Minggu, 12 November 2017

MAKNA (Maning)



MAKNA
Oleh
Jose Da Conceicao Verdial

1.      Pengantar
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap perkataan yang diucapkan. Makna-makna tersebut dikaji oleh linguistik pada tetaran semantik.
Para ilmuan menganggap bahwa makna adalah bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Kalau hal tersebut tetap dipakai tentu harus diingat bahwa status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis tidak sama, misalnya berbicara mengenai kalimat; satuan kalimat disusun oleh klausa; satuan klausa dibagun oleh frase; satuan frase dibentuk oleh kata; dan seterusnya. Konstruksi-konstruksi tersebut akan menyiratkan pertanyaan tentang letak semantik. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa semantik mengaji tentang makna, dan makna-makna tersebut berada baik di dalam tataran sintaksis, morfologi, bahkan fonologi. Oleh karena itu, semantik berbeda dengan kajian-kajian bahasa yang lain.
Pada kajian semantik, terdapat berbagai aspek makna yang dapat dianalisis, seperti permasalahan tentang makna, ragam makna, relasi makna, perubahan makna dan penamaan. Permasalahan tersebut akan muncul ketika seseorang mulai untuk mempelajarinya lebih dalam. Dalam hal objek yang dibahas adalah tentang ragam makna yang jenis-jenisnya begitu banyak. Satu di antaranya adalah jenis yang muncul karena makna yang hadir dalam tatabahasa (morfologi dan sintaksis) dan leksikon sehingga muncullah jenis semantik gramatikal dan leksikal. Selain jenis makna, terdapat pula aliran-aliran linguistik muncul. Dua aliran itu bisa juga disebut sebagai pendekatan analitis atau referensial yang mencari makna dasar dengan cara membagi makna menjadi bagian-bagian penting, dan pendekatan operasional atau kontekstual yang mempelajari kata dalam penggunaannya.
Dari pemaparan di muka, maka dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut konsep makna, definisi makna baik yang bersifat analitis maupun makna kontekstual, pengukuran makna, dan nama diri. Tujuannya agar kita lebih memahami perbedaan dari konsep makna-makna tersebut.



2.      Kerangka Teori



 
















3.      Pembahasan
3.1         Konsep tentang Makna
Semantik merupakan salah satu bidang semantik yang mempelajari tentang makna. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifiesignified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Dalam penggunaannya dalam penuturan yang nyata makna kata atau leksem seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Contohya : Dasar buaya ibunya sendiri ditipunya. Oeh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Satu hal lagi yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa itu bersifat arbiter, maka hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
Para ahli membedakan makna baik ditinjau secara struktural dan fungsinya. Makna secara struktural yakni makna leksikal yakni makna kata yang dapat berdiri sendiri dan dapat kita lihat dalam kamus; dan makna gramatikal yakni makna yang muncul sebagai akibat digabungkannya sebuah kata dalam suatu kalimat. Sedangkan menurut fungsinya makna dibedakan menjadi makna denotatif yakni makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau makna yang sebenarnya; dan makna konotatif yakni makna tambahan terdahap makna dasarnya atau makna yang tidak sebenarnya.
Menurut Ullmann (1972: 55):
“There are, broadly speaking, two schools of thought in present-day linguistics: the ‘analytical’ or ‘referential’ approach, which seeks to grasp the essence of meaning by resolving it into its main components, and the ‘operational’ approach,which studies words in action and is less interested in what meaning is than in how it works.”
Yang artinya: Ada dua aliran linguistik pada masa kini, yaitu pendekatan analitis atau referensial yang mencari esensi makna dengan cara memecah-mecahkan makna menjadi komponen-komponen utama, dan pendekatan operasional yang mempelajari kata dalam operasi atau penggunaannya, yang kurang memerhatikan persoalan apakah makna itu, tetapi lebih tertarik pada persoalan bagaimana kata itu “bekerja”.
Kedua pendekatan atau aliran tersebut akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.

3.1.1        Definisi Makna yang Bersifat Analitis (Referensial)
Model analitis tentang makna yang sangat terkenal adalah model segitiga dasar ‘basic triangle’ yang dikemukakan oleh Ogden dan Richards.


 









Unsur esensial dalam diagram ini adalah bahwa ia membedakan tiga komponen makna. Symbol atau ‘lambang’ adalah unsur linguistik berupa kata (kalimat, dan sebagainya); referent adalah acuan atau objek yang ditunjuk (peristiwa, fakta di dalam dunia pengalaman manusia); dan reference yakni apa yang ada pada pikiran kita tentang objek yang diwujudkan melalui lambang (symbol). Berdasarkan teori segitiga tersebut, hubungan symbol dan referent (acuan) memiliki hubungan tidak langsung. Dalam analisis makna ini sebenarnya secara mendasar tidak ada sesuatu yang baru, sebab orang-orang zaman pertengahan sudah mengenal kalimat Latin Vox significant mediantibus conceptibus ‘kata itu mempunyai makna melewati media konsep’.
Bila kita mengatakan [r u m a h], terbayang pada otak kita rumah dengan berbagai ukuran dan jenis (tipe). Desakan untuk mengatakan bahwa bayangan itu adalah ‘rumah’ sudah tersedia di dalam otak. Desakan jiwa untuk menyebut ‘rumah’ bekerjasama dengan pusat syaraf di dalam otak, di dalam otak kita sendiri telah bersemayam konsep ‘rumah’, dan kita membutuhkan realisasinya, dan makan konsep ‘rumah’ siap untuk diujarkan. Bagaimana proses konsep rumah siap untuk diujarkan itu sulit dijelaskan, dan untuk hal itu Palmer (dalam Djajasudarma, 2012:40) menyebutkan ‘ghost in the machine’ (sesuatu yang aneh tetapi otomatis). Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengatakan berapa ribu kata yang tersimpan di otak, yang secara otomatis dapat keluar sewaktu diperlukan.
Menurut Chaer (2007:291) Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada refensinya atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. sebaliknya, kata-kata seperti dan, atau, dan karena termasuk kata-kata yang tidak bermakna nonreferensial karena kata-kata itu tidak mempunyai referensi.
Di balik itu, akhir-akhir ini teori ini juga tidak luput dari tekanan berat dari berbagai arah, dan pembicaraan mendalam telah dikemukakan dalam hal tujuan dan metode linguistik, Semua kritik itu dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berikut (Ullmann, 1972:58—61):
(1)        Ada ketakutan bahwa dengan menyingkirkan referen, yaitu unsur atau peristiwa nonkebahasaan yang diacu oleh nama, ilmu semantik akan menjadi mangsa formalisme kaku dan ekstrem. Pandangan sekilas akan menunjukkan bahwa keberatan itu tidak benar. Memang benar bahwa definisi makna tadi menyingkirkan referen (dari segi tiga di atas), tapi semua unsur yang secara kebahasaan relevan (yang semula ada pada referen) sudah tertampung ke dalam “makna” (titik atas dalam segi tiga) karena unsur-unsur itu merupakan bagian dari “makna” itu. Dengan menyingkirkan referen itu kita sebenarnya hanya memisahkan makna yang secara kebahasaan relevan dari apa yang tidak relevan.
(2)        Keberatan kedua jauh lebih serius dari yang pertama dan sukar dihadapi. Keberatan ini erat sekali dihubungkan dengan issu yang bersifat filosofis dalam linguistik masa kini, yaitu pertentangan antara kaum mentalis dan mekanis. Kaum mekanis/ strukturalis Amerika (yang sama dengan kaum mekanis, dan anti kaum mentalis) khususnya segan menggunakan istilah-istilah kabur dan menghindari maujud mental yang tak bisa dikaitkan dengan analisis ilmiah, dan yang hanya dapat diamati oleh etode introspeksi yang selalu tidak dapat dipercaya. Mereka tidak ingin mengasumsikan bahwa “sebelum ujaran suatu bentuk bahasa, pada diri penutur terjadi proses nonfisik, seperti pikiran, konsep, citra, perasaan, keinginan, dan sebagainya, dan bahwa pendengar setelah menerima gelombang bunyi dari penutur, juga mengalami proses mental yang serupa penutur” (Bloomfield, Language, 142). Untuk menghindarkan bayangan factor-faktor psikologis ini maka kaum antimentalis ini lebih suka menghapus titik puncak pada segi tiga tadi, dan membiarkan hubungan langsung antara nama dengan benda (sehingga tidak berbentuk segi tiga lagi, melainkan garis lurus). Itulah sebabnya, Bloomfield mengemukakan definisi yang terkenal tentang makna sebuah bentuk bahasa sebagai “situasi pendengar” (h. 139). Definisi ini terutama menunjuk kepada makna keseluruhan ujaran, tetapi makna kata secara individual juga diperoleh dengan cara yang sama. Dalam tiap kesempatan Bloomfield selalu mengemukakan dengan cara itu. Contoh yang banyak dikemukakan adalah ini: seseorang pengunjung dari planet lain akan segera melihat bahwa ujaran manusia di bumi ini dihubungkan dengan situasi tertentu dan diikuti oleh respons-respons tertentu, dan dia akan “belajar menenal bagian-bagian ujaran yang diucapkan berulang-ulangg, dan melihat bahwa kata-kata seperti menutup, pintu, apel, dan sebagainya, terjadi dalam tutur yang dihubungkan dengan tindakan menutup sesuatu dan dengan objek-objek jenis tertentu”.
(3)        Kritik lain yang diarahkan terhadap teori referensial ini ialah bahwa teori ini dibayangi oleh teori metafisika kuna tentang tubuh dan jiwa. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut: Karena, dalam diri manulis, jiwa atau nyawa itu harusnya menemani tubuh dan tingkah lakunya, maka dalam tanda kebahasaan, sebuah makna diharapkan menemani (menyertai) bentuk dalam berbagai tuturan. Tanda kebahasaan itu diharapkan muncul dalam suatu korespondensi, sejenis paralelisme yang bersifat psiko-fisik, antara sebuah bentuk dan sebuah makna”. Harus diingat bahwa kritik ini tidak terbatas pada definisi makna yang bersifat mentalistik, melainkan juga pada semua teori referensial, bahkan termasuk usaha untuk mendefinisikan makna berdasarkan distribusinya.
Tampaknya kritik semacam itu muncul dari kesalahpahaman akan segala metafora yang satu abad lalu sudah dicela oleh Saussure sebagai sesuatu yang tidak memuaskan. Dualism bunyi dan makna, yang memang terimplisit dalam sebuah teori referensial, sebenarnya tak ada urusannya dengan (dualism) metafisika antara tubuh dan jiwa. Dualism bunyi dan makna memang benar-benar merupakan jenis dualism yang berbeda dengan dualism tubuh dan jiwa yaitu bahwa ia melekat pada tiap tanda, tanda kebahasaan atau tanda yang lain. Semua tanda sesuai dengan namanya, memang menunjuk sesuatu, mengacu sesuatu di luar dirinya sendiri. Ini cocok untuk tanda apa saja, mulai dari yang paling sederhana sampai yang kompleks, mulai dari lampu lalu lintas sampai pada lambang-lambang dalam puisi, dan tanpa kecuali kata juga mengikuti aturan ini. Menolak dualism pada kata seperti itu akan berarti menolak kata itu sebagai tanda, dan langkah penolakan ini tentu dihindari oleh sebagian besar linguis.
Jika memang dikehendaki suatu analogi untuk menggambarkan hubungan antara bunyi dengan makna, oraang, dengan Saussure, dapat membandingkan kata dengan selembar kertas yang kedua permukaannya merupakan dua wajah dari suatu keseluruhan yang tidak bisa dipisahkan, sehingga kita tidak bisa menggunting permukaan yang satu tanpa mengenai permukaan yang lain. Tetapi barangkali aman jika kita mau menghindarkan diri dari metafora atau penyamaan-penyamaan lain jika masalahnya menyangkut konsep yang bersifat fundamental. Lebih baik kita mengemukakan bahwa kata itu empunyai struktur ganda (dual structure) hanya karena dia dalah tanda (sign). Apakah orang menafsirkan struktur ganda ini dari sudut mentalistik atau yang lain, hal itu di luar konteks masalah.
M (makna/reference)





S (symbol)
 
Ullmann juga salah satu yang kurang setuju terhadap teori segitiga tersebut. Ullmannn menyatakan bahwa: a) Segitiga tersebut terlalu besar karena pada segitiga ini dimasukkan acuan, padahal komponen tersebut berada di luar bahasa (luar kekuasaan ahli bahasa); dan b) Sulit mencari hubungan symbol (lambang, kata); reference (konsep); referent (acuan). Sehubungan dengan kritik tersebut, Ullmann menyarankan agar hubungan timbal-balik antara symbol (bunyi) dengan reference (konsep) disebut ‘makna’. Untuk memahami hal ini yakni harus meninggalkan segitiga semiotik, dan dapat digambar dengan garis lurus, sebagai berikut.



 



Tanda panah tersebut menunjukkan bahwa hubungan itu bersifat resiprok atau timbal balik. Namun seperti yang telah diketahui bahwa tidak semua kata mempunyai hubungan tunggal seperti diagram di atas, ada beberapa S (symbol) yang memiliki kesamaan makna, dan Ullmann menggambarkannya sebagai berikut:
M





S1                       S2                   S3
 
                                                                   
Contoh :
kata ‘cantik’ dan ‘elok’ memiliki kesamaan makna


M1                   M2               M3




           
                         S                    
 
Sebaliknya, ada juga S (symbol) yang mengandung banyak makna yang dapat digambarkan sebagai berikut.
                                                                   
Contoh :
Kata ‘kepala’ bisa bermakna ‘bagian atas tubuh’ dan ‘pemimpin’.

Ada juga beberapa S (symbol/ kata) yang mempunyai kesamaan dalam hal bunyi, makna, maupun bunyi dan makna. yang dapat digambarkan sebagai berikut.
‘Ada racunnya’       ‘racun’                     ‘racun’                     ‘dapat’
M1    M2 M3                     M4




S1     S2                     S3     S4
Beracun              racun               bisa                  bisa
 
                                                                                         Contoh :
Kata ‘bisa’ dapat bermakna ‘racun’ dan ‘dapat’

                                                                                                              
Diagram itu menunjukkan bahwa dua kata pertama (beracun dan racun) dihubungkan oleh bunyi (sama-sama mengandung bentuk racun) dan makna (‘ada racun’; ‘ada bisanya’ dan ‘racun’; ‘bisa’) ; kata ketiga dan keempat S3 (‘bisa’) dan S4  (‘bisa’) dihubungkan oleh bunyi saja. Jika orang berpikir bahwa ketiga asosiasi ini dapat memancar ke berbagai arah dari suatu kata, dan bahwa pola itu mungkin dirumitkan oleh banyak makna, maka kita bisa membayangkan kerumitan hubungan makna yang tak menentu (infinit).

3.1.2        Definisi Makna yang Bersifat Operasional (Kontekstual)
Menurut Ullmann (1972: 64—67) Pada tahun-tahun terakhir ini suatu konsepsi baru tentang makna, yang sama sekali berbeda dengan konsepsi lama muncul baik di dalam maupun di luar linguistik. Rumusan yang paling menonjol dan provokatif mengenai konsep ini dapat kita jumpai pada karya L. Wittgenstein, Philosophical Investigation, 1953, yang terbit setelah meninggalnya. Tetapi seperempat abad sebelum itu P.W. Bridgman, dalam The Logic of Modern Physics,  telah enekankan sifat yang murni operasional tentang konsep ilmiah seperti panjang (length), waktu (time), atau energy (energy). Bridgman mengatakan, “yang kami maksud dengan suatu konsep tidak lebih dari serangkaian operasi; konsep ini sama dengan serangkaian operasi yang saling berhubungan. Pendekatan ini, yang terkenal dengan nama operasionalisme, diperluas dari konsep ilmiah ke kata-kata pada umumnya, dan bermuara pada rumusan yang terkenal: “Makna sebenarnya dari sebuah kata harus ditemukan dengan mengamati apa yang dikatakannya tentang kata itu”. Wittgenstein maju selangkah lagi: “Dalam sebagian besar kasus, meskipun tidak seluruhnya, dalam hal kita berkutat tentang “makna” kata, dapatlah ditentukan demikian: makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa”. Gagasan semacam ini muncul kembali dalam berbagai bentuk dalam bukunya, walaupun kadang-kadang tampaknya Wittgenstein enggan mengatakannya; sepertinya dia merasa ada sesuatu yang berlebih di dalam makna sebuah kata ketimbang penggunaannya, tetapi sesuati itu sulit kita raba dan tidak ada gunanya untuk membahasanya.
Wittgenstein menggunakan beberapa beberapa analogi untuk menunjukkan implikasi-implikasi rumusannya. Ia mengatakan, “Bahasa adalah sebuah instrument. Konsep-konsepnya juga instrument”. Di mana-man ia mengemukakan tentang kesamaan anntara kata dengan alat. “Bayangkan alat-alat dalam kotak peralatan: ada martil, gergji, drai, penggaris, bor, dan sebagainya—fungsi-fungsi kata itu beraneka ragam seperti fungsi-fungsi kata itu beraneka ragam seperti fungsi-fungsi benda-benda ini”. Seperti Saussure, tetapi jelas dia berdiri sendiri, ia membandingkan bahasa seperti permainan catur: “Pertanyaan ‘Apakah kata itu sebenarnya?’ sama dengan pertanyaan ‘Apa biduk itu dalam catur?’”; dan lagi: “Kitadapat mengatakan bahwa makna sebuah bidak adalah peranannya dalam catur itu”. Dia juga berbicara tentang “medan kekuatan sebuah kata”, dan “semua tentang tetk bengek yang diakibatkan oleh kata”. Semua perbandingan ini menunjukkan eratnya hubungan antara cara berpikirnya dengan teori linguistik kontemporer. Karena ini tidaklah mengherankan jika dia menggunakan prosedur yang dalam linguistik modern terkenal dengan anama tes substitusi atau penyulihan (substitution test). Berbicara tentang verba is dalam kalimat bahasa Inggris The rose is red (Mawar itu merah.) dan dalam Twice two is four (Dua kali dua empat), dia menulis begini “Kaidah yang menunjukkan bahwa kata is mempunyai dua makna yang berbeda dalam kedua kalimat itu adalah bahwa makna yang satu mengijinkan kita untuk menyulih (mengganti) kata is pada kalimat kedua tadi dengan tanda sama dengan (menjadi Twice two = four), sedangkan substitusi seperti itu tidak bisa kita lakukan pada kalimat pertama” (tidak mungkin: The rose=red). Inilah metode yang dipakai oleh para linguis untuk mengidentifikasikan fonem dan unsur-unsur distingtif yang lain: dengan mengganti-gantikan fonem kita memperoleh kata-kata yang berbeda-beda (“Seorang pria muda masuk kamar”—“Seorang pria tua masuk kamar”—“Seorang wanita muda masuk kamar”—“Seorang laki-laki tua masuk kamar”). Jauh sebelumnya, 1935, Prof. J..R.Firth telah mendefinisikan kata sebagai “pasangan substitusi yang bersifat leksikal” dan ini cocok dengan filsafat bahasanya Wittgenstein.
Gagasan Wittgenstein ini mempunyai beberapa konsekuensi dalam linguistik, dan memperkuat masalah yang dihadapi oleh para linguis, yang sebelum dia, sudah menentukan makna atas dasar pikiran yang sama. Rumusan Wittgenstein ini menarik, bukan saja karena ‘bersihnya’ atau sederhananya, dank arena itu sejalan dengan kecenderungan linguistik masa kini, tetapi juga karena rumusan itu memberikan beberapa keuntungan. Secara negatif bisa kita katakana, rumusan itu menghindarkan berulangnya keadaan atau proses mental yang kabur, tidak pasti dan subjektif. Secara positif bisa kita katakana, rumusan itu mempunyai jasa yang dapat menentukan makna secara kontekstual, yaitu dalam arti empiris murni. Persoalan yang muncul adalah: bagaimana definisi operasional itu dibndingkan dengan definisi referensial dalam kedudukannya sebagai (a) suatu alat penelitian, dan sebagai (b) suatu hipotesis kerja dalam teori semantik.
a)      Apakah pentingnya definisi operasional dalam kajian tentang kata-kat tertentu, misalnya pada leksikografi? Jawabanya akan bergantung kepada bagaimana definisi itu ditafsirkan. Jika definisi itu dimaksudkan agar kita harus mengungkung diri untuk mengumpulkan dan menganalisis semua konteks tempat katatersebut berada, maka tugas kita menjadi tidak bermanfaat dan tidak pernah konklusif. Telah disarankan bahwa “penyulihan untuk kucing, di dalam satuan-satuan yang lebih komprehensif seperti ‘—itu menangkap tikus;, ‘Saya membeli ikan asin untuk—saya, dst., menunjukkan maknanya; kekhususan kehadirannya dalam konteks-konteks tadi merupakan makna kebahasaan dari kata kucing.’ Tentu saja konteks-konteks semacam itu dapat ditambah dalam jumlah tak terbatas, dan bisa saja konteks yang paling banyak ditemukan justru mempunyai nilai informative yangrendah, seperti “Saya melihat--.”,”—saya merah”. Apa sih nilai metode semacam itu?
Sebaliknya, jika si leksikograf mencoba, dan memang seharusnya begitu, untuk mengidentifikasi penggunaan-penggunaan khas dari sebuah kata dengan cara menyaring unsur atau unsur-unsur umum dari seleksi konteks yang representative, maka dia akan segera kembali ke teori referensial tentang makna. Terminologynya memang berbeda, tetapi dualism dasarnya akan muncul kembali, dengan “penggunaan” memainkan peran yang sama dengan “pengertian”, “acuan” atau istilah lain yang menunjukkan teori referensial yang lebih kentara.

b)      Tiap definisi makna haruslah dipandang tidak lebih sebagai hipotesis kerja. Nilainya akan bergantung kepada bagaimana definisi itu bekerja: definisi itu dapat tunduk kepada deskripsi, interpretasi, dan klasifikasi terhadap gejala makna. Dari sudut pandang ini akan terlalu dini untuk memilih salah satu dari dua jenis definisi tadi. Tetapi, semua karya besar tentang teori semantik begitu jauh sudah didasarkan kepada konsep-konsep referensial tentang makna; doktrin operasional seperti belum mempunyai peluang untuk membuktikan kemanfaatannya, meskipun harus diakui betapa sulitnya melihat bagaimana suatu survey yang komprehensif dan teratur tentang medan semantik dapat dirancang berdasarkan konsep referensial itu. Tampak, misalnya, bahwa aspek-aspek penting tertentu dari masalah ini tidak bakalan dapat tempat dala teori operasional sepenuhnya. Di mana kamus-kamus konseptual, “medan akna”, kajian-kajian dan peta onomasiologi bisa pas “masuk” ke dalam kerangka kerja semacam itu? Untuk mengadopsi doktrin yang akan mengeksklusifkan hal-hal vital semacam itu akan melibatkan pembatasan-pembatasan yang perlu dipersiapkan oleh beberapa pakar semantik untuk menerimanya.
Semua ini tidak berarti bahwa definisi operasional itu harus dibuang. Ia harus dianggap bukan sebagai alternatif lain dari teori referensial, melainkan sebagai suatu pelengkap yang penting. Paparan ini mengandung peringatan, yang pasti akan diperhatikan oleh para linguis dan leksikograf, bahwa makna suatu kata hanya bisa dicapai dengan mempelajari penggunaannya. Tidak ada jalan pintas menuju makna itu melalui introspeksi atau melalui metode lain. si peneliti harus memulai dengan mengumpulkan sampel yang memadai berupa konteks-konteks dan kemudian mendekatinya dengan jiwa terbuka, mengikuti makna (-makna) yang muncul dari konteks-konteks itu sendiri. Sekali fase ini dilampaui, si peneliti dapat dengan aman memasuki fase “referensial” dan mulai merumuskan makna (-makna) yang diidentifikasi tadi. Hubungan antara kedua metode itu, atau lebih dapat dikatakan hubungan antara dua fase pendekatan itu, hakikatnya sama dengan makna hubungan antara bahasa dengan tutur: teori operasional mengkaji makna dalam tutur, sedangkan teori referensial mengkaji makna dalam bahasa. Tidak ada perlunya sama sekali mempertentangkan kedua pendekatan itu; masing-masing pendekatan menangani tugasnya sendiri, dan yang satu tidak sempurna kalau tidak ada yang lain.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata kepala pada contoh berikut,
a)      Rambut di kepala nenek sudah ada yang putih.
b)      Sebagai kepala sekolah, dia harus menegur murid itu.
c)      Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
d)     Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Kepala yang pertama (a) menunjukkan bagian atas tubuh. Sedangkan kepala yang kedua (b) menunjukkan pemimpin sekolah. Kepala yang ketiga (c) berati menunjukkan bagian atas surat, dan kepala yang keempat (d) menunjukkan arti bagian atas suatu benda. Kata kepala dalam kalimat di atas menunjukkan bahwa kata tersebut memiliki banyak makna bergantung situasi (tempat, waktu, dan lingkunagan penggunaan bahasa itu) (Chaer, 2007:290).

3.2         Dapatkah Makna Diukur?
Baru-baru ini teori referensial tentang makna dibuktikan oleh suatu percobaan menarik yang tak mungkin pas atau cocok untuk suatu teori kontekstual sebab ia sama sekali meninggalkan konteks. Beberapa tahun lalu sekelompok peneliti Amerika yang menamakan dirinya psikolinguis bekerja atas dasar suatu metode untuk mengukur makna. Serangkaian makalah mengenai masalah itu diikuti oleh publikasi pada 1957 sebuah buku besar berjudul The Measurement of Meaning ­(Pengukuran Makna) oleh C.E.Osgood, G.J.Suci, dan P.H.Tannenbaum. meskipun prosedurnya menggunakan perhitungan matematika yang rumit, termasuk penggunaan komputer, prinsip dasarnya sangat sederhana. Titik awalnya adalah serangkaian tes yang diselenggarakan atas dasar alat yang disebut “pembedaan makna” (semantic differential). Alat ini berupa sejumlah skala, masing-masing terdiri atas tujuh bagian yang kedua ujungnya berisi dua buah adjektiva yang saling bertentangan: kasar—halus, kuat—lemah, dan sebagainya. Berbagai subjek (responden) diminta untuk menempatkan suatu “konsep” tertentu pada bagian-bagian skala itu yang kira-kira paling cocok untuk si subjek. Contoh yang diberikan oleh penulisnya sendiri ialah makna kata ayah:
AYAH
Bahagia    ---- : ---- : -x-- : ---- : ---- : ---- : ----      sedih
Keras        ---- : --x- : ---- : ---- : ---- : ---- : ----      lembut
Lamban    ---- : ---- : ---- : ---- : -x-- : ---- : ----      cekatan

Makna ketujuh bagian dalam skala itu dari kiri ke kanan, dengan mengambil contoh skala teratas: sangat bahagia, cukup bahagia, sedikit bahagia, tak bahagia dan tak sedih, atau sama sedih dan bahagianya; agak sedih; cukup sedih; sedih sekali. Dengan memerhatikan tanda X pada skala di atas, kita lihat bahwa ayah (father) dilukiskan sebagai orang yang “sedikit bahagia”, “cukup keras”, dan “sedikit cekatan”. Konsep-konsep (misalnya tentang ayah tadi) dan skala adjektiva itu sudah disampelkan secara cermat. Tidak semua konsep adalah nomina; ada juga nama pribadi (misalnya nama-nama politisi terkenal), gabungan protomina dan pronominal (my self, my father, dsb), dan konsep majemuk seperti seni abstrak, Cina komunis. Skala adjektival ini dikenakan kepada apa yang terkenal dengan nama analisi faktor (factor analysis) dan ini berarti bahwa skala-skala itu terbagi ke dalam tiga kelompok, sesuai dengan mana di antara faktor-faktor berikut yang dominan: evaluasi (baik-buruk), potensi (keras-lembut), aktivitas (aktif-pasif). Beberapa faktor lain juga diidentifikasi, tetapi bisa dianggap sebagai kurang penting. Cara ini mempunyai keuntungan, yaitu kita bisa sampai kepada suatu “ruang makna” tiga—dimensional dalam mana tiap konsep dapat ditandai tempatnya dengan melihat berbagai jawaban atas dasar perhitungan statistik.
Pada saat publikasinya, The Measurement of Meaning dibawa ke kongres linguis di Oslo. Sejak itu, berbagai segi metode itu dikritik, misalnya tentang: teori kebahasaan yang dipakai sebagai dasar, cara pelaksanaan sampling, penganalisisan faktor, ketidaktepatan beberapa skala dan segi-segi lain. kritik yang paling serius adalah yang mengenai judul buku itu. Betulkah apa yang diukur oleh Osgood dan kawan-kawan itu “makna”? Keberatan ini  ditanggapi oleh pengarangnya: “Jelas bahwa yang kami sajikan bukan suatu indeks tentang apa yang diacu oleh tanda (what sign refer to), dan jika acuan (reference) atau designasi (designation) merupakan hal yang harus ada pada makna, sebagaimana yang ingiin dinyatakan oleh para pembaca, maka pembaca akan menyimpulkan bahwa buku ini sama sekali salah judul”. Haruslah benar-benar dimaklumi oleh pengamat yang kurang cermat bahwa apa yang diukur oleh pembedaan makan bukanlah “makna” dalam arti sebagaimana diterima oleh banyak orang. Tetapi jelas pula bahwa apa yang diukur adalah suatu komponen penting dari makan: itu menjadi sangat mirip dengan apa yang biasa disebut “konotasi emotif” (emotive connotation).
Menurut Djajasudarma (2009:13) makna konotatif dan makna emotif dapat dibedakan berdasarkan masyarakat yang menciptakannya atau menurut individu yang menciptakannya atau menghasilkannya, dan dapat dibedakan berdasarkan media yang digunakan (lisan atau tulisan), serta menurut bidang yang menjadi isinya. Makna konotatis berubah dari zaman ke zaman. Makna konotatif dan emotif dapat bersifat insidental (kejadian yang terjadi pada waktu tertentu).
Pentingnya percobaan Osgood itu, di samping membuka jalan bagi penelitian pada masa depan, akan menjadi jelas jika mengingat kesulitan-kesulitan yang kita sebut sebelumnya pada bagian awal bab ini. Suatu ganjalan yang paling besar yang ada dalam teori referensial tentang makna adalah bahwa teori ini harus bergerak dengan proses-proses mental yang subjektif dan sukar diraba, sebagaimana dikatakan oleh seorang kritikus: “Suatu pengetahuan yang bersifat empiris tidak dapat menjadi isi (makna) berdasarkan suatu prosedur di mana orang-orang menyelami benak mereka sendiri, masing-masing orang memeriksa pikirannya sendiri”. Inilah alasan utama mengapa berbagai ahli meninggalkan pendekatan tradisional dan mencoba menentukan makna berdasarkan jalan yang sama sekali berbeda. Pada akhirnya sekarang tampak keinginan untuk mengajukan teori referensial berdasarkan dasar-dasar empiris. Menurut kata-kata pengarang sendiri, “dapatkah dikemukakan di sini bahwa data yang kami olah dalam pengukuran makna ini secara esensial adalah subjektif—yaitu introspeksi tentang makna menurut si subjek—dan bahwa apa yang kami kerjakan adalah mengobjektifkan ekspresi-ekspresi yang bersifat subjektif tadi. Ini sepenuhnya benar, tetapi bukanlah kritik atas metode tersebut. Objektivitas itu terletak pada peran si pengamat, bukan pada orang yang diamati. Prosedur yang kami pakai benar-benar menghilangkan kekacauan berpikir peneliti dalam menuju indeks akhir dari makna, dan inilah esensi subjektivitas itu”. Dengan kata lain, tiap orang merekam pribadinya sendiri yang seluruhnya merupakan reaksi subjektif, tetapi pada waktu analisis dirampungkan hasilnya menunjukkan semacam “rata-rata makna” (semantic average) yang diperoleh dengan metode statistik yang sepenuhnya objektif.
Eksperimen seperti yang dilakukan Osgood ini juga akan mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada status ilmu semantik. Pernah keangkuhan melanda  para linguis, lalu hakikat makna yang dianggap “tidak ilmiah” itu menjadi tidak mempunyai reputasi, juga ilmu semantik. C.C.Fries, tokoh strukturalis Amerika, pernah mengatakan bahwa “bagi kebanyakan linguis kata makna itu sendiri hampir menjadi dosa turunan”.
Situasinya menjadi lain ketika Prof. W.S.Allen dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar (1957) di Universitas Cambridge mengemukakan bagini, “makna itu, sebagaimana pernah dikatakan oleh seorang linguis, menjadi ‘sebuah kata yang kotor’; tetapi sementara nama itu cenderung dihindari, jelas pula bahwa tiap linguis tidak mau mengakuinya begitu. Dan saya yakin, tanpa makna linguistik tidak bisa ada”. Ambivalensi semacam itu dalam kongres linguistik di London disebut  “crypto-semantics”. Juga diharapkan agar kemajuan lebih lanjut berdasarkan apa yang dirintis oleh Osgood dan timnya ini mengakhiri keadaan ini (Ullmann, 1972:80—84).

3.3         Nama Diri
Mempunyai sebuah nama adalah hak istimewa atau kehormatan (privelese) tiap orang. Dalam Odyssey, kita baca, “Tidak seorang pun, baik yang rendah maupun yang tinggi derajatnya, yang hidup tanpa nama begitu dia memasuki (lahir di) dunia”; “tiap orang diberi nama oleh orang tuanya ketika dia lahir” (Ullmann, 1972:71).
Nama itu memegang peranan penting dalam hubungan antarmanusia sehingga nama itu sering digayuti oleh kekuatan magis dan dikelilingi oleh hal-hal gaib dan tabu. Untuk menyebut satu contoh saja, di antara masyarakat Masai di Afrika, nama orang yang sudah meninggal tidak boleh disebut-sebut lagi, dan kalau ada kata sehari-hari yang kebetulan mirip bunyinya seperti nama itu, kata itu harus diganti: “jika seseorang yang tidak penting bernama Ol-onana (dia yang lembut, lemah atau gagah) meninggal, maka kegagahan tidak lagi disebut en-nanai lagi sebagaimana biasanya orang menyebut si mayat melainkan ia akan diganti dengan nama lain, misalnya epolpol (si lembut)”. Takhayul semacam itu tidak hanya terbatas pada masyarakat primitif: menurut Cicero, pada waktu pengerahan tenaga milisi, orang Romawi dulu mendaftar orang-orang pertama dengan nama-nama yang berarti keselamatan atau kebahagiaan seperti Victor atau Felix, dan pemimpin cacah jiwa (sensus) dengan sebuah nama yang menurut ramalan membahagiakan.
Nama itu begitu dekat diidentifikasikan dengan pemiliknya sehingga nama itu segera menggambarkan reputasi, baik dan buruk. Sinonimi antara nama dengan kemashuran sudah dikemukakan oleh Homer (dalam Odysse, XIII,1) dan dibuktikan lagi oleh para pengarang Yunani dan Romawi. Dalam karya Shakespeare, tokoh Juliet, karena tertekan oleh cinta yang terhalang, minta kepada Romeo, kekasihnya, agar diijinkan untuk “memungut namamu, dan demi namamu, yang bukan sekadar bagian dari dirimu, mengambil seluruh diriku”, tetapi untuk orang yang bertanggung jawab, mengganti nama bukanlah barang kecil. Dalam sebuah novel karya F. Molnar, seorang nak laki-laki anggota “gang”, yang dituduh bertingkah laku tak senonoh, merasa mendapat penghinaan besar ketika melihat “nama terhormatnya yang malang” ditulis dalam inisial berhuruf kecil.
Konsep tentang nama diri (Ullman, 1972:84—94) itu jadinya berakar dalam pada tradisi, dan dalam kehidupan sehari-hari tidak sulit kita menemukan nama-nama itu dan membedakannya dari nomina pada umumnya (common noun) dengan cara menuliskan nama diri itu dengan huruf kapital. Namun tidak selalu mudah untuk mengemukakan dasar-dasar pembedaan nama diri dengan nomina itu. Sejumlah kriteria untuk mendefinisikan nama diri memang pernah dikemukakan berkali-kali. Ada lima kriteria dibicarakan di bawah ini.
(1)     Keunikan
Pada abad kedua sebelum masehi, seorang ahli tata bahasa dari Yunani, Dyonisius Tharax, menyimpulkan perbedaan antara nama diri dengan nomina sebagai berikut” “Sebuah nama adalah suatu bagian dari tutur yang tak dapat diubah yang mengacu suatu badan atau suatu aktivitas, suatu badan seperti batu dan suatu aktivitas seperti pendidikan, dan dapat dipakai baik secara umum maupun secara individual: secara umum seperti orang, kuda, secara individual seperti Socrates. Dimana-mana penulis ini mendefinisikan nama diri sebagai “nama yang menandakan (signify) makhluk secara individual, seperti Socrates, Homerus”. Pandangan ini, yang juga terdapat pada pengarang-pengarang berikutnya, melupakan kenyataan bahwa banyak orang yang berbeda-beda dan tidak saling berhubungan, dan bahkan dari berbagai tempat, bisa saja mempunyai nama yag sama. Sebaliknya, jika rumusan ini diterima dengan pengertian bahwa nama diri itu dipakai dalam tutur-sebenarnya untuk mengacu kepada seseorang atau sesuatu yang spesifik, maka kriteria ini berkoinsidensi dengan kriteria kedua berikut ini yang juga menyatakan gagasan serupa tetapi dengan istilah yang lebih tepat.

(2)     Identifikasi
Banyak filosof dan linguis sepakat memandang nama diri itu sebagai markah identifikasi atau penanda jati diri. Bukan seperti nomina yang berfungsi sebagai spesimen-bawahan tertentu di bawah konsep umum (generik)—katakanlah misalnya berbagai rumah, tanpa melihat materi, ukuran, warna, atau gayanya, berada di bawah konsep umum rumah –maka nama diri hanya bermaksud mengidentifikasikan seseorang atau sesuatu objek, dengan menyendirikan dari antara butir-butir serupa. Locus classicus dari doktrin ini terdapat dalam buku I, bab II karya John Struart Mill berjudul A System Of Logic. Mill menyarikan maksudnya dengan persamaan yang tegas dan kena:
Jika, seperti perampok dalam cerita Arabian Nights, kita membuat sebuah markah (tanda) dengan kapur pada tiap rumah untuk memungkinkan kita agar kita dapat mengenalinya kembali (bahwa rumah itu akan kita rampok), maka markah itu mempunyai suatu maksud, tetapi tidak mempunyai makna sendiri… objek pembuatan markah itu hanyalah pembeda… Andaikata markah dengan kapur itu kita berikan kepada rumah-rumah yang lain, apa jadinya? Ini hanya menghapuskan perbedaan tampilan antara rumah itu dengan rumah-rumah yang lain… Ketika memberikan sebuah nama diri, maka kita sebenarnya melakukan sesuatu yang kira-kira analog dengan apa yang dimaksudkan oleh para perampok ketika membuat markah kapur pada rumah tadi. Kita meletakkan suatu markah, sebenarnya pada objeknya sendiri melainkan pada ide dari objek itu. Sebuah nama diri jadinya tidak lain daripada suatu markah tak bermakna yang kita hubungkan dalam benak kita dengan ide dari objek tersebut agar supaya manakala markah itu tertumbuk dengan mata kita atau muncul dalam pikiran kita, kita dapat membayangkan objek itu sendiri.
Perbandingan lain yang juga kerap dipakai untuk menggambarkan gagasan serupa adalah penggunaan “label” pada seseorang atau benda agar supaya dapat mengidentifikasikannya dengan membedakannya dari unsur-unsur lain yang serupa. Analogi ini, paling tidak dalam penampilannya yang modern, tampaknya sudah sangat kuna: label-label berisi nama diri sudah ditemukan pada inskripsi-inskripsi dan naskah-naskah bangsa Mesir (kuna).

(3)     Denotasi dan Konotasi
Kriteria lain yang terkenal yang diajukan oleh Mill adalah fungsi “denotatif” dari nama diri yang dipertentangkan dengan nilai “konotatif” yang dimiliki oleh nomina. Ia mengatakan, “nama diri itu tidak konotatif: nama diri menunjuk individu-individu yang dinamakan/disebut tetapi nama diri itu tidak menunjuk atau mencakup atribut-atribut (sifat-sifat) apa pun yang dimiliki oleh individu-individu itu”. Ini pun tetap demikian dengan makna yang tidak relevan lagi: tidak perlu diragukan lagi bahwa Dartmouth memperoleh nama demikian karena keadaan yang ada pada mulut (= mouth) sungai Dart, tetapi nama itu tetap berlanjut terus meskipun mulut sungai itu sudah tersumbat pasir, atau diubah bentuknya oleh gempa bumi. Dan Mill menyimpulkan bahwa “manakala nama-nama itu mempunyai maknanya sendiri, maka makna itu tidak tinggal pada apa yang ditunjuk (didenotasi), melainkan pada apa yang dikonotasikan. Nama objek yang tidak mengkonotasikan sesuatu adalah nama sendiri, dan ini tidak mempunyai makna”.
Sudah dikemukakan bahwa sementara nama diri itu tidak mempunyai makna tersendiri jika berdiri sendiri, ia akan “mengkonotasi” banyak jika diterapkan dalam suatu konteks spesifik kepada seseorang atau sesuatu tempat. Jespersen sebenarnya menolak rumusan Mill dengan megklaim bahwa “nama diri itu (sebagaimana secara aktual dipakai) ‘mengkonotasi’ sejumlah terbesar atribut”. Tetapi memang nyata di sini ada kekacauan antara bahasa dan tutur. Benar sekali kalau kita mengatakan bahwa nama diri itu dipenuhi oleh banyak konotasi jika diterapkan kepada orang atau tempat yang sudah dikenal baik oleh penutur dan dan pendengar, tetapi dalam diri nama diri itu, kalau direnggut dari konteksnya, sering tidak akan mempunyai makna apa pun. Namun kita melihat, sebuah nomina yang berdiri sendiri akan mempunyai seseuatu makna, meski makna itu kabur dan ganda, sedangkan sebuah nama diri seperti Thomas atau Alexander tidak membawa informasi apa pun di luar kenyataan apa adanya bahwa nama itu menunjuk seseorang; bahkan kita tidak tahu apakah nama itu nama keluarga atau nama baptis (nama ketika dibaptis menjadi orang kristen). Ini sekadar cara lain untuk mengatakan bahwa nama diri itu mengidentifikasikan (identify) dan tidak mengartikan (signify). Dengan demikian maka hal ini sebenarnya bukan suatu kriteria baru, melainkan hanya suatu segi khusus dari kriteria sebelum ini.

(4)     Bunyi Distingtif
Di dalam bukunya The Theory of Proper Names, Sir Alan Gardiner, mengakui identifikasi merupakan tujuan yang esensial daripada nama diri, tetapi ia juga menambahkan kriteria lain, yaitu bunyi distingtif. Tentu saja, adalah merupakan ciri semua kata (kecuali dalam hal yang agak khusus pada homonim-homonim) untuk memiliki bentuk tersendiri yang membedakan dirinya dengan kata lain; keseluruhan prinsip fonetik, sebagaimana yang kita lihat, didasarkan pada tuntutan itu. Tetapi Gardiner merasa bahwa dalam hal nama diri, keterbedaan semacam ini sangat penting sekali. Dia mengajukan dua alasan untuk pandangannya ini:
Pertama, benda-benda yang disebut oleh nama diri itu sebagian besar adalah anggota seperangkat benda yang mengandung hubungan-hubungan yang lebih menitikberatkan kepada perbedaan-perbedaan itu, sehingga dituntut adanya label-label khusus untuk memarkahi perbedaan itu. Dan yang kedua, nama aktual itu memaksa menarik perhatian kita lebih daripada kata-kata yang lain. lihat saja di mana tempat kita hidup, yang dipenuhi oleh nama-nama kristen dan introduksi-introduksi orang-orang dengn nama tersebut.
Perpaduan antara dua kriteria itu, yaitu identifikasi dan perbedaan bunyi, sampai kepada definisi yang tersusun rapi, yang menjadi bentuk akhir di dalam bagian Retospect dari bukunya yang edisi kedua:
Nama diri adalah sebuah kata atau sekelompok kata yang dikenal memiliki identifikasi sebagai tujuan khususnya, dan yang akan mencapai, atau cenderung mencapai, tujuan itu dengan menggunakan bunyi distingtifnya sendiri, tanpa melihat makna apa yang dimiliki oleh bunyi itu sejak semula, atau yang diperolehnya melalui asosiasinya dengan objek atau objek-objek yang karena itu diidentifikasi.

(5)     Kriteria Gramatikal
Perbedaan nama dan fungsi di antara nama diri dan nomina juga tercermin dalam kekhususan-kekhususan gramatikal. Hal ini bervariasi darisatu bahasa ke bahasa lain, dan kadang-kadang juga bervariasi dari waktu ke waktu dalam sebuah bahasa. Beberapa kekhususan murni konvensional, dan yang lain didikte oleh fungsi khusus nama diri. Misalnya, dalam bahasa Fiji nama tempat dan orang didahului oleh prefiks ko, nomina di dahului oleh na: na vanua levu ‘tanah luas; pulau besar’ –ko vanua levu ‘Pulau Besar’ (yaitu nama pulau terbesar di kepulauan Fiji). Dalam bahasa Inggris, kontras seperti itu dimarkahi oleh ada atau tidak adanya artikel: the (atau a) long island—Long Island; the (atau a) white chapel – White chapel). Pemakaian artikel dan kata-kata “pewatas” semacam itu memang merupakan salah satu kriteria gramatikal yang paling luas tersebar untuk membedakan nama diri dan nomina, tetapi dalam operasinya ia berbeda dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris, nama orang tidak memakai artikel kecuali dalam hal-hal khusus (‘the Lloyd George we knew’ L.G yang kita kenal). Namun, ada dan tidak adanya artikel bukanlah suatu kriteria yang secara universal valid, karena banyak bahasa, seperti bahasa Latin, dan sebagian besar idiom Slavonik, sama sekali tidak mempunyai artikel.
Kriteria gramatikal yang lain yang sering dikutip adalah bahwa sebagian besar nama diri itu tidak mempunyai bentuk jamak (plural). Sebagai suatu kecenderungan umum, tentu saja kriteria ini benar dan bahkan tak dapat dielakkan karena mengidentifikasikan fungsi nama diri tidak mudah sejalan dengan gagasan kejamakan itu. Tetapi banyak juga kekecualiannya. Nama-nama diri tertentu hanya dipakai dalam jamak: ini mencakup beberapa nama kelompok yang tersebut pada alinea di atas, misalnya kepulauan dan pegunungan, dan juga rasi bintang (The Pleiades), beberapa nama suku (bahasa Latin Ramnes, dsb.), maupun kadang-kadang nama tempat seperti kota Athena dalam bahasa Yunani dan bahasa Latin. Beberapa kategori nama diri dapat dipakai untuk tunggal maupun jamak: nama Kebangsaan (a Spaniard—two Spaniards), nama keluarga, nama dinasti, dsb. Dalam hal nama keluarga, ada perbedaan menarik antara bahasa Inggris dan Prancis: kalau bahasa Inggris memakai bentuk jamak, seperti dalam “I had dinner with the Martins. Bahasa Prancis memakai bentuk tunggal, seperti buku kronik keluarga Roger Martin du Gard, Les Thibault. Kelompok kekecualian terakhir mencakup pemakaian bentuk jamak dalam konteks khusus: ‘there are two Pauls in this form”. Hal-hal ini harus dibedakan dari bentuk jamak nama diri yang dipakai sebagai nomina: “I saw several Turnors ( = lukisan-lukisan karya Turnor) in the gallery”.
Begitulah, tampak di sini, di antara lima kriteria yang kita bicarakan, kriteria kedua adalah yang paling bermanfaat. Perbedaan esensial antara nomina dengan nama diri terletak pada fungsinya: nomina adalah satuan bermakna (meaningful unit), sedangkan nama diri adalah pemarkah identifikasi (identification mark). Kriteria ini dapat ditambah dengan faktor kebedaan bunyi, suatu faktor yang penting tetapi tidak terlalu persis. Kriteria lainnya terbatas ruang lingkupnya atau sudah terimplisit ke dalam fungsi identifikasi tadi.
Meskipun tampaknya mudah membedakan nama diri dengan nomina garis batas antara keduanya belumlah final. Banyak nama diri yang diturunkan dari nomina masih jelas menunjukkan jejak asalnya: nama tempat seperti Blackpool dan Newcastle, nama keluarga seperti Smith ‘tukang besi’ dan Carpenter ‘tukang kayu’; nama baptis seperti Pearl ‘mutiara’ dan Heather ‘sejenis rumput’ (perhatikanlah juga nama-nama Jawa dulu, seperti Kebo Ijo ‘kerbau hijau’ dan nama Majapahit). Nama diri yang lain, meskipun tidak begitu jelas asal-usulnya, paling sedikit mempunyai suatu unsur yang dapat dianalisi, misalnya nama-nama tempat yang berakhir dengan caster, cester, dan chester, semuanya berasal dari kata Latin castra ‘kemah, tempat tinggal sementara’ (Di Indonesia kita mengenal nama-nama tempat yang berakhir dengan pura, kata Sanskrit yang berarti ‘kota’, di Jawa dengan unsur wono ‘hutan’, di Bali dengan unsur abian ‘kebun’). Studi tentang nama diri, yang dapat memberikan sinar terang kepada banyak aspek politik, ekonomi, dan sejarah kemasyarakatan, baru-baru ini telah menegakkan dirinya sebagai suatu cabang linguistik yang setengah independen, dan sudah mengadakan kongres khusus dan mempunyai jurnal sendiri. Ilmu ini terkenal dengan nama onomastik, mempunyai dua bagian yaitu toponimi (dari kata Yunani topos ‘tempat’ + onoma ‘nama’), yaitu studi tentang nama-nama tempat, dan antroponimi (kata Yunani antopos ‘orang, manusia’), yaitu studi tentang nama orang.
Tidak kurang seringnya adalah proses yang sebaliknya dari proses di atas, yaitu nama diri ditarik menjadi nomina. Perubahan ini begitu terkenal sehingga diperlukan pembicaraan yang terperinci. Secara umum, perubahan ini menjadi dua kelompok. Sebagian perubahan itu bersifat “metaforis”, berdasarkan semacam kesamaan atau unsur umum. Ini terjadi manakala seseorang atau sesuatu tempat memberikan namanya kepada keseluruhan golongan orang atau tempat yang serupa: nama Cicero untuk semua pramuwisata yang banyak omong yang terkenal sebagai cicerone, atau kota Belgia Spa, yang termasyhur karena pengaruh sumber mineralnya yang dapat menyembuhkan, yang kemudian dipakai untuk semua sumber yang serupa itu. Kelompok kedua bersifat “metonimi”, yang didasarkan kepada suatu keterkaitan yang bukan kesamaan: antara penemu dengan temuan, antara produk dengan tempat asal, dsb. (misalnya ikan mujahir berasal dari Mujahir, orang yang membudidayakan ikan tersebut; kacang bogor, dsb) contoh-contoh dari proses ini akan siap bersemi pada setiap benak kita. Kejelasan nomina terutama akan bergantung kepada bagaimana luas keterkenalan nama diri itu: orang tadinya tidak mengira bahwa kata chauvinis (cinta tanah air yang berlebihan, kadang-kadang sampai menganggap rendah tanah air bangsa lain) berasal dari sebuah nama diri, sampai orang itu diberitahu akan adanya orang bernama Nicolas Chauvin dari Rochefort, seorang prajurit dalam tentara Napoleon. Ia memiliki patriotisme yang diperagakan secara naif, yang dicemooh dalam lukisan-lukisan dan di atas panggung. Penurunan nomina dari nama diri dapat juga dikaburkan oleh perbedaan fonetis. Kata Inggris Sherry, berasal dari nama kota di Spanyol Xeres (sekarang Jerez de la Frontera), tetapi kata Inggris itu kehilangan –s pada akhir kata karena orang salah menafsirkan –s itu sebagai penanda jamak: a “good sherris—sack hath a two fold operation in it”, kata Falstaff dalam King Henry the Fourth, bagian II. Kekaburan juga dapat disebabkan oleh tidak adanya hubungan yang jelas antara nama diri dan nomina yang bersifat homonim. Hubungan apakah yang mungkin ada antara kata Prancis fiacre ‘kereta sewaan, taksi’, dan orang suci Irlandia yang mempunyai nama sama yang hidup pada abad ke-7? Ternyata ada juga hubungan itu, meskipun barang kali secara kebetulan seorang saksi mata, yaitu seorang penyusun kamus abad ke-7 bernama Menaga, telah mencatat bahwa kereta-kereta sewaan itu disebut demikian (fiacre) karena kereta-kereta itu biasanya diparkir di depan sebuah rumah di Jl. Saint-Antoine di Paris, dan di rumah itu tergantung gambar orang suci Fiacre itu.
Harus dicatat bahwa kalau sebuah nama diri menjadi kata biasa maka ia tidak selalu harus menjadi nomina: ia misalnya bisa menjadi verba. Dalam tahun 1818, Dr.T.Bowdlermempublikasikan suatu edisi buku Shakespeare yang sudah dikebiri oleh Bowdler sendiri. Dua puluh tahun kemudian muncul verba dari nama itu: Bowdlerize. Kasus yang lebih menarik adalah kasus Burke yang dieksekusi (digantung) di Edinburg tahun 1892 karena mencekik orang dan kemudian menjual tubuh orang itu untuk pembedahan. Menurut laporan sebuah koran yang terbit pada waktu itu, pada waktu eksekusi para penonton berteriak-teriak: “Burke him, Burke him – give him no rope” (‘Gantung dia – tak usah diselubungi’). Verba Burke itu ditemukan dalam pengertian fisik dalam Ingoldsby Legends: “The rest of rascals jump’d on him and Burk’d him”: hampir sepuluh tahun kemudian setelah peristiwa itu, kata itu sudah memperoleh makna kias.
Secara semantik, perubahan nama diri ke dalam kata biasa menyebabkan perluasan rentangan. Untuk mengambil sebuah contoh saja, pada pertengahan kedua abad ke-19 di Prancis, seorang kepala daerah Seine, bernama Poubelle, memerintahkan warganya untuk menjawab memakai tong-tong sampah/debu, dan sejak itu semua barang sejenis itu disebut poubelle. Kalau nomina dijadikan nama diri; maka perubahan itu mungkin diikuti oleh penciutan rentangan, tetapi hal seperti itu tidak selalu terjadi. Memang ada penciutan itu kalau nomina menjadi nama tempat: banyak sekali ada kebun jeruk dan pasar baru, tetapi hal sebagai nama diri Kebun Jeruk dan Pasar Baru, setidaknya untuk warga Jakarta, hanya mengacu satu tempat saja atau sejumlah kecil nama-nama tempat yang homonim. Tetapi tidak ada penciutan pada nama keluarga dan nama baptis yang diturunkan dari nomina biasa. Kita akan sia-sia untuk berspekulasi apakah di dunia ini ada lebih dari satu smith ‘tukang besi’ atau Smith, ada lebih dari satu orang yang disebut George atau george ‘suami rumah tangga, suami menganggur’. Dalam semua proses ini, perluasan atau penciutan yang mungkin sudah terjadi bukanlah hal yang terpenting. Masalah pokoknya ialah bahwa suatu markah atau penanda identifikasi sudah menjadi sebuah lambang yang bermakna, atau sebaliknya.

4.      Diskusi
Kami kurang setuju dengan pendapat Ullmann yang mengatakan bahwa dalam segitiga semiotik, ‘referent/acuan’ hendaknya disingkirkan karena tidak termasuk bagian bahasa. Kami berpendapat, semua unsur segitiga semiotik tersebut saling berhubungan, jika ‘acuan’ dihilangkan maka seseorang tidak mengetahui objek atau hal yang dibicarakan atau yang dimaksudkan. Jadi ‘acuan’ juga menjadi salah satu komponen yang harus tetap ada dalam segitiga semiotik, bukan hanya hubungan timbal balik antara symbol dan reference. Tetapi kami sependapat dengan Ullmann yang menyadari bahwa segi tiga yang digambarkan oleh Odgen dan Richard hanya dilihat dari sudut pandang pendengar sehingga Ullmann membuat konsep adanya hubungan timbal balik karena ia memikirkan sudut pandang penutur juga.
Menurut kami, penelitian yang dilakukan Osgood tidak mengacu pada pengukuran makna dalam arti yang sesungguhnya. Dan kami berpendapat bahwa makna tidak bisa diukur yang dapat diukur adalah makna emotif dari sebuah kata.
Kami setuju dengan adanya pemberian ‘nama diri’ sebagai markah atau tanda identitas seseorang. Dengan adanya nama diri, lebih memudahkan manusia dalam berinteraksi dengan  manusia yang lain. Selain itu, lebih memudahkan dalam benak kita dalam  membedakan seseorang  dengan orang yang lain karena adanya nama diri tersebut. Semakin unik nama diri yang dipakai, maka semakin berbeda dan mudah diingin sebagai tanda orang tersebut.
Ullmaan menyebutkan adanya tiga batasan untuk ‘nama diri’, yakni: nomina dijadikan nama diri, nama diri dijadikan nomina, dan nama diri dijadikan verba. Dan kami menemukan batasan ‘nama diri’ yang lain, yakni verba dijadikan nama diri. Misalnya: nama desa Sidokumpul berasal dari verba sido dan kumpul (dalam bahasa Jawa). Itulah asal usul pemberian nama desa tersebut yang bermula dari adanya dua desa yang terpisah dan kembali berkumpul menjadi satu.

5.      Penutup
a.       Makna memiliki dua definisi yaitu definisi makna yang bersifat analitis atau referensial yang mencari esensi makna dengan cara memecah-mecahkan makna menjadi komponen-komponen utama, dan makna yang bersifat operasional (kontekstual) yang mempelajari kata dalam operasi atau penggunaannya, yang kurang memerhatikan “persoalan apakah makna itu”, tetapi lebih tertarik pada persoalan bahagaimana kata itu “bekerja”.
b.      Makna yang dapat diukur adalah jenis makna emotif.
c.       Adanya ‘nama diri’ adalah nama yang menandakan (signify) makhluk secara individual. Dan sebuah ‘nama diri’ itu sebuah markah tak bermakna yang jika dipisahkan dari konteks atau sebuah kalimat.



Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2012. Semantik 1: Makna Leksikan dan Gramatikal. Bandung: PT Refika Aditama.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2009. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT Refika Aditama

Pateda, Mansoer. 1996. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.

Ullmannn, Stephen. 1972. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell.

Ullmannn, Stephen. 1972. Semantics: Pengantar Semantik. Diadaptasi oleh Sumarsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar