Minggu, 12 November 2017

LINGUISTIK DIAKRONIS (FERDINAND DE SAUSSURE)





LINGUISTIK DIAKRONIS
 (FERDINAND DE SAUSSURE)
Oleh
Jose Da Conceicao Verdial


BAB I
POKOK  PIKIRAN
1.1  Hal-hal Umum
Linguistik diakronis tidak menelaah hubungan antara unsur-unsur bahasa yang hadir bersama, tetapi menelaah hubungan antara unsur-unsur yang berurutan yang saling mengganti di dalam waktu. Memang imobilitas mutlak tidak ada: setiap bagian langue mengalami perubahan: didalam setiap periode terjadi evolusi yang kurang lebih besar. Evolusi tersebut dapat berbeda dalam kecepatan maupun intensitasnya, tetapi perinsipnya sendiri tetap sama.
Fonetik, atau lebih tepat fonetik secara utuh, merupakan objek pertama linguistik diakronis. Memang revolusi bunyi tak sebanding dengan pengertian keadaan. Membandingkan fonem-fonem atau kelompok-kelompok fonem dengan bentuk-bentuk sebelumnya, sama saja dengan melakukan studi linguistik diakronis. Zaman yang terdahulu kurang lebih dapat diperbandingkan, tetapi bila dua zaman berbaur, fonetik berhenti terlibat; yang ada hanya deskripsi bunyi-bunyi bahasa yang menjadi objek fonologi.
Sifat fonetik diakronis sangat bertalian dengan prinsip yang mengatakan bahwa apapun yang berhubungan dengan fonetik dalam artian yang luas, tidak mengandung makna atau maupun dramatik untuk menyusun sejarah bunyi sebuah kata, orang dapat mengesampingkan makna dan hanya memperhatikan kulit materiilnya, memilah kepingan-kepingan bunyi tanpa mempertanyakan apakah kepingan tersebut mengandung makna. Seandainya evolusi langue tidak menyempit menjadi evolusi bunyi, oposisi objek-objek yang menjadi bagian dari linguistik akan segera menjadi terang: orang akan melihat dengan jelas bahwa diakronis sama dengan nongramatikal sedangkan sinkronis sama dengan gramatikal.
Perubahan gramatikal dapat diuraikan dengan perubahan bunyi. Penciptaan bentuk gramatikal dalam bahasa Jerman Hand: Hande ‘tangan’: ‘tangan-tangan’, yang mengganti hant: hanti dapat dijelaskan seluruhnya oleh peristiwa fonetis.
Evolusi suatu fakta gramatikal, baik kelompok asosiatif maupun sintagmatis, tidak berbanding dengan evolusi bunyi. Evolusi tata bahasa tidak sederhana, terbentuk dari berbagai peristiwa khusus dan hanya satu bagian saja yang termasuk perubahan bunyi. Di dalam asal usul jenis sintagmatis, seperti kala mendatang bahasa Prancis prendre ai yang menjadi prendrai ‘akan mengambil’, dapat dibedakan paling sedikit dua peristiwa. Yang satu psikologi sifatnya, yaitu sintesis dari dua unsur konsep, yang lain fonetis dan bergantung dari yang pertama: yaitu pengurangan dari dua tekanan kelompok menjadi satu tekanan (predre aià predrai).

1.2  Perubahan-perubahan Bunyi
1.2.1 Keteraturan yang Mutlak
Fonemlah yang berubah yaitu peristiwa yang terpisah, seperti juga semua peristiwa diakronis, tetapi yang konsekuensinya mengubah semua kata dengan cara yang sama dimana fonem tersebut berada. Dalam pengertian itulah perubahan bunyi bersifat mutlak teratur.
Dalam bahasa Jerman, semua i menjadi ei, kemudian ai: win, triben, lihen, zit telah menjadi Wein, treiben, leihen, Zeit. Semua u menjadi au: hus, zun, ruch à Haus, Zaun, Rauch. Demikian pula u berubah menjadi eu: husir à Hauser, dan sebagainya. Sebaliknya diftong ie berubah menjadi i, tetapi tetap dituliskan ie: bandingkan kepada biegen, lieb, Tier. Sejajar dengan itu semua ou menjadi u: muotà Mut, dan sebagainya. Semua z (lihat halaman menjadi s (ditulis ss): wuzer à Wasser, fliezenà fliessen, dan sebagainya. Semua h dalam hilang bila terletak antara dua vokal: lihen, sehen à leien, seen (tetap ditulis leihen, sehen). Semua w  berubah menjadi v labiodental (dituliskan): wazerà waser (wasser). Perubahan bunyi apa pun, yang dilihat dari dekat, akan menegaskan keteraturan sempurna dari perubahan-perubahan tersebut.


1.2.2 Kondisi-kondisi Perubahan Bunyi
Gejala fonetis bersifat spontan bila hasilnya oleh sebab-sebab intern, dan bersifat kombinasi bila merupakan hasil kehadiran sebuah atau sejumlah gejala lain. Misalnya perpindahan o Indo-Eropa ke a Germania merupakan peristiwa spontan. Sebaliknya, perpindahan dari bahasa Latin ct, pt ke bahasa Italia menjadi tt (bdk factumà fatto, captivumà cattivo) merupakan peristiwa kombinasi karena unsur yang pertama diasimilasikan ke  unsur yang kedua.
Jika suatu peristiwa fonetis bersifat kombinasi, selalu dengan persyaratan; tetapi jika peristiwa itu spontan, tidak selalu mutlak karena mungkin saja dipengaruhi secara negatif oleh ketidakhadiran beberapa faktor perubahan. Misalnya k1 Indo-Eropa secara spontan menjadi qu dalam bahasa Latin (bandingkan kepada quattuor, inquilina, dan sebagainya), tetapi k1 tidak harus diikuti dengan o dan u (bandingkan kepada cottidie, colo, secundus, dan sebagainya).

1.2.3 Metode
Untuk membedakan dengan baik mana yang spontan dan mana yang kombinasi, perlu dianalisis tahap-tahap perubahan dan jangan menelaah hasil sekejab sebagai hasil langsung. Jadi, untuk menjelaskan rotasisasi (bandingkan dengan bahasa Latin *genesisà genersis), tidak benar kalau dikatakan bahwa s  laring, tidak pernah akan dapat memberi bunyi r secara langsung. Sebenarnya terjadi dua proses: s menjadi z melalui perubahan kombinasi; namun z yang tidak ada di dalam sistem bunyi bahasa Latin telah diganti oleh bunyi yang sangat dekat dengannya yaitu r, dan perubahan ini spontan. Jadi, karena kekeliruan yang besar orang merancukan dua peristiwa yang berbeda menjadi satu peristiwa. Kekeliruan yang pertama adalah menelaah hasil sekejap sebagai hasil langsung (sà r dan bukan zà r). Kedua, menganggap gejala kombinasi, padahal pada bagian pertama tidak demikian halnya.  
            Kekeliruan yang paling besar adalah cara merumuskan hukum fonetik dengan melihat hasil kini, seakan-akan fakta-fakta yang ditelaah hadir untuk selamanya, dan bukan lahir dan mati dalam satu porsi waktu. Hal ini keliru karena dengan begitu orang menghapus waktu urutan kronologis peristiwa.
1.2.4 Sebab-sebab Perubahan Bunyi
Berikut adalah sebab-sebab perubahan bunyi.
1)   Ada kemungkinan ras memberi pengaruh bagi arah perubahan bunyi.
Kemungkinan besar ada arah umum bagi gejala-gejala fonetis pada suatu zaman tertentu di lingkungan bangsa tertentu. Terjadinya monoftong dari diftong di dalam bahasa Prancis modern merupakan manifestasi dari kecenderungan tersebut. Namun, meskipun didapati arus umum yang sama di dalam sejarah politik, ciri historisnya tidak diragukan dan orang tidak melihat pengaruh langsung dari ras. Seorang negro yang ditempatkan sejak lahir di Perancis, berbahasa Prancis sama fasihnya dengan pribumi.
Sebagai contoh, mulut Ionia tidak menerima a panjang dan mengubanya menjadi e, sama kekeliruannya dengan mengatakan a menjadi e dalam bahasa Ionia. Alat ucap Ionia tidak menolak untuk melavalkan a karena pada beberapa hal dapat melafalkan a. Jadi, itu bukan ketidakmampuan antropologis, melainkan perubahan kebiasaan lafal.
2)   Orang sering menganggap perubahan fonetis sebagai penyesuaian pada kondisi tanah dan iklim.
Beberapa bahasa Utara memiliki banyak konsonan, sedangkan beberapa bahasa Selatan lebih banyak menggunakan vokal sehingga menimbulkan bunyi yang serasi. Iklim dan kondisi kehidupan memang mempengaruhi langue, tetapi masalahnya menjadi sengkarut begitu orang masuk ke detail, misalnya, di samping idiom-idiom Skandinavia, yang menggunakan begitu banyak konsonan, idiom Skandinivia Selatan dan Finlandia lebih vokalis daripada bahasa Itali sekali pun. Perlu dicatat pula bahwa penumpukan konsonan di dalam bahasa Jerman mutakhir merupakan peristiwa yang sangat mutakhir sebagai akibat luluhnya vokal belakang bertekanan, bahwa beberapa dialek Selatan (Prancis) lebih memilih vokal daripada bahasa Perancis Utara, bahwa bahasa Serbia memiliki konsonan yang sama banyaknya dengan bahasa Rusia di Moskow, dan seterusnya.
3)   Orang telah memasukkan hukum pengurangan usaha yang mungkin menukarkan dua pelafalan menjadi satu, atau lafal yang sulit diganti dengan yang mudah.
Nampaknya hukum pengurangan usaha menjelaskan sejumlah kasus, misalnya perpindahan aklusif ke spiran (habereà avoir ‘mempunyai’), luluhnya massa suku kata yang sangat besar di dalam banyak bahasa, gejala asimilasi (misalnya lyà II, *alyos à Germania allos, tn ànn, *atnosà Latin annus), perubahan diftong menjadi monoftong yang hanya merupakan variasi dari asimilasi (misal aià E, Perancis maizon à mEzo”maison” ‘rumah’), dan sebagainya.
Namun, kita dapat pula menyebutkan sejumlah kasus dimana kejadiannya adalah yang sebaliknya. Misalnya menoftong dapat di pertentangkan dengan perubahan i uu Jerman menjadi ei au eu. Jika orang menganggap bahwa pelemahan slavia dari a#, e ke a#, e merupakan akibat pengurangan usaha, maka harus di ingat bahwa gejala yang sebaliknya terjadi di dalam bahasa Jerman (fater→Vater, geben→geben), yaitu perubahan karena pertambahan usaha. Jika orang menganggap bahwa bunyi bersuara lebih mudah dilafalkan daripada bunyi tak bersuara (bdk. opera  → dialek selatan obra), yang sebaliknya membutuhkan usaha yang lebih besar, meskipun demikian bahasa Spanyol mengalami perubahan dari z ke x (bdk. hixo “putra” yang dituliskan hijo), dan bahasa Germania telah mengalami perubahan b d g menjadi p t k.
Pengamatan-pengamatan tersebut tidak berpretensi menolak penyelesaian yang diusulkan orang. Sebenarnya kita hampir tidak mungkin menentukan bagi setiap langue, apa yang lebih mudah atau apa yang lebih sukar untuk dilafalkan. Pelemahan memang benar berkaitan dengan pengurangan usaha dalam pengertian panjang pendeknya bunyi, namun benar pula bahwa pelafalan yang diabaikan jatuh pada bunyi panjang, sedangkan bunyi pendek membutuhkan perhatian lebih banyak. Jadi, dengan mengasumsikan kecenderungan-kecenderungan yang berbeda, orang dapat menampilkan dua fakta yang bertentangan dengan warna yang sama. Oleh karena itu, perlu pengkajian yang luas dan menelaah dari sudut pandang fisiologis (masalah pelafalan) dan sudut pandang psikologis (masalah perhatian).
4)   Penjelasan yang mendapat perhatian sejak beberapa tahun ini adalah melihat perubahan lafal sebagai akibat pendidikan fonetis di masa kanak-kanak kita.
Hanya melalui banyak mengira-ngira, mencoba-coba dan memperbaikilah seorang anak berhasil melafalkan apa yang didengarnya dari lingkungannya. Di  sinilah mungkin terdapat bibit perubahan. Beberapa ketidak tetapan yang tidak diperbaiki di bawah oleh individu dan menetap sampai dia tumbuh.
5)   Sering kali orang mencari salah satu penyebab yang menentukan di dalam keadaan bangsa secara umum pada suatu saat tertentu. Langue mengarungi berbagai zaman, ada keresahan dari yang lain. Orang mencoba mengaitkan bahasa-bahasa tersebut dengan periode-periode penjajahan di dalam sejarah untuk dapat menemukan hubungan antara ketidakstabilan politis dengan ketidakstabilan bahasa. Setelah berhasil, orang mengira dapat menerapkan kesimpulan mengenai langue pada umumnya pada perubahan-perubahan bunyi.
Hal itu harus berpegang pada dua perbedaan, yaitu sebagai berikut.
a)      Kestabilan politis tidak mempengaruhi langue dengan cara yang sama seperti ketidakstabilan politis; tidak ada gerakan timbal balik sama sekali. Bila keseimbangan politis memperlambat evolusi langue, ini merupakan sebab positif meskipun datang dari luar, sedangkan ketidakstabilan yang memberi dampak sebaliknya hanya bereaksi secara negatif. Imobilitas, terhentinya suatu idiom dapat disebabkan oleh peristiwa-peristiwa di luar langue (pengaruh suatu aliran, istana, akademi, aksara, dan sebagainya), yang pada gilirannya mendapat pengaruh positif dari keseimbangan sosial dan politik. Sebaliknya, jika suatu perubahan radikal yang berasal dari keadaan suatu bangsa mempercepat evolusi bahasa, itu adalah karena langue kembali mendapat kemerdekaanya sehingga dapat mengikuti arusnya yang teratur.
b)      Di sini kita hanya berhadapan dengan gejala-gejala fonetis, dan bukan segala jenis perubahan langue. Dapat dimengerti bahwa perubahan gramatikal seharusnya dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas karena tata bahasa dalam hal tertentu mencakup nalar, jadi lebih peka terhadap pengauh perubahan luar, yang memberi dampak langsung pada nalar. Tetapi kita tidak berhak untuk menyatakan bahwa pada zaman penjajahan di dalam sejarah suatu bangsa, terjadi evolusi bunyi-bunyi idiom yang dipercepat.
6)   Hipotesis “substratum awal bahasa” juga telah dijajagi; beberapa perubahan mungkin disebabkan oleh populasi pribumi yang berbaur dengan pendatang baru. Misalnya, perbedaan antara bahasa Oc dan bahasa Oil berkaitan dengan proporsi yang berbeda dari unsur asli Keltik kedua Galia. Teori tersebut telah pula diterapkan pada keanekaan dialek di Italia, yang dikembalikan sesuai dengan daerahnya pada pengaruh Liguria, Etruski, dan sebagainya.
7)   Menyamakan perubahan bunyi dengan perubahan mode.
Prinsip perubahan bunyi mungkin seluruhnya bersifat psikologis. Hanya, di mana titik tolak peniruannya, itulah yang menjadi misteri, baik bagi perubahan bunyi maupun bagi perubahan mode.

1.2.5 Gerak Perubahan Bunyi Tidak Terbatas
Jika kita mencoba menguji dampak dari perubahan-perubahan bunyi, kita segera melihat bahwa dampak tersebut tak terbatas dan tak terhitung, artinya kita tidak dapat meramalkan di mana perubahan akan berhenti. Ciri perubahan bunyi tersebut bertalian dengan kesemenaan tanda bahasa, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan makna. Orang dapat melihat pada saat tertentu bahwa bunyi-bunyi kata telah mengalami perubahan dan sampai berapa jauh perubahan tersebut, namun orang tidak mungkin mengatakan sebelumnya sampai batas mana kata tersebut berubah atau menjadi tidak dikenali lagi
Gejala fonetis juga tak terbatas dan tak terhitung dalam pengertian bahwa gejala tersebut mengenai jenis lambang apa pun, tanpa adanya pembedaan antara  adjektif, substantif, dan sebagainya, antara akar kata, akhiran, desinens, dan sebagainya.

1.3  Konsekuensi Bunyi Bagi Tata Bahasa
1.3.1        Putusnya Hubungan Gramatikal
Konsekuensi pertama dari gejala fonetis adalah memutuskan hubungan gramatikal yang menyatukan dua unsur atau lebih. Oleh karenanya terjadi bahwa sebuah kata tidak dirasakan sebagai derivasi dari kata lain.
Evolusi fonetik juga memutuskan hubungan wajar yang tadinya ada di antara dua bentuk fleksi di dalam kata yang sama. Misalnya, comescomiten di dalam bahasa Perancis Kuno menjadi cuens ǁ comte, barōbarōnemberābaron, presbiterpresbiteriumprestre ǁ provoire.

1.3.2        Terhapusnya Komposisi Kata-kata
Dampak gramatikal yang lain dari perubahan bunyi adalah bahwa bagian-bagian yang berbeda dengan membentuk sebuah kata, yang berperan menetapkan nilai kata tersebut, tidak dapat dianalisis lagi: kata tersebut menjadi suatu keutuhan yang tak terpilah.
Bentuk-bentuk sederhana hunc, hanc, hāc, dan seterusnya dari bahasa Latin Klasik yang berasal dari hon-ce, han-ce, hā-ce, seperti yang nampak pada bentu-bentuk epigrafis, merupakan hasil aglutinasi sebuah kata ganti dengan partikel –ce. Dahulu orang dapat membandingkan hon-ce, dan sebagainya dengan ec-ce, tetapi kemudian karena –e luluh secara fonetis, tidak mungkin dibandingkan lagi, atau dengan kata lain orang tidak membedakan lagi unsur-unsur di dalam hunc, hanc, hāc, dan sebagainya. Evolusi fonetik selalu berawal dengan mengacaukan analisis sebelum menjadikannya tidak mungkin sama sekali.

1.3.3        Tidak Ada Bentuk Bunyi Kembar
Unsur yang sama tidak mungkin mengalami dua macam perubahan sekaligus di tempat yang sama. Hal itu akan menentang definisi perubahan bunyi sendiri. Secara mandiri, evolusi fonetik tidak mampu menciptakan dua bentuk.
Sebagai contoh,  kalau di dalam bahasa Perancis terdapat secara berdampingan cavalier ‘penunggang’ dan chevalier ‘ksatria’, cavalcade ‘pawai’ dan chevauchée menunggang kuda’, hal itu adalah karena cavalier dan cavalcade telah dipinjam dari bahasa Italia. Pada dasarnya itu sama saja dengan calidum yang menjadi chaud ‘panas’ di dalam bahasa Perancis dan caldo di dalam bahasa Italia. Semua contoh di atas adalah kata pinjaman.
Jika sekarang menganggap bahwa kata ganti Latin muncul di dalam bahasa Perancis dengan dua bentuk: me dan moi ‘saya’ (“il me voit” ia melihat saya’ dan “c’est moi qu’il voit” ‘sayalah yang dilihatnya), orang akan mengatakan, kata Latin yang tak bertekanlah yang menjadi me, sedangkan bertekanan menjadi moi. Padahal ada tidaknya tekanan bukan tergantung dari hukum-hukum fonetis yang telah mengubah ke me dan moi, melainkan dari peran kata tersebut di dalam kalimat; itu adalah dualitas dalam tata bahasa.
Sebenarnya di manapun tidak ada bentuk kembar fonetis. Evolusi fonetik hanya lebih menekankan perbedaan yang telah ada sebelumnya. Di mana pun bila perbedaan tersebut bukan disebabkan oleh sebab-sebab luar seperti kasus kata-kata pinjaman tadi, perbedaan merancang dualitas gramatikal dan sinkronis sama sekali tiadak ada hubungannya dengan gejala fonetis.

1.3.4        Alternasi
Alternasi adalah peristiwa tata bahasa yang paling luas dan  paling biasa di mana perubahan bunyi memainkan peran: peristiwa yang disebut alternasi. Di dalam bahasa Perancis semua ŏ Latin yang berada dalam suku kata terbuka menjadi eu akibat adanya tekanan, atau ou bila ada tekanan sesudahnya. Dari sinilah muncul bentuk-bentuk. Kembar seperti pouvons ‘kami dapat’: peuvent ‘mereka dapat’, oeuvere ‘karya’: ouvrier ‘buruh’, nouveau ‘baru’: neuf ‘baru’, dan sebagainya, yang unsur pembedaan dan variasinya yang teratur dapat dengan mudah diamati.
Unsur kata dasarlah yang terkena perubahan; namun dengan sendirinya semua bagian kata mungkin mengalami hal yang serupa dan menampilkan oposisi yang serupa. Misalnya, lazim sekali bahwa sebuah awalan muncul dengan berbagai bentuk sesuai dengan kodrat awal kata dasarnya. Alternasi Indo-Eropa e : o kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan bunyi.
Jadi, alternasi dapat dirumuskan sebagai pertalian antara dua bunyi atau kelompok-kelompok bunyi tertentu, yang berpermutasi secara teratur di antara dua deret bentuk yang hadir bersama.
Orang mengatakan bahwa unsur Latin nov- karena perubahan fonetis menjadi neuv- nouv- (neuve dan nouveau ‘baru’), orang melebur suatu satuan imajiner dan orang mengesampingkan dualitas sinkronis yang ada sebelumnya. Posisi nov- di dalam nov-us dan di dalam nov-ellus yang berbeda, sudah ada sebelum terjadi perubahan fonetis dalam bahasa Perancis dan sekaligus merupakan gramatikal (bandingkan dengan barō: barōnem). Dualitas itulah yang merupakan asal alternasi dan yang memungkinkan terjadinya alternasi. Alternasi  selalu menjadi bagian tata bahasa dan linguistik diakronis.

1.3.5        Hukum Alternasi
Hukum alternasi gramatikal hanya merupakan prinsip pengaturan tanpa paksaan. Selain itu, kondisi bunyi yang telah menimbulkan alternasi masih dapat diamati. Alternasi yang bersifat sangat garamatikal. Untuk menyebut alternasi, orang menggunakan istilah permutasi, namun lebih baik itu dihindari karena justru sering menggunakan perubahan bunyi. Istilah tersebut menimbulkan gagasan yang selalu mengenai gerakan padahal kita berhadapan dengan keadaan.

1.3.6        Alternasi dan Hubungan Gramatikal
Segala oposisi bunyi yang agak teratur di dalam dua unsur cenderung menyusun hubungan di antara mereka. Wetter secara naluriah dibandingkan dengan wittren karena orang terbiasa melihat e beralternasi dengan i. Lebih jelas lagi, begitu para penutur merasakan bahwa suatu oposisi bunyi diatur oleh suatu hukum umum, pertalian yang menjadi kebiasaan tersebut mereka perhatikan dan berperan mengeratkan hubungan gramatikal daripada merenggangkannya.
Demikian pula halnya dengan alternasi yang tidak berarti, namun berkaitan dengan kondisi yang murni bunyi. Awalan re- (reprendre ‘mengambil kembali’, regagner ‘ mencapai kembali’, retoucher ‘menisik’, dan sebagainya) menjadi r- depan vokal (rouvrir ‘membuka kembali’, racheter ‘menembus’, dan sebagainya). Perbedaan tersebut sama sekali tidak mematahkan kesatuan konsepsi, karena makna dan fungsi dianggap identik dan bahwa bahasa ditetapkan berdasarkan kasus-kasus di mana bahasa menggunakan salah satu bentuk.

1.4  Analogi
1.4.1        Definisi dan Contoh-contoh
Dari analogi berasal semua perubahan wajar dari aspek luar kata-kata yang tidak bersifat fonetis. Suatu bentuk analogis adalah suatu bentuk yang dibuat berdasarkan gambar dari satu atau sejumlah bentuk lain berdasarkan aturan tertentu. Misalnya, nominatif Latin honor‘kehormatan’ bersifat analogis. Semua orang mengatakan honōs: honōsem, kemudian dengan adanya rotasisasi s, menjadi honōs: honōrem. Sejak itu akar kata mempunyai bentuk ganda. Dualitas tersebut kemudian dihilangkan dengan adanya bentuk baru honor, yang dibentuk berdasarkan model ōrātor: ōrātōrem, dan sebagainya, dengan prosedur yang akan kami kaji di bawah ini dan yang sejak sekarang kami kembalikan pada kalkulasi proporsional keempat:
Ōrātōrem: ōrātor = honōrem: x.
                              x = honor
Analogi berfungsi mengatur dan cenderung mempersatukan proses pembentukan dan fleksi. Analogi hanya bertolak dari persona pertama tunggal aktif dan menimpa hampir seluruh paradigma perfektum indikatif. Kasus tersebut sangat menarik karena di sini analogi menaruh unsur –a- pada kata dasar, yang semula adalah unsur fleksi, yaitu pephéuga-men. Padahal yang sebaliknya – unsur akar kata ditaruh pada akhiran.

1.4.2        Gejala-gejala Analogis bukan Perubahan
Aliran Junggaramkertilah yang pertama kalinya memberi tempat yang sebenarnya pada analogi dengan menunjukkan bahwa analogi, bersama perubahan bunyi, merupakan faktor besar di dalam evolusi langue, proses yang mengubah keadaan langue tersebut.
Peristiwa analogis apa pun merupakan drama dengan tiga orang pelaku, yaitu: 1) pewaris sah dari keturunan (misalnya honōs); 2) saingan (honor); 3) pelaku kolektif yang terbentuk dari bentuk-bentuk yang telah membentuk konkruen (honōrem, ōrātor, ōrātōrem, dan sebagainya). Dengan mudah orang menganggap honor sebagai suatu perubahan, suatu “metaplasma” dari honōs. Kata yang terakhir itulah yang memberi substansi yang terbesar. Namun, satu-satunya bentuk yang dianggap tak ada di dalam generasi honor adalah justru honōs.
Gejala tersebut dapat digambarkan dengan skema berikut:
BENTUK YANG BERUBAH     BENTUK YANG BARU
honos                                       honōrem                      honor
(yang tidak masuk                   ōrātor, ōrātōrem  
dalam perhitungan)                 dan sebagainya
                                                (kelompok generator)
Jelas sekarang bahwa ini semua adalah “paraplasma”, penempatan sebuah bentuk saingan di samping bentuk tradisional, atau suatu penciptaan. Kalau perubahan bunyi memasukkan unsur baru dengan menghapus apa yang tadinya ada (honōrem menggantikan honōsem), bentuk analogis tidak selalu harus disertai hilangnya bentuk yang didampinginya. Hōnor dan honōs hadir bersama beberapa waktu dan dapat digunakan secara bergantian. Meskipun demikian karena bahasa menolak untuk mempertahankan dua buah penanda yang melambangkan satu gagasan, yang paling sering terjadi adalah bentuk primitif yang kurang terartur, dilupakan orang dan akhirnya hilang. Hasil itulah yang membuat orang mengira ada suatu perubahan: kegiatan analogi selesai, maka keadaan yang kuno (honōs: honōrem) dan yang baru (honor:honōrem) muncul dalam oposisi yang sama dengan oposisi yang dihasilkan oleh evolusi fonetik. Meskipun demikian pada saat honor lahir, tak ada perubahan apa pun karena honor tidak menggantikan unsur apa pun. Hilangnya honōs bukan pula suatu perubahan karena gejala ini tidak tergantung dari gejala yang pertama tadi. Di tempat mana pun tempat orang mengikuti jalannya peristiwa bahasa, orang melihat bahwa pembaharuan analogis dan penghapusan bentuk kuno merupakan dua hal yang berbeda dan tidak ada transformasi di bagian mana pun.
Jadi, ilusi “perubahan” analogis berasal dari hubungan yang dibuat orang antara unsur yang tua dan yang muda, namun hal itu keliru karena pembentukan-pembentukan yang disebut perubahan (tipe honor) kodratnya sama dengan perubahan yang kami sebut penciptaan (tipe répressionnaire).

1.4.3        Analogi Prinsip Penciptaan Langue
Analogi bersifat gramatikal: analogi mensyaratkan kesadaran dan pemahaman adanya suatu hubungan yang mempersatukan bentuk-bentuk di antara mereka. Meskipun gagasan tidak penting di dalam gejala fonetis, intervensi gagasan perlu bagian analogi. Di dalam lingkup itulah dan di dalam batas languelah kita seharusnya menelaah gejala analogi. Meskipun demikian perlu dibedakan dua hal: 1) pemahaman hubungan yang mengaitkan bentuk-bentuk generator di antara mereka; 2) bentuk yang diciptakan oleh perbandingan, bentuk yang direka oleh penutur untuk mengungkapkan gagasan. Hanya hasil itulah yang menjadi bagian parole.
Jadi, analogi sekali lagi memberi kita pelajaran untuk memisahkan langue dari parole. Analogi menunjukkan pada kita akan ketergantungan parole dari langue dan memungkinkan kita untuk meraba permainan mekanisme bahasa.
Oleh karena itu seluruh bagian gejala terbentuk lebih dahulu sebelum orang melihat bentuk baru yang muncul. Kegiatan langage yang sinambung yang memilah satuan-satuan yang berada dalam inventarisnya, bukan hanya mengandung segala kemungkinan agar satu bahasa  sesuai dengan kebiasaan, melainkan juga segala kemungkinan pembentukan analogis.
Singkatnya, analogi dilihat secara mandiri hanyalah sebuah aspek dari gejala penafsiran, suatu pengungkapan kegiatan umum yang membedakan satuan-satuan untuk kemudian menggunakan mereka. Itu sebabnya analogi bisa dikatakan bersifat gramatikal  dan sinkronis.
Ciri analogi tersebut menjolok dua pengamatan yang menguatkan pendapat-pendapat mengenai kesemenaan mutlak dan kesemenaan relatif yaitu sebagai berikut.
1)   Kita dapat menggolongkan kata-kata berdasarkan kemampuan relatif mereka di dalam menurunkan kata-kata lain sesuai dengan kadar kemampuan mereka untuk memilah diri. Magasinier ‘pemilik toko’ tidak diturunkan oleh magasin; kata tersebut dibentuk berdasarkan model prisonnier ‘narapidana’: prison ‘penjara’. Jadi, di dalam setiap langue terdapat kata-kata yang produktif dan steril, namun proporsii di antara keduanya bervariasi.
2)   Ciptaan analogis apa pun dapat ditampilkan sebagai suatu kegiatan yang serupa dengan rumus proporsional keempat.
                                                                                  
1.5  Analogi dan Evolusi
1.5.1        Bagaimana Suatu Pembaharuan Analogis Masuk ke dalam Langue
Tak satu pun unsur dapat masuk ke dalam langue tanpa masuk ke dalam parole terlebih dahulu, dan semua gejala evolutif berakar di dalam lingkungan individu.  Di dalam parolelah terdapat benih segala perubahan. Setiap perubahan dilontarkan pertama kali oleh sejumlah individu sebelum masuk ke dalam kelaziman (usage). Sebelum kata honor mampu menggantikan kata honos, harus ada penutur pertama yang mengucapkannya, lalu ditiru oleh yang lain dan diulang, sampai pemakaian kata tersebut menjadi kebiasaan.
Tetapi tidak semua pembaharuan analogis seperti itu. Ada  kombinasi-kombinasi yang segera mati karena tidak diterima oleh bahasa. Langage anak-anak banyak menghasilkan unsur tersebut karena mereka kurang mengenal kebiasaan dan belum menguasai bahasa dengan baik. Tetapi, orang dewasa pun menggunakan itu juga. Oleh karena itu, banyak orang mengganti trayait dengan traisait ‘ia memerah susu’ (bahkan tertulis di dalam karya Rousseau). Semua pembaharuan tersebut secara mandiri memang teratur sekali, dan dapat dijelaskan dengan cara yang sama dengan pembaharuan yang telah diterima oleh bahasa.


Maka viendre didasarkan pada proposisi:
Eteindrai : eteindre ‘mematikan’ = viendre : x
      X : viendre,
Bahasa hanya mempertahankan sebagian kecil dari penciptaan wicara, namun unsur-unsur yang bertahan pun jumlahnya cukup banyak sehingga dari satu zaman ke zaman terlihat sejumlah bentuk baru pada kosa kata dan tata bahasa.           
Subtitusi berkelanjutan dari bentuk-bentuk tua oleh bentuk-bentuk baru merupakan salah satu aspek yang paling mencolok di dalam perubahan bahasa. Setiap kali suatu ciptaan menetap dan menghapus saingan, benar-benar terasa adanya sesuatu yang tercipta dan sesuatu yang ditinggalkan. Dari sudut pandang itu analogi menduduki tempat yang penting sekali di dalam teori evolusi.

1.5.2 Pembaharuan Analogis sebagai Perubahan Simptom dalam Penafsiran
Langue tidak berhenti menafsirkan dan memilah satuan-satuan yang diberikan padanya. Tetapi penafsiran tersebut berubah dari generasi satu ke generasi lainnya. Adapun faktor-faktor penyebabnya adalah sebagai berikut.
1)   Perubahan bunyi. Dengan membuat beberapa analisis ambigu dan analisis lain yang tidak mungkin, perubahan bunyi mengubah kondisi-kondisi pemilihan dan hasilnya, sehingga terjadi pemindahan batas-batas satuan dan perubahan kodrat mereka.
2)   Aglutinasi. Dampak dari aglutinasi menciutkan suatu kombinasi unsur-unsur menjadi satu kesatuan, kemudian menciutkan segala macam keadaan di luar kata, namun mampu mengubah analisis.
3)   Ada kecenderungan umum untuk memperkecil unsur kata dasar demi unsur pembentukan terutama apabila kata dasar diakhiri sebuah vokal.
Apa pun asal mula perubahan penafsiran tersebut, selalu nampak melalui munculnya bentuk-bentuk analogis. Jadi, analogi adalah suatu bukti yang menentukan bahwa suatu unsur pembentuk ada pada suatu saat tertentu sebagai satuan yang bermakna. Sebuah contoh yang sangat aneh menunjukkan bagaimana analogi bergerak pada satuan-satuan baru dari zaman ke zaman. Dalam bahasa Perancis modern somnolent ‘terkantuk-kantuk’ dianalisis somnol-ent, seolah kata tersebut sebuah present participle. Dengan demikian, dampak yang paling terasa dan yang paling penting dari analogi adalah mengganti bentukan-bentukan kuno, yang tak teratur dan jenuh dengan yang lebih wajar yang dibentuk dari unsur-unsur yang hidup.
Analogi bergerak pada langue. Oleh karena itu, meskipun analogi secara mandiri bukan suatu peristiwa evolusi, tetapi analogi mencerminkan perubahan-perubahan dari saat ke saat, yang muncul dalam ekonomi dan menghasilkan kombinasi-kombinasi baru. Analogi merupakan kolaborator yang efektif dari segala kekuatan yang terus-menerus mengubah arsitektur suatu idiom sehingga analogi merupakan suatu faktor yang kuat di dalam evolusi.

1.5.3 Analogi sebagai Prinsip Pembaharuan dan Pelestarian
Pembaharuan yang dilakukan analogi bersifat lebih kabur daripada riil. Mayoritas kata-kata merupakan kombinasi-kombinasi baru berupa unsur-unsur bunyi yang ditarik dari bentuk-bentuk yang lebih kuno. Karena berbagai alasan yang menggunakan materi yang kuno bagi pembaharuan yang dilakukannya, maka analogi itu bersifat konservatif.
Namun, analogi bukan faktor pelestarian yang kurang mendalam. Dapat  dikatakan bahwa campur tangan analogi tidak saja pada saat materi-materi yang ada sebelumnya disebar di dalam satuan-satuan baru, melainkan juga ketika bentuk-bentuknya tetap. Pada kedua kasus tersebut, proses yang terjadi bersifat psikologis. prinsip analogi pada dasarnya sama dengan prinsip mekanisme langage.
Sebagai contoh, kata Latin agunt ‘mereka melakukan’ berpindah dalam keadaan kurang lebih utuh sejak zaman prasejarah (ketika orang mengatakan *agonti) sampai di ambang zaman Roman. Bentuk-bentuk tetap mempertahankan bentuknya karena tak henti-hentinya dibuat kembali secara analogis. Sebuah kata sekaligus dipahami sebagai satuan dan sebagai sintagma, dan kata tersebut dilestarikan sehingga unsur-unsurnya tidak berubah. Sebaliknya, eksistensinya hanya dipertanyakan kalau unsur-unsurnya keluar dari kebiasaan.
Satu-satunya bentuk yang tidak terkena analogi adalah kata-kata mandiri, seperti nama diri, terutama nama-nama tempat (seperti Paris, Jenewa, Agen, dan sebagainya), yang tidak mungkin dianalisis sehingga tidak mungkin ditafsirkan unsur-unsurnya dan tidak ada bentuk saingan yang muncul.
Oleh karena itu, pelestarian sebuah bentuk dapat disebabkan oleh dua faktor yang berlawanan, yaitu pengucilan sepenuhnya atau pembatasan yang sempit di dalam suatu sistem, yang dengan tetap utuh bagian-bagian pokoknya selalu menyelamatkan suatu bentuk. Analogilah yang selalu yang selalu menentukan nasib bentuk bahasa.

1.6  ETIMOLOGI RAKYAT
Etimologi merupakan pembaharuan yang tidak sepenuhnya  terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan usaha coba-coba untuk menjelaskan secara kira-kira kata yang mengganggu dengan mengaitkannya pada sesuatu yang telah dikenal. Perbedaan analogi dan etimologi adalah bentuk-bentuk analogi bernalar, sedangkan etimologi rakyat mengalami proses yang sedikit kebetulan dan hanya berakhir pada kekacauan.
Meskipun demikian, perubahan tersebut hanya menyangkut hasilnya, dan hal tersebut tidak begitu penting. Keanekaan jenisnya adalah hal yang lebih mendasar. Untuk melihat keanekaan jenis-jenisnya perlu diketahui terlebih dahulu tipe-tipe etimologi rakyat.
Tipe utama dari etimologi rakyat yang pertama adalah ada kasus di mana kata mendapat penafsiran baru, namun bentuknya tidak berubah. Cohtohnya, dalam bahasa Jerman, durchblauen ‘menampar bertubi-tubi’ secara etimologi berasal dari bliuwan ‘memukul’, tetapi orang mengaitannya dengan blau ‘biru’ karena adanya biru-biru yang dihasilkan pukulan-pukulan. Hal ini dapat memberi kesan bahwa disitu telah terjadi perubahan bentuk sebagai akibat penafsiran baru. Namun, sebenarnya itu adalah pengaruh dari bentuk tertulis, dan orang ingin, tanpa mengubah lafal, menandai pengacuannya pada bentuk asal kata tersebut. Yang paling sering terjadi adalah orang mengubah bentuk kata untuk menyesuaikannya dengan unsur-unsur yang dikenalnya. Karena tingkat perubahan bentuk tidak menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar di antara kata-kata yang diolah secara salah oleh etimologi rakyat, maka kata-kata tersebut semua memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu merupakan penafsiran biasa dari bentuk-bentuk yang tidak dikenal melalui bentuk-bentuk yang dikenal.
Sekarang jelas, dalam hal apa etimologi mirip dengan analogi dan dalam hal apa etimologi berbeda. Kedua gejala tersebut hanya memiliki satu ciri yang sama: di dalam keduanya digunakan unsur-unsur bermakna yang disediakan oleh bahasa, namun untuk selebihnya unsur-unsur itu berbeda sama sekali. Analogi selalu mempersyaratkan dilupakannya bentuk sebelumnya. Sebaliknya, etimologi rakyat dipersempit menjadi penafsiran bentuk kuno. Ingatan kepada bentuk kuno, meskipun kabur, merupakan titik tolak perubahan bentuk yang diderita bentuk kuno tersebut. Jadi, di dalam etimologi terdapat kenangan, sedangkan analogi adalah kealpaan yang menjadi dasar analisis, dan perbedaan ini sangat penting.
Jadi, etimologi rakyat hanya bergerak di dalam keadaan khusus, dan hanya menyangkut kata-kata yang jarang digunakan, kata teknis atau kata asing, yang diserap penutur kata secara tidak sempurna. Sebaliknya, analogi merupakan peristiwa yang umum yang menjadi bagian kegiatan bahasa yang wajar. Kedua gejala tersebut yang begitu mirip dari beberapa segi, pada dasarnya saling bertentangan dan keduanya harus dibedakan dengan cermat.

1.7  Aglutinasi
Ada  faktor lain yang turut campur di dalam penghasilan satuan-satuan baru, yaitu aglutinasi. Aglutinasi adalah dua atau sejumlah kata yang asalnya berbeda, tetapi yang sering bertemu di dalam sintagma atau di dalam kalimat, bersatu dalam satu satuan mutlak atau yang sulit dipilah. Jadi, agutinasi kita sebut proses dan bukan prosedur karena kata yang terakhir ini mengandung makna suatu kehendak, suatu maksud, sedangkan tak adanya kehendak justru merupakan ciri pokok aglutinasi. 
Berikut ini beberapa contoh. Dalam bahasa Perancis, awalnya orang mengatakan ce ci dengan dua kata, kemudian menjadi ceci ‘ini’ yang merupakan kata baru meskipun unsur-unsur pembentuknya dan materinya tidak berubah. Gejala tersebut dapat dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu sebagai berikut.
1)   Kombinasi sejumlah kata di dalam sintagma, yang dapat dibandingkan dengan kata-kata lain.
2)   Aglutinasi yang sebenarnya, yaitu sintesis dari unsur-unsur sintagma menjadi sebuah satuan baru. Sintesis tersebut terjadi karena dirinya sendiri, demi kecenderungan mekanis.
3)   Semua perubahan lain yang mungkin mengasimilasikan kelompok yang lebih kuno menjadi sebuah kata yang sederhana.

1.7.1 Aglutinasi dan Analogi
Kontras antara aglutinasi dan analogi sangat mencolok, yaitu sebagai berikut.
1)   Di dalam aglutinasi, dua atau sejumlah satuan berbaur menjadi satu melalui sintesis (misalnya, encore ‘lagi’, yang berasal dari hanc horam), atau juga dua sub bagian yang hanya membentuk kesatuan. Sebaliknya, analogi berangkat dari satuan-satuan yang lebih kecil untuk membuat satuan yang lebih besar.
2)   Aglutinasi hanya beroperasi di lingkungan sintagmatis; kegiatannya menyangkut sebuah kelompok yang tersedia, aglutinasi tidak memperhatikan hal-hal lainnya. Sebaliknya, analogi mengacu pada deret asosiatif maupun sintagmatis.
3)   Aglutinasi sama sekali tidak suka rela, tidak aktif sama sekali. Sebaliknya, analogi merupakan proses yang mensyaratkan analisis dan kombinasi, suatu kegiatan cerdik, suatu maksud.
Orang sering menggunakan istilah konstruksi dan struktur untuk menunjuk pembentukan kata, namun istilah-istilah tersebut tidak bermakna sama apabila diterapkan pada aglutinasi dan analogi. Di dalam aglutinasi, istilah-istilah tersebut mengingatkan kita pada penyemenaan unsur-unsur secara lambat, yang karena adanya saling sentuh di dalam sintagma, telah mengalami sintesis yang dapat berakhir pada terhapusnya satuan-satuan asal. Sebaliknya, pada kasus analogi,
konstruksi berarti pendampingan yang diperoleh sekejap di dalam wicara, oleh pertemuan sejumlah unsur yang dipinjam dari berbagai deret asosiatif.
            Hanya sejarah yang dapat memberi kita penjelasan. Setiap kali sejarah memungkinkan untuk menegaskan bahwa suatu unsur sederhana dahulunya merupakan dua atau sejumlah unsur di dalam kalimat, kita berhadapan dengan aglutinasi: misalnya kata Latin hunc, berasal dari hom ce (ce dipertegas secara epigrafis). Tetapi, begitu informasi historis tidak ada, sulit bagi kita untuk menetapkan mana yang aglutinasi dan mana yang hasil analogi.

1.8  SATUAN, IDENTITAS, DAN REALITAS DIAKRONIS
Linguistik statis berfungsi pada satuan-satuan yang hadir sesuai dengan rangkaian singkronis. Apa yang telah dijelaskan di muka membuktikan bahwa di dalam urutan diakronis orang tidak berurusan dengan unsur-unsur tak terbatas secara sekaligus, seperti yang dapat digambarkan oleh grafik berikut:
 



Sebaiknya, dari saat ke saat unsur-unsur tersebut menyebar secara lain karena adanya peristiwa-peristiwa yang berperan di panggung bahasa sehingga unsur-unsur tersebut lebih dapat kalau digambarkan dalam skema berikut ini:
 





Skema tersebut merupakan hasil dari apa yang telah dijelaskan mengenai konsekuensi evolusi bunyi, analogi, aglutinasi, dan sebagainya.
Hampir semua contoh yang telah disebutkan sampai sekarang merupakan pembentuk kata; berikut ini adalah pembentukan yang berasal dari kalimat. Bahasa Indo-Eropa tidak mengenal preposisi, hubungan-hubungan ditandai dengan sejumlah kasus yang dibekali kekuatan makna pun tidak ada kata kerja majemuk yang dibentuk dengan praverba, tetapi yang ada hanya partikel-partikel, kata-kata kecil yang ditambahkan pada kalimat untuk menegaskan dan memberi nuansa pada gerak verba.
Di sini terdapat tiga gejala yang berbeda, tetapi kesemuanya didasarkan pada penafsiran satuan-satuan: 1) pembentukan suatu jenis kata baru, yaitu preposisi, dan hal itu terjadi hanya dengan perpindahan satuan-satuan yang diterima. Ada unsur khusus, telah memungkinkan pengelompokan baru: bentuk kata, yang semula bebas, bersatu dengan substantiva oreos, dan himpunan tersebut bersatu dengan baino dan menjadi pelengkapnya; 2) Munculnya sebuah tipe verba baru (kata baino): hal ini adalah pengelompokan psikologis yang lain, yang dipermudah pula oleh suatu distribusi satuan-satuan secara khusus dan diperkuat oleh aglutinasi; 3) sebagai konsekuensi wajar; pelemahan makna desinens genetif (ore-os); bentuk katalah yang akan ditugasi mengungkapkan gagasan dasar yang dahulu hanya ditandai oleh genitif: desinens –os berkurang sekali pentingnya. Menghilangkan unsur tersebut di masa mendatang sudah ada benihnya di dalam gejala tersebut.
Perubahan tanda merupakan perpindahan hubungan antara penanda dan petanda. Definisi tersebut berlaku bukan saja berlaku bagi perubahan unsur-unsur system, melainkan juga bagi evolusi system itu sendiri, atau apa yang disebut gejala diakronis secara keseluruhan.
Meskipun demikian, ketika orang telah mendapati perpindahan tertentu dari satuan-satuan sinkronis, orang sama sekali tidak menyadari apa yang telah terjadi di dalam langue. Ada masalah satuan diakronis yang mandiri: yaitu patut dipertanyakan, pada setiap peristiwa, unsur mana yang secara langsung menjadi akibat kegiatan perubahan. Perubahan bunyi hanya mengenai fonem yang terpisah, sedangkan kata sebagai satuan tidak diperhitungkan sama sekali. Satuan-satuan yang tercakup di dalam diakronis tidak selalu harus berkaitan dengan satuan-satuan yang terdapat di dalam bidang sinkronis. Pengertian satuan tidak mungkin sama di dalam kedua bidang tersebut. Satu-satunya jalan keluar bagi masalah satuan diakronislah yang memungkinkan untuk melampaui penampilan gejala evolusi dan mencapai intinya. Di sini seperti juga di dalam linguistik sinkronis, pengetahuan tentang satuan-satuan sangat diperlukan untuk dapat membedakan ilusi dari kenyataan.
Namun, masalah lain yang sangat peka adalah masalah identitas diakronis. Memang, agar saya dapat mengatakan bahwa sebuah satuan telah bertahan untuk tetap sama, atau bahwa sambil bertahan sebagai satuan yang berciri, satuan tersebut telah berubah bentuk atau makna – karena gejala kemungkinan itu memang ada – saya harus tau apa pijakan saya untuk menyatakan bahwa sebuah unsur yang diambil dari suatu zaman, misalnya kata Perancis chaud ‘panas’, adalah sama dengan sebuah unsur yang diambil dari abad lain, misalnya kata Latin calidum. Orang akan menjawab bahwa calidum telah berubah secara teratur menjadi chaud berkat hukum-hukum bunyi, dan oleh karenanya chaud = calidum. Itu yang disebut identitas bunyi.
Kaitan semacam itu nampak pada pandangan pertama mencakup pengertian identitas diakronis pada umumnya. Namun, sebenarnya tidak mungkin kalau bunyi memberikan identitas pada dirinya sendiri. Jika dua orang yang berasal dari daerah yang berbeda di Perancis, yang satu mengatakan se fâcher ‘marah’ sedangkan lainnya se fôcher, perbedaannya hanya sekunder dibandingkan dengan fakta-fakta gramatikal yang memungkinkan kita mengenali satu satuan bahasa yang sama di dalam kedua bentuk yang berbeda. Atau identitas diakronis dari dua kata yang begitu berbeda seperti calidum dan chaud ‘panas’ hanya berarti bahwa orang telah berpindah dari satuan yang satu ke satuan yang lain melalui sederet identitas sinkronis di dalam wicara, tanpa terputusnya hubungan di antara mereka karena adanya perubahan bunyi secara berturut-turut. Masalah yang kedua itu sebenarnya hanya lanjutan dan komplikasi dari masalah yang pertama.
 


BAB II
TEORI YANG RELEVAN

2.1 Hal-hal Umum
Chaer (2014:15) berpendapat bahwa linguistik diakronis berupaya mengkaji bahasa (atau bahasa-bahasa pada masa yang tidak terbatas; bisa sejak awal kelahiran bahasa itu sampai zaman punahnya bahasa tersebut (kalau bahasa tersebut sudah punah, seperti bahasa Latin dan bahasa Sansekerta), atau sampai zaman sekarang (kalau bahasa itu masih tetap hidup, seperti bahasa Arab dan bahasa Jawa). Kajian liguistik diakronis ini biasanya bersifat historis dan komparatif. Oleh karena itu dikenal juga adanya linguistik historis komparatif. Tujuan linguistic diakronis ini terutama adalah untuk mengetahui sejarah struktural bahasa itu beserta dengan segala bentuk perubahan dan perkembangannya.
Sementara menurut Pateda (1988:48) linguistik diakronis ingin mempersoalkan, menguraikan, atau menyelidiki perkembagan bahasa dari masa ke masa. Linguistik diakronis dapat disamakan dengan linguistik historis yang sifatnya vertikal. Hal itu juga sejalan dengan yang diugkpkan oleh Verharr (1984:6—7) bahwa linguistik diakronis (dari Yunani dia ‘melalui’ dan khronos ‘waktu’, ‘massa’) adalah penyelidikan tentang perkembangan bahasa. 
Semua pendapat tersebut mendukung pendapat Saussure bahwa linguistik diakronis tidak menelaah hubungan antara unsur-unsur bahasa yang hadir bersama, tetapi menelaah hubungan antara unsur-unsur yang berurutan yang saling mengganti di dalam waktu.
2.2 Perubahan-perubahan Bunyi
Pada waktu mengadakan rekonstruksi fonem-fonem proto, tampak bahwa perubahan sebuah fonem proto ke dalam fonem-fonem bahasa kerabat sekarang ini berlangsung dlam beberapa macam tipe. Pola-pola pewarisan yang terpenting adalah sebagai berikut.
1.    Pewarisan linear adalah pewarisan sebuah fonem proto ke dalam bahasa sekarang dengan tetap mempertahankan ciri-ciri fonetis fonem protonya.
2.    Pewarisan degan perubahan terjadi bila suatu fonem proto mengalami perubahan dalam bahasa sekarang.
3.    Pewarisan dengan penghilangan adalah suatu tipe perubahan fonem di mana fonem proto menghilang dalam bahasa sekarang.
4.    Pewarisan dengan penambahan adalah suatu proses perubahan berupa munculnya suatu fonem baru dalam bahasa sekarang, sedangkan dalam bahasa proto tidak terdapat fonem semacam itu dalam sebuah segmen tertentu.
5.    Penanggalan parsial atau penghilangan sebagian adalah suatu proses pewarisan di mana sebagian dari fonem proto menghilang dalam bahasa kerabat sedangkan sebagian lain dari ciri fonem proto bertahan dalam bahasa kerabat tersebut.
6.    Perpaduan adalah proses perubahan bunyi di mana dua fonem proto atau lebih berpadu menjadi satu fonem baru dalam bahasa sekarang.
7.    Pembelahan adalah suatu proses perubahan fonem di mana suatu fonem proto membelah diri menjadi dua fonem baru atau lebih, atau suatu fonem proto memantulkan sejumlah fonem berlainan dalam bahasa kerabat atau dalam bahasa yang lebih muda (Keraf, 1996:79—83).
Apa yang dikatakan Keraf mendukung sebab-sebab perubahan bunyi oleh Saussure yaitu orang telah memasukkan hukum pengurangan usaha yag mungkin menukarkan dua pelafalan menjadi satu, atau lafal yang sulit diganti lafal yang mudah.
Keraf (1996:85—94) memberikan macam-macam perubahan bunyi, yaitu sebagai berikut.
1.    Asimilasi merupakan suatu proses perubahan bunyi di mana dua fonem yang berbeda dalam bahasa proto mengalami perubahan dalam bahasa sekarang menjadi fonem yang sama.
2.    Disimilasi adalah suatu proses perubahan bunyi yang merupakan kebalikan dari asimilasi. Proses ini berujud perubahan serangkaian fonem yang sama menjadi fonem-fonem yang berbeda.
3.    Perubahan berdasarkan tempat yang terdiri atas metatesis, aferesis, sinkop, apokop, protesis, epentetis, dan paragog.
Metatesis merupakan suatu proses perubahan bunyi yang berujud pertukaran tempat dua fonem. Sedangkan, aferesis adalah suatu proses perubahan bunyi antara bahasa kerabat berupa penghilangan sebuah fonem pada awal sebuah kata. Apokop merupakan perubahan bunyi berupa menghilangan sebuah fonem pada khir kata. Sementara, protesis adalah suatu proses perubahan kata berupa penambahan sebuah fonem pada wal kata. Epentesis atau mesogog adalah proses perubahan kata berupa penambahan sebuah fonem di tengah kata.
Perubahan bunyi berikutnya adalah paragog yaitu proses perubahan kata berupa penambahan fonem pada khir kata.
4.    Perubahan-perubahan lain
Bila suatu proses merger terjadi atas dua vokal proto dan mengubah kedua vocal itu menjadi sebuah vocal tunggal, maka perubahan itu disebut monoftongisasi. Sebaliknya jika suatu fonem proto (dalam hal ini vocal) berubah sehingga menghasilkan dua vocal maka proses itu disebut diftongisasi. Proses terakhir ini boleh saja disebut pembelahan (split) tetapi harus diingat bahwa pembelahan ini terjadi pada sebah bentuk yang sama, atau pada kata yang sama.

2.3  Konsekuensi Bunyi Bagi Tata Bahasa
2.3.1 Tidak Ada Bentuk Bunyi Kembar
Verhaar (2012:68) berpendapat bahwa dasar bukti identitas fonem adalah apa yang dapat disebut “fungsi pembeda” sebagai sifat khas fonem. Di dalam bahasa Indonesia ada pasangan minimal rupa dan lupa memiliki perbedaan minimal yaitu perbedaan antara [r] dan [l]. maka dari itu, /r/ dan /l/, dalam bahasa Idonesia, merupakan fonem-fonem yang berbeda identitasnya. Kata rupa dan lupa dikatakan “beroposisi” atau “berkontras”.
Pendapat Verhaar mendukung pernyataan Saussure bahwa tidak ada bentuk bunyi kembar. Sebenarnya di mana pun tidak ada bentuk kembar fonetis. Evolusi fonetik hanya menekankan perbedaan yang telah ada sebelumnya.

2.3.2 Alternasi
Alternasi alofonemis bergantung dari lingkungan maka dapat diramalkan dari lingkungan pula. Hal ini dapat dirumuskan dengan: alternasi alofonemis adalah “teramalkan” dari lingkungan. Misalnya alofon Inggris [tî] terdapat hanya sebagai konsonan pertama sebelum vokal; dan alofon [t] terdapat hanya dalam bila /t/ itu tidak ada pada awal kata. Dengan kata lain, alternasi alofonemis tidak terjadi semena-mena saja melainkan menurut kaidah tertentu, yang berbeda dalam bahasa satu dengan bahasa lainnya. Misalnya, dalam bahasa Inggris mewujudkan fonem /t/ secara fonetis sebagai alofon [tî] sebelum vokal (tanpa adanya konsonan lain sebelum atau sesudah /t/ itu), tetapi tidak demikian halnya dengan /t/ + vocal dalam bahasa Belanda: alofon *[tî] dari fonem /t/ dalam bahasa Belanda tidak ditemukan.
  
2.4 Analogi
Menurut Muslich (2014:101), analogi dalam bahasa adalah suatu bentukan bahasa dengan meniru contoh yang sudah ada. Sementara menurut Keraf (1996:57), analogi merupakan suatu proses pembentukan kata mengikuti contoh-contoh yang sudah ada. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Sausurre bahwa bentuk analogis adalah suatu bentuk yang dibuat berdasarkan gambar atau satu atau sejumlah bentuk lain berdasarkan aturan tertentu.
Dalam kata dewa-dewi dan putra-putri terdapat perbedaan fonem, yaitu fonem /a/ dan /i/ pada akhir kata. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai fungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Karena bentukan-bentukan seperti itulah dalam bahasa Indonesia terdapat bentukan baru. Bentukan baru tersebut, misalnya saudara /a/ untuk menyatakan jenis kelamin laki-laki dan saudari /i/ untuk menyatakan jenis kelamin perempuan.  
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Saussure bahwa analogi bertolak dari persona tunggal aktif. Analogi bersama perubahan bunyi merupakan faktor besar di dalam evolusi langue, proses yang mengubah keadaan langue tersebut. Peristiwa analogis terdiri dari tiga unsur, yaitu pewaris sah dari keturunan, saingan, dan pelaku kolektif yang terbentuk dari bentuk-bentuk yang telah membentuk konkruen. Hal itu didukung dengan pendapat Keraf (1996:57) bahwa pembentukan baru berdasarkan analogi bisa terjadi juga dalam bahasa-bahasa kerabat, atau malahan juga dalam bahasa sendiri, baik pada morfem dasar maupun morfem terikat, sehingga tampaknya seolah-olah ada semacam kemiripan bentuk karena warisan. Kata berniaga, berjuang dalam bahasa Indonesia mengandung unsur prefiks ber- yang diperlakukan sebagai prefiks sesungguhnya seperti terdapat pada kata-kata: berjalan, bekerja, berdiri,  dan sebagainya. Padahal prefiks ber-  pada kata berniaga dan berjuang terjadi karena analogi, sehingga tidak dapat dipakai dalam contoh-contoh ntuk menunjukkan adanya korespodensi antar pelbagai bahasa kerabat. Analogi itu terjadi karena semua prefiks ba- dalam bahasa Minang kan berubah menjadi ber- dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Padahal kata baniago (Minang) berasal dari vanijjya Sanskerta yang merupakan kata dasar dan baujuang merupakan kata bentukan ba + ujuang.
2.4 Analogi dan Evolusi
Muslich (2014:101) berpendapat bahwa dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang, pembentukan kata-kata baru (analogi) sangat penting sebab bentukan kata baru dapat memperkaya perbendaharaan bahasa. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatatakan Saussure bahwa bahasa hanya mempertahankan sebagian kecil dari penciptaan wicara, namun unsur-unsur yang bertahan pun jumlahnya cukup banyak sehingga dari satu zaman ke zaman terlihat sejumlah bentuk baru pada kosa kata dan tata bahasa.
Perbedaan fonem pada kata dewa-dewi dan putra-putri  yang menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan menghasilkan bentukan-bentukan baru, seperti saudara dan saudari. Saudara digunakan untuk menunjukkan jenis kelamin laki-laki sedangkan saudari untuk menunjukkan jenis kelamin perempuan.
Seperti yang dikatakan oleh Saussure bahwa langue tidak berhenti menafsirkan dan memilah satuan-satuan yang diberikan padanya. Tetapi penafsiran tersebut berubah dari generasi satu ke generasi lainnya. Adapun salah satu faktor penyebabnya adalah perubahan bunyi.



























BAB III
KONDISI DI INDONESIA
3.1 Hal-hal Umum
Pada zaman dahulu, bahasa Indonesia belum mengenal fonem /f/, /kh/, dan /sy/, karena ketiga fonem tersebut dianggap sama dengan fonem /p/, /k/, dan /s/. Sehingga kata:
Fikir                 à        sama dengan               à        pikir
Khabar            à        sama dengan               à        kabar
Masyarakat      à        sama dengan               à        masarakat
Kata “batu” berasal dari kata “watu” yang berasal dari bahasa Jawa. Kata “pena” dulu berarti “bulu angsa”, sekarang berarti alat tulis bertinta.
Contoh lain perubahan pemakaian huruf ejaan  bahasa Indonesia
Ejaan
Van Ophuijsen
(1901—1947)
Ejaan Republik
(Ejaan Soewandi)
(1947—1972)
Pembaharuan Ejaan
Ejaan Melindo
EYD
(mulai 16 Agustus 1972)
Choesoes
Djoem’at
Jan’ni
Pajoeng
Tjoetjoe
Soenji
Chusus
Djum’at
Jakni
Pajung
Tjutju
Sunji
jumat
yakni





cucu
Khusus
Jumat
Yakni
Payung
Cucu
Sunyi

3.2 Perubahan-perubahan Bunyi
 Berikut beberapa kondisi di Indonesia yang menunjukkan perubahan-perubahan bunyi.
1)   Contoh perubahan linear, yaitu fonem-fonem Austronesia Purba dalam  kata */ikan/  bahasa Melayu sekarang tetap  /ikan/.
*/rakit/ bahasa Melayu sekarang tetap /rakit/.
2)   Contoh pewarisan dengan perubahan, yaitu Austronesia Purba */i/ dalam kata */ikur/ berubah menjadi fonem /e/ à dalam bahasa Melayu menjadi /ekor/.
*// berubah menjadi /a/ à dalam bahasa Melayu menjadi /nam/.
3)   Contoh perwarisan dengan penghilangan, yaitu dalam bahasa Austronesia Purba ada kata */hubi/ ‘ubi’ dalam bahasa Melayu menjadi kata /ubi/.
Kata /turut/ dalam bahasa Jawa Kuno menjadi /tut/ dalam bahasa Jawa sekarang yang memperlihatkan hilangnya fonem /r/.
Ucapan selamat pagi à pagi. Salam selamat pagi hanya diucapkan pagi. Dalam hal tersebut terdapat penghilangan kata selamat.
4) Contoh pewarisan dengan penambahan, yaitu dalam bahasa Austronesia Purba */pat/  ‘empat’ menjadi /mpat/ dalam bahasa Melayu.
*/tubuh/ Austronesia Purba menjadi /tumbuh/ dalam bahasa Melayu.
5) Contoh perpaduan atau merger, yaitu */hatai/ dalam bahasa Austronesia Purba menjadi /hati/ dalam bahasa Melayu.
Berikut contoh macam-macam perubahan bunyi sesuai kondisi yang ada di Indonesia.
1)   Asimilasi
alsalam  à  assalam  à  asalam
inmoral à  immoral à  immoral
2)   Disimilasi
vanantara (Sanskerta)           à        belantara
citta (Sanskerta)                    à        cipta
sajjana (Sanskerta)                à        sarjana
rapport  (Belanda)                à        lapor
lalita (Sanskerta)                   à        jelita
lauk-lauk (Melayu)                à        lauk pauk
3)   Protesis
lang          à        elang
mas          à        emas
stri            à        istri
smara       à        asmara
4)   Epentesis
general          à        jenderal
gopala           à        gembala
racana           à        rencana
upama           à        umpama
kapak             à        kampak
5)   Paragog
lamp              à        lampu
hulubala        à        hulubalang
ina                 à        inang
adi                 à        adik
boek (Belanda) à     buku
6)   Aferesia
upawasa   à       puasa
tatapi        à        tetapi   à       tapi
7)   Sinkop
sahaya          à    saya
kelamarin     à    kemarin
8)   Apokop
possesiva      à    posesif
import           à    impor
9)   Metatesis
Almari          à    lemari
Beting           à    tebing
Kelikir           à    kerikil
10)    Diftongisasi
sodara      à        saudara
suro          à        surau
pulo          à        puau
pete           à        petai
gule          à        gulai
11)    Monoftongisasi
gurau          à        guro
bakau          à        bako
sungai         à        sunge
danau          à        dano

3. 3 Analogi
Kita sering mendengar ataupun membaca kata-kata seperti dewa-dewi, putra-putri. Kedua bentuk kata itu terdapat perbedaan fonem, yaitu fonem /a/ dan /i/ pada akhir kata. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai fungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Karena bentukan-bentukan seperti itulah, dalam bahasa Indonesia terdapat bentukan baru, misalnya berikut ini.
Menyatakan Laki-laki
Menyatakan Perempuan
Saudara                           /a/
Pemuda                           /a/
Siswa                               /a/
Mahasiswa                      /a/
Saudari                                      /i/
Pemudi                                      /i/
Siswi                                         /i/
Mahasiswi                                 /i/

Selain bentuk baru seperti di atas, ada pula deretan kata yang sudah lama kita jumpai, misalnya: sastrawan, hartawan, wartawan, rupawan, dan bangsawan. Dari bentuk itu, timbul pula bentukan-bentukan seperti olahragawan, negarawan, sosiawan, dan karyawan, karyawati, seniman, dan seniwati. Fonem /a/ dan /i/ pada bentukan kata tersebut tidak ubahnya berfungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin.
Di samping bentukan-bentukan baru yang menyatakan perbedaan jenis kelamin, terdapat pula bentuk yang dibentuk dari kata-kata asli, misalnya, bentuk-bentuk seperti sosialisme, sosialis, dan hedonisme. Analogi dengan itu, terbentuklah kata-kata seperti marhainisme, marhainis, pancasilais.
Kata berniaga, berjuang dalam bahasa Indonesia mengandung unsur prefiks ber- yang diperlakukan sebagai prefiks sesungguhnya seperti terdapat pada kata-kata: berjalan, bekerja, berdiri,  dan sebagainya. Padahal prefiks ber-  pada kata berniaga dan berjuang terjadi karena analogi, sehingga tidak dapat dipakai dalam contoh-contoh ntuk menunjukkan adanya korespodensi antar pelbagai bahasa kerabat. Analogi itu terjadi karena semua prefiks ba- dalam bahasa Minang kan berubah menjadi ber- dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Padahal kata baniago (Minang) berasal dari vanijjya Sanskerta yang merupakan kata dasar dan baujuang merupakan kata bentukan ba + ujuang.


BAB IV
SIMPULAN

            Berdasarkan pokok-pokok pikiran tentang linguistik diakronis yang dikemukan Ferdinand de Saussure dengan beberapa deskripsi linguistik diakronis yang relevan serta dilengkapi contoh kondisi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa subdisipin ilmu  lingustik diakronis masih dijadikan pedoman dan digunakan dalam pengkajian atau penelitian perkembangan suatu bahasa atau evolusi bahasa (historis) seiring berlalunya waktu (masa).
            Perubahan-perubahan bunyi yang menunjukkan adanya perkembangan suatu bahasa dalam linguistik diakronis seperti yang telah dijelaskan oleh Saussure juga terjadi dalam bahasa Indonesia. Contohnya saja, perubahan bunyi dengan penghilangan terjadi pada ucapan selamat pagi yang terbiasa diucapkan dengan pagi. Munculnya bentuk-bentuk baru dari bentuk-bentuk lama yang disebut dengan analogi juga terdapat dalam bahasa Indonesia. Misalnya, munculnya kata putri yang berasal dari bentuk lama, yaitu kata putra. Perubahan pemakaian huruf ejaan  dalam bahasa Indonesia dari ejaan Van Ophuijsen sampai ejaan yang disempurnakan yang termuat dalam Permen No. 46 tahun 2009 merupakan contoh linguistik diakronis dalam bahasa Indonesia.
Beberapa contoh kondisi atau fenomena di Indonesia mengenai perubahan sistem bahasa dalam bentuk yang lain dengan sistem bahasa sebelumnya atau perubahasan dari masa ke masa, masih terjadi di Indonesia. Itu menandakan bahwa lingistik diakronis masih tampak dan terjadi di Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Finoza, Laminudin. 2010. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Muslich, Masnur. 2014. Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kajian Ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
Saussure, Ferdinand de. 1996. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
                . 2011. Course in General Linguistics. New York: Columbia University Press.
Verhaar, J.W.M. 2012. Asas-asas Linguistik Umum.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar