknya, etimologi rakyat
dipersempit menjadi penafsiran bentuk kuno. Ingatan kepada bentuk kuno,
meskipun kabur, merupakan titik tolak perubahan bentuk yang diderita bentuk
kuno tersebut. Jadi, di dalam etimologi terdapat kenangan, sedangkan analogi
adalah kealpaan yang menjadi dasar analisis, dan perbedaan ini sangat penting.
Jadi,
etimologi rakyat hanya bergerak di dalam keadaan khusus, dan hanya menyangkut
kata-kata yang jarang digunakan, kata teknis atau kata asing, yang diserap
penutur kata secara tidak sempurna. Sebaliknya, analogi merupakan peristiwa
yang umum yang menjadi bagian kegiatan bahasa yang wajar. Kedua gejala tersebut
yang begitu mirip dari beberapa segi, pada dasarnya saling bertentangan dan
keduanya harus dibedakan dengan cermat.
1.7 Aglutinasi
Ada faktor lain yang turut campur di dalam
penghasilan satuan-satuan baru, yaitu aglutinasi. Aglutinasi adalah dua atau
sejumlah kata yang asalnya berbeda, tetapi yang sering bertemu di dalam
sintagma atau di dalam kalimat, bersatu dalam satu satuan mutlak atau yang
sulit dipilah. Jadi, agutinasi kita sebut proses dan bukan prosedur karena kata
yang terakhir ini mengandung makna suatu kehendak, suatu maksud, sedangkan tak
adanya kehendak justru merupakan ciri pokok aglutinasi.
Berikut
ini beberapa contoh. Dalam bahasa Perancis, awalnya orang mengatakan ce ci dengan dua kata, kemudian menjadi ceci ‘ini’ yang merupakan kata baru
meskipun unsur-unsur pembentuknya dan materinya tidak berubah. Gejala tersebut
dapat dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu sebagai berikut.
1) Kombinasi
sejumlah kata di dalam sintagma, yang dapat dibandingkan dengan kata-kata lain.
2) Aglutinasi
yang sebenarnya, yaitu sintesis dari unsur-unsur sintagma menjadi sebuah satuan
baru. Sintesis tersebut terjadi karena dirinya sendiri, demi kecenderungan
mekanis.
3) Semua
perubahan lain yang mungkin mengasimilasikan kelompok yang lebih kuno menjadi
sebuah kata yang sederhana.
1.7.1 Aglutinasi dan Analogi
Kontras antara aglutinasi dan analogi sangat
mencolok, yaitu sebagai berikut.
1)
Di dalam
aglutinasi, dua atau sejumlah satuan berbaur menjadi satu melalui sintesis
(misalnya, encore ‘lagi’, yang
berasal dari hanc horam), atau juga
dua sub bagian yang hanya membentuk kesatuan. Sebaliknya, analogi berangkat
dari satuan-satuan yang lebih kecil untuk membuat satuan yang lebih besar.
2)
Aglutinasi
hanya beroperasi di lingkungan sintagmatis; kegiatannya menyangkut sebuah
kelompok yang tersedia, aglutinasi tidak memperhatikan hal-hal lainnya.
Sebaliknya, analogi mengacu pada deret asosiatif maupun sintagmatis.
3)
Aglutinasi
sama sekali tidak suka rela, tidak aktif sama sekali. Sebaliknya, analogi
merupakan proses yang mensyaratkan analisis dan kombinasi, suatu kegiatan
cerdik, suatu maksud.
Orang sering menggunakan istilah konstruksi dan
struktur untuk menunjuk pembentukan kata, namun istilah-istilah tersebut tidak
bermakna sama apabila diterapkan pada aglutinasi dan analogi. Di dalam
aglutinasi, istilah-istilah tersebut mengingatkan kita pada penyemenaan
unsur-unsur secara lambat, yang karena adanya saling sentuh di dalam sintagma,
telah mengalami sintesis yang dapat berakhir pada terhapusnya satuan-satuan
asal. Sebaliknya, pada kasus analogi,
konstruksi
berarti pendampingan yang diperoleh sekejap di dalam wicara, oleh pertemuan
sejumlah unsur yang dipinjam dari berbagai deret asosiatif.
Hanya sejarah yang dapat memberi kita penjelasan. Setiap kali
sejarah memungkinkan untuk menegaskan bahwa suatu unsur sederhana dahulunya merupakan
dua atau sejumlah unsur di dalam kalimat, kita berhadapan dengan aglutinasi:
misalnya kata Latin hunc, berasal
dari hom ce (ce dipertegas secara epigrafis). Tetapi, begitu informasi historis
tidak ada, sulit bagi kita untuk menetapkan mana yang aglutinasi dan mana yang
hasil analogi.
1.8 SATUAN, IDENTITAS, DAN REALITAS DIAKRONIS
Linguistik
statis berfungsi pada satuan-satuan yang hadir sesuai dengan rangkaian
singkronis. Apa yang telah dijelaskan di muka membuktikan bahwa di dalam urutan
diakronis orang tidak berurusan dengan unsur-unsur tak terbatas secara
sekaligus, seperti yang dapat digambarkan oleh grafik berikut:
Sebaiknya, dari saat ke saat unsur-unsur
tersebut menyebar secara lain karena adanya peristiwa-peristiwa yang berperan
di panggung bahasa sehingga unsur-unsur tersebut lebih dapat kalau digambarkan
dalam skema berikut ini:
Skema
tersebut merupakan hasil dari apa yang telah dijelaskan mengenai konsekuensi
evolusi bunyi, analogi, aglutinasi, dan sebagainya.
Hampir
semua contoh yang telah disebutkan sampai sekarang merupakan pembentuk kata;
berikut ini adalah pembentukan yang berasal dari kalimat. Bahasa Indo-Eropa
tidak mengenal preposisi, hubungan-hubungan ditandai dengan sejumlah kasus yang
dibekali kekuatan makna pun tidak ada kata kerja majemuk yang dibentuk dengan
praverba, tetapi yang ada hanya partikel-partikel, kata-kata kecil yang
ditambahkan pada kalimat untuk menegaskan dan memberi nuansa pada gerak verba.
Di sini terdapat tiga
gejala yang berbeda, tetapi kesemuanya didasarkan pada penafsiran
satuan-satuan: 1) pembentukan suatu jenis kata baru, yaitu preposisi, dan hal
itu terjadi hanya dengan perpindahan satuan-satuan yang diterima. Ada unsur
khusus, telah memungkinkan pengelompokan baru: bentuk kata, yang semula bebas, bersatu dengan substantiva oreos, dan himpunan tersebut bersatu
dengan baino dan menjadi
pelengkapnya; 2) Munculnya sebuah tipe verba baru (kata baino): hal ini adalah pengelompokan psikologis yang lain,
yang dipermudah pula oleh suatu distribusi satuan-satuan secara khusus dan
diperkuat oleh aglutinasi; 3) sebagai konsekuensi wajar; pelemahan makna
desinens genetif (ore-os); bentuk katalah yang akan ditugasi mengungkapkan
gagasan dasar yang dahulu hanya ditandai oleh genitif: desinens –os berkurang sekali pentingnya.
Menghilangkan unsur tersebut di masa mendatang sudah ada benihnya di dalam
gejala tersebut.
Perubahan
tanda merupakan perpindahan hubungan antara penanda dan petanda. Definisi
tersebut berlaku bukan saja berlaku bagi perubahan unsur-unsur system, melainkan
juga bagi evolusi system itu sendiri, atau apa yang disebut gejala diakronis
secara keseluruhan.
Meskipun
demikian, ketika orang telah mendapati perpindahan tertentu dari satuan-satuan
sinkronis, orang sama sekali tidak menyadari apa yang telah terjadi di dalam
langue. Ada masalah satuan diakronis
yang mandiri: yaitu patut dipertanyakan, pada setiap peristiwa, unsur mana yang
secara langsung menjadi akibat kegiatan perubahan. Perubahan bunyi hanya
mengenai fonem yang terpisah, sedangkan kata sebagai satuan tidak
diperhitungkan sama sekali. Satuan-satuan yang tercakup di dalam diakronis
tidak selalu harus berkaitan dengan satuan-satuan yang terdapat di dalam bidang
sinkronis. Pengertian satuan tidak mungkin sama di dalam kedua bidang tersebut.
Satu-satunya jalan keluar bagi masalah satuan diakronislah yang memungkinkan
untuk melampaui penampilan gejala evolusi dan mencapai intinya. Di sini seperti
juga di dalam linguistik sinkronis, pengetahuan tentang satuan-satuan sangat
diperlukan untuk dapat membedakan ilusi dari kenyataan.
Namun,
masalah lain yang sangat peka adalah masalah identitas diakronis. Memang, agar
saya dapat mengatakan bahwa sebuah satuan telah bertahan untuk tetap sama, atau
bahwa sambil bertahan sebagai satuan yang berciri, satuan tersebut telah
berubah bentuk atau makna – karena gejala kemungkinan itu memang ada – saya
harus tau apa pijakan saya untuk menyatakan bahwa sebuah unsur yang diambil
dari suatu zaman, misalnya kata Perancis chaud
‘panas’, adalah sama dengan sebuah unsur yang diambil dari abad lain, misalnya
kata Latin calidum. Orang akan
menjawab bahwa calidum telah berubah
secara teratur menjadi chaud berkat
hukum-hukum bunyi, dan oleh karenanya chaud
= calidum. Itu yang disebut identitas bunyi.
Kaitan
semacam itu nampak pada pandangan pertama mencakup pengertian identitas diakronis
pada umumnya. Namun, sebenarnya tidak mungkin kalau bunyi memberikan identitas
pada dirinya sendiri. Jika dua orang yang berasal dari daerah yang berbeda di
Perancis, yang satu mengatakan se fâcher ‘marah’ sedangkan lainnya se fôcher,
perbedaannya hanya sekunder dibandingkan dengan fakta-fakta gramatikal yang
memungkinkan kita mengenali satu satuan bahasa yang sama di dalam kedua bentuk
yang berbeda. Atau identitas diakronis dari dua kata yang begitu berbeda
seperti calidum dan chaud ‘panas’ hanya berarti bahwa orang
telah berpindah dari satuan yang satu ke satuan yang lain melalui sederet
identitas sinkronis di dalam wicara, tanpa terputusnya hubungan di antara
mereka karena adanya perubahan bunyi secara berturut-turut. Masalah yang kedua
itu sebenarnya hanya lanjutan dan komplikasi dari masalah yang pertama.
BAB II
TEORI YANG RELEVAN
2.1 Hal-hal Umum
Chaer (2014:15)
berpendapat bahwa linguistik diakronis berupaya mengkaji bahasa (atau bahasa-bahasa
pada masa yang tidak terbatas; bisa sejak awal kelahiran bahasa itu sampai
zaman punahnya bahasa tersebut (kalau bahasa tersebut sudah punah, seperti
bahasa Latin dan bahasa Sansekerta), atau sampai zaman sekarang (kalau bahasa
itu masih tetap hidup, seperti bahasa Arab dan bahasa Jawa). Kajian liguistik diakronis
ini biasanya bersifat historis dan komparatif. Oleh karena itu dikenal juga
adanya linguistik historis komparatif. Tujuan linguistic diakronis ini terutama
adalah untuk mengetahui sejarah struktural bahasa itu beserta dengan segala
bentuk perubahan dan perkembangannya.
Sementara menurut
Pateda (1988:48) linguistik diakronis ingin mempersoalkan, menguraikan, atau
menyelidiki perkembagan bahasa dari masa ke masa. Linguistik diakronis dapat disamakan
dengan linguistik historis yang sifatnya vertikal. Hal itu juga sejalan dengan
yang diugkpkan oleh Verharr (1984:6—7) bahwa linguistik diakronis (dari Yunani dia ‘melalui’ dan khronos ‘waktu’, ‘massa’) adalah penyelidikan tentang perkembangan
bahasa.
Semua
pendapat tersebut mendukung pendapat Saussure bahwa linguistik diakronis tidak
menelaah hubungan antara unsur-unsur bahasa yang hadir bersama, tetapi menelaah
hubungan antara unsur-unsur yang berurutan yang saling mengganti di dalam
waktu.
2.2 Perubahan-perubahan Bunyi
Pada waktu mengadakan
rekonstruksi fonem-fonem proto, tampak bahwa perubahan sebuah fonem proto ke
dalam fonem-fonem bahasa kerabat sekarang ini berlangsung dlam beberapa macam
tipe. Pola-pola pewarisan yang terpenting adalah sebagai berikut.
1. Pewarisan
linear adalah pewarisan sebuah fonem proto ke dalam bahasa sekarang dengan
tetap mempertahankan ciri-ciri fonetis fonem protonya.
2. Pewarisan
degan perubahan terjadi bila suatu fonem proto mengalami perubahan dalam bahasa
sekarang.
3. Pewarisan
dengan penghilangan adalah suatu tipe perubahan fonem di mana fonem proto
menghilang dalam bahasa sekarang.
4. Pewarisan
dengan penambahan adalah suatu proses perubahan berupa munculnya suatu fonem
baru dalam bahasa sekarang, sedangkan dalam bahasa proto tidak terdapat fonem
semacam itu dalam sebuah segmen tertentu.
5. Penanggalan
parsial atau penghilangan sebagian adalah suatu proses pewarisan di mana
sebagian dari fonem proto menghilang dalam bahasa kerabat sedangkan sebagian
lain dari ciri fonem proto bertahan dalam bahasa kerabat tersebut.
6. Perpaduan
adalah proses perubahan bunyi di mana dua fonem proto atau lebih berpadu
menjadi satu fonem baru dalam bahasa sekarang.
7. Pembelahan
adalah suatu proses perubahan fonem di mana suatu fonem proto membelah diri
menjadi dua fonem baru atau lebih, atau suatu fonem proto memantulkan sejumlah
fonem berlainan dalam bahasa kerabat atau dalam bahasa yang lebih muda (Keraf,
1996:79—83).
Apa
yang dikatakan Keraf mendukung sebab-sebab perubahan bunyi oleh Saussure yaitu
orang telah memasukkan hukum pengurangan usaha yag mungkin menukarkan dua
pelafalan menjadi satu, atau lafal yang sulit diganti lafal yang mudah.
Keraf
(1996:85—94) memberikan macam-macam perubahan bunyi, yaitu sebagai berikut.
1. Asimilasi
merupakan suatu proses perubahan bunyi di mana dua fonem yang berbeda dalam
bahasa proto mengalami perubahan dalam bahasa sekarang menjadi fonem yang sama.
2. Disimilasi
adalah suatu proses perubahan bunyi yang merupakan kebalikan dari asimilasi.
Proses ini berujud perubahan serangkaian fonem yang sama menjadi fonem-fonem
yang berbeda.
3. Perubahan
berdasarkan tempat yang terdiri atas metatesis, aferesis, sinkop, apokop,
protesis, epentetis, dan paragog.
Metatesis
merupakan suatu proses perubahan bunyi yang berujud pertukaran tempat dua
fonem. Sedangkan, aferesis adalah suatu proses perubahan bunyi antara bahasa
kerabat berupa penghilangan sebuah fonem pada awal sebuah kata. Apokop
merupakan perubahan bunyi berupa menghilangan sebuah fonem pada khir kata. Sementara,
protesis adalah suatu proses perubahan kata berupa penambahan sebuah fonem pada
wal kata. Epentesis atau mesogog adalah proses perubahan kata berupa penambahan
sebuah fonem di tengah kata.
Perubahan bunyi
berikutnya adalah paragog yaitu proses perubahan kata berupa penambahan fonem
pada khir kata.
4. Perubahan-perubahan
lain
Bila suatu proses
merger terjadi atas dua vokal proto dan mengubah kedua vocal itu menjadi sebuah
vocal tunggal, maka perubahan itu disebut monoftongisasi. Sebaliknya jika suatu
fonem proto (dalam hal ini vocal) berubah sehingga menghasilkan dua vocal maka
proses itu disebut diftongisasi. Proses terakhir ini boleh saja disebut
pembelahan (split) tetapi harus diingat bahwa pembelahan ini terjadi pada sebah
bentuk yang sama, atau pada kata yang sama.
2.3 Konsekuensi
Bunyi Bagi Tata Bahasa
2.3.1 Tidak Ada Bentuk Bunyi Kembar
Verhaar
(2012:68) berpendapat bahwa dasar bukti identitas fonem adalah apa yang dapat
disebut “fungsi pembeda” sebagai sifat khas fonem. Di dalam bahasa Indonesia
ada pasangan minimal rupa dan lupa memiliki perbedaan minimal yaitu
perbedaan antara [r] dan [l]. maka dari itu, /r/ dan /l/, dalam
bahasa Idonesia, merupakan fonem-fonem yang berbeda identitasnya. Kata rupa dan lupa dikatakan “beroposisi” atau “berkontras”.
Pendapat
Verhaar mendukung pernyataan Saussure bahwa tidak ada bentuk bunyi kembar.
Sebenarnya di mana pun tidak ada bentuk kembar fonetis. Evolusi fonetik hanya
menekankan perbedaan yang telah ada sebelumnya.
2.3.2
Alternasi
Alternasi
alofonemis bergantung dari lingkungan maka dapat diramalkan dari lingkungan
pula. Hal ini dapat dirumuskan dengan: alternasi alofonemis adalah “teramalkan”
dari lingkungan. Misalnya alofon Inggris [tî] terdapat hanya sebagai konsonan pertama
sebelum vokal; dan alofon [t]
terdapat hanya dalam bila /t/ itu tidak ada pada awal kata. Dengan kata lain,
alternasi alofonemis tidak terjadi semena-mena saja melainkan menurut kaidah
tertentu, yang berbeda dalam bahasa satu dengan bahasa lainnya. Misalnya, dalam
bahasa Inggris mewujudkan fonem /t/ secara fonetis sebagai alofon [tî]
sebelum vokal (tanpa adanya konsonan lain sebelum atau sesudah /t/ itu), tetapi
tidak demikian halnya dengan /t/ + vocal dalam bahasa Belanda: alofon *[tî]
dari fonem /t/ dalam bahasa Belanda tidak ditemukan.
2.4
Analogi
Menurut Muslich
(2014:101), analogi dalam bahasa adalah suatu bentukan bahasa dengan meniru
contoh yang sudah ada. Sementara menurut Keraf (1996:57), analogi merupakan
suatu proses pembentukan kata mengikuti contoh-contoh yang sudah ada. Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan Sausurre bahwa bentuk analogis adalah suatu bentuk
yang dibuat berdasarkan gambar atau satu atau sejumlah bentuk lain berdasarkan
aturan tertentu.
Dalam
kata dewa-dewi dan putra-putri terdapat perbedaan fonem,
yaitu fonem /a/ dan /i/ pada akhir kata. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai fungsi
menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Karena
bentukan-bentukan seperti itulah dalam bahasa Indonesia terdapat bentukan baru.
Bentukan baru tersebut, misalnya saudara /a/ untuk menyatakan jenis kelamin
laki-laki dan saudari /i/ untuk menyatakan jenis kelamin perempuan.
Hal
tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Saussure bahwa analogi bertolak dari
persona tunggal aktif. Analogi bersama perubahan bunyi merupakan faktor besar di
dalam evolusi langue, proses yang
mengubah keadaan langue tersebut.
Peristiwa analogis terdiri dari tiga unsur, yaitu pewaris sah dari keturunan,
saingan, dan pelaku kolektif yang terbentuk dari bentuk-bentuk yang telah
membentuk konkruen. Hal itu didukung dengan pendapat Keraf (1996:57) bahwa
pembentukan baru berdasarkan analogi bisa terjadi juga dalam bahasa-bahasa
kerabat, atau malahan juga dalam bahasa sendiri, baik pada morfem dasar maupun
morfem terikat, sehingga tampaknya seolah-olah ada semacam kemiripan bentuk
karena warisan. Kata berniaga, berjuang dalam
bahasa Indonesia mengandung unsur prefiks ber-
yang diperlakukan sebagai prefiks sesungguhnya seperti terdapat pada kata-kata:
berjalan, bekerja, berdiri, dan sebagainya. Padahal prefiks ber- pada kata berniaga
dan berjuang terjadi karena analogi,
sehingga tidak dapat dipakai dalam contoh-contoh ntuk menunjukkan adanya
korespodensi antar pelbagai bahasa kerabat. Analogi itu terjadi karena semua
prefiks ba- dalam bahasa Minang kan
berubah menjadi ber- dalam bahasa
Melayu atau Indonesia. Padahal kata baniago
(Minang) berasal dari vanijjya Sanskerta
yang merupakan kata dasar dan baujuang merupakan
kata bentukan ba + ujuang.
2.4
Analogi dan Evolusi
Muslich (2014:101)
berpendapat bahwa dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang,
pembentukan kata-kata baru (analogi) sangat penting sebab bentukan kata baru
dapat memperkaya perbendaharaan bahasa. Hal tersebut sejalan dengan apa yang
dikatatakan Saussure bahwa bahasa hanya mempertahankan sebagian kecil dari
penciptaan wicara, namun unsur-unsur yang bertahan pun jumlahnya cukup banyak
sehingga dari satu zaman ke zaman terlihat sejumlah bentuk baru pada kosa kata
dan tata bahasa.
Perbedaan fonem pada
kata dewa-dewi dan putra-putri yang menyatakan perbedaan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan menghasilkan bentukan-bentukan baru, seperti saudara
dan saudari. Saudara digunakan untuk menunjukkan jenis kelamin laki-laki
sedangkan saudari untuk menunjukkan jenis kelamin perempuan.
Seperti yang dikatakan
oleh Saussure bahwa langue tidak
berhenti menafsirkan dan memilah satuan-satuan yang diberikan padanya. Tetapi
penafsiran tersebut berubah dari generasi satu ke generasi lainnya. Adapun
salah satu faktor penyebabnya adalah perubahan bunyi.
BAB III
KONDISI DI INDONESIA
3.1
Hal-hal Umum
Pada zaman dahulu, bahasa Indonesia
belum mengenal fonem /f/, /kh/, dan /sy/, karena ketiga fonem tersebut dianggap
sama dengan fonem /p/, /k/, dan /s/. Sehingga kata:
Fikir à sama dengan à pikir
Khabar à sama dengan à kabar
Masyarakat à sama dengan à masarakat
Kata
“batu” berasal dari kata “watu” yang berasal dari bahasa Jawa. Kata “pena” dulu
berarti “bulu angsa”, sekarang berarti alat tulis bertinta.
Contoh lain perubahan pemakaian huruf ejaan bahasa Indonesia
Ejaan
Van Ophuijsen
(1901—1947)
|
Ejaan Republik
(Ejaan Soewandi)
(1947—1972)
|
Pembaharuan Ejaan
|
Ejaan Melindo
|
EYD
(mulai 16 Agustus
1972)
|
Choesoes
Djoem’at
Jan’ni
Pajoeng
Tjoetjoe
Soenji
|
Chusus
Djum’at
Jakni
Pajung
Tjutju
Sunji
|
jumat
yakni
|
cucu
|
Khusus
Jumat
Yakni
Payung
Cucu
Sunyi
|
3.2
Perubahan-perubahan Bunyi
Berikut beberapa kondisi di Indonesia yang
menunjukkan perubahan-perubahan bunyi.
1) Contoh
perubahan linear, yaitu fonem-fonem Austronesia Purba dalam kata
*/ikan/ → bahasa Melayu sekarang tetap → /ikan/.
*/rakit/ → bahasa Melayu sekarang tetap → /rakit/.
2) Contoh pewarisan dengan perubahan,
yaitu Austronesia Purba */i/ dalam kata */ikur/ berubah menjadi fonem /e/ à dalam bahasa Melayu menjadi /ekor/.
*// berubah menjadi /a/ à dalam bahasa Melayu menjadi /nam/.
3) Contoh perwarisan dengan
penghilangan, yaitu dalam bahasa Austronesia Purba ada kata */hubi/ ‘ubi’ dalam
bahasa Melayu menjadi kata /ubi/.
Kata
/turut/ dalam bahasa Jawa Kuno menjadi /tut/ dalam bahasa Jawa sekarang yang
memperlihatkan hilangnya fonem /r/.
Ucapan
selamat pagi à pagi. Salam selamat pagi hanya diucapkan pagi.
Dalam hal tersebut terdapat penghilangan kata selamat.
4)
Contoh pewarisan dengan penambahan, yaitu dalam bahasa Austronesia Purba
*/pat/ ‘empat’ menjadi /mpat/ dalam bahasa Melayu.
*/tubuh/
Austronesia Purba menjadi /tumbuh/ dalam bahasa Melayu.
5)
Contoh perpaduan atau merger, yaitu
*/hatai/ dalam bahasa Austronesia Purba menjadi /hati/ dalam bahasa Melayu.
Berikut contoh macam-macam perubahan
bunyi sesuai kondisi yang ada di Indonesia.
1) Asimilasi
alsalam à
assalam
à asalam
inmoral à
immoral
à
immoral
2) Disimilasi
vanantara (Sanskerta) à belantara
citta (Sanskerta)
à cipta
sajjana (Sanskerta)
à sarjana
rapport (Belanda) à lapor
lalita (Sanskerta)
à jelita
lauk-lauk (Melayu) à lauk pauk
3) Protesis
lang à elang
mas à emas
stri à istri
smara à
asmara
4) Epentesis
general à
jenderal
gopala à
gembala
racana à
rencana
upama à
umpama
kapak à
kampak
5) Paragog
lamp à
lampu
hulubala à
hulubalang
ina à
inang
adi à
adik
boek (Belanda)
à buku
6) Aferesia
upawasa à puasa
tatapi à
tetapi à
tapi
7) Sinkop
sahaya à saya
kelamarin à kemarin
8) Apokop
possesiva à posesif
import à
impor
9) Metatesis
Almari à lemari
Beting à tebing
Kelikir à kerikil
10) Diftongisasi
sodara à
saudara
suro à
surau
pulo à
puau
pete à
petai
gule à
gulai
11) Monoftongisasi
gurau à
guro
bakau à
bako
sungai à
sunge
danau à
dano
3.
3 Analogi
Kita
sering mendengar ataupun membaca kata-kata seperti dewa-dewi, putra-putri. Kedua bentuk kata itu terdapat perbedaan
fonem, yaitu fonem /a/ dan /i/ pada akhir kata. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai
fungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Karena
bentukan-bentukan seperti itulah, dalam bahasa Indonesia terdapat bentukan
baru, misalnya berikut ini.
Menyatakan Laki-laki
|
Menyatakan Perempuan
|
Saudara /a/
Pemuda /a/
Siswa /a/
Mahasiswa /a/
|
Saudari /i/
Pemudi /i/
Siswi /i/
Mahasiswi /i/
|
Selain bentuk baru
seperti di atas, ada pula deretan kata yang sudah lama kita jumpai, misalnya: sastrawan, hartawan, wartawan, rupawan,
dan bangsawan. Dari bentuk itu,
timbul pula bentukan-bentukan seperti olahragawan,
negarawan, sosiawan, dan karyawan,
karyawati, seniman, dan seniwati. Fonem
/a/ dan /i/ pada bentukan kata tersebut tidak ubahnya berfungsi menyatakan
perbedaan jenis kelamin.
Di
samping bentukan-bentukan baru yang menyatakan perbedaan jenis kelamin,
terdapat pula bentuk yang dibentuk dari kata-kata asli, misalnya, bentuk-bentuk
seperti sosialisme, sosialis, dan hedonisme. Analogi dengan itu,
terbentuklah kata-kata seperti marhainisme,
marhainis, pancasilais.
Kata
berniaga, berjuang dalam bahasa Indonesia
mengandung unsur prefiks ber- yang
diperlakukan sebagai prefiks sesungguhnya seperti terdapat pada kata-kata: berjalan, bekerja, berdiri, dan sebagainya. Padahal prefiks ber- pada kata berniaga
dan berjuang terjadi karena analogi,
sehingga tidak dapat dipakai dalam contoh-contoh ntuk menunjukkan adanya
korespodensi antar pelbagai bahasa kerabat. Analogi itu terjadi karena semua
prefiks ba- dalam bahasa Minang kan
berubah menjadi ber- dalam bahasa
Melayu atau Indonesia. Padahal kata baniago
(Minang) berasal dari vanijjya Sanskerta
yang merupakan kata dasar dan baujuang merupakan
kata bentukan ba + ujuang.
BAB IV
SIMPULAN
Berdasarkan pokok-pokok pikiran tentang linguistik diakronis yang
dikemukan Ferdinand de Saussure dengan beberapa deskripsi linguistik diakronis yang relevan serta
dilengkapi contoh kondisi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa subdisipin
ilmu lingustik diakronis masih dijadikan
pedoman dan digunakan dalam pengkajian atau penelitian perkembangan
suatu bahasa atau evolusi
bahasa (historis) seiring berlalunya waktu (masa).
Perubahan-perubahan
bunyi yang menunjukkan adanya perkembangan suatu bahasa dalam linguistik diakronis
seperti yang telah dijelaskan oleh Saussure juga terjadi dalam bahasa
Indonesia. Contohnya saja, perubahan bunyi dengan penghilangan terjadi pada
ucapan selamat pagi yang terbiasa
diucapkan dengan pagi. Munculnya
bentuk-bentuk baru dari bentuk-bentuk lama yang disebut dengan analogi juga
terdapat dalam bahasa Indonesia. Misalnya, munculnya kata putri yang berasal dari bentuk lama, yaitu kata putra. Perubahan pemakaian huruf ejaan dalam
bahasa Indonesia dari ejaan Van
Ophuijsen sampai ejaan yang disempurnakan yang termuat dalam Permen No. 46
tahun 2009 merupakan contoh linguistik diakronis dalam bahasa Indonesia.
Beberapa contoh kondisi atau fenomena di Indonesia
mengenai perubahan sistem bahasa dalam bentuk yang lain dengan sistem bahasa sebelumnya atau perubahasan dari masa ke masa, masih
terjadi di Indonesia. Itu menandakan bahwa lingistik diakronis masih tampak dan
terjadi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 2014. Linguistik Umum.
Jakarta: Rineka Cipta.
Finoza, Laminudin. 2010. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Diksi Insan Mulia
Keraf,
Gorys. 1996. Linguistik Bandingan
Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Muslich,
Masnur. 2014. Tata Bentuk Bahasa
Indonesia Kajian Ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
Saussure,
Ferdinand de. 1996. Pengantar Linguistik
Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
. 2011. Course in General Linguistics. New York: Columbia University Press.
Verhaar,
J.W.M. 2012. Asas-asas Linguistik Umum.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar