Oleh
Jose Da Conceicao Verdial
1.
Pengantar
Bahasa merupakan
sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Bahasa merupakan alat
komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap
perkataan yang diucapkan. Makna-makna tersebut dikaji oleh linguistik pada
tetaran semantik.
Para
ilmuan menganggap bahwa makna adalah bagian dari bahasa, maka semantik
merupakan bagian dari linguistik. Kalau hal tersebut tetap dipakai tentu harus
diingat bahwa status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi, dan
sintaksis tidak sama, misalnya berbicara mengenai kalimat; satuan kalimat
disusun oleh klausa; satuan klausa dibagun oleh frase; satuan frase dibentuk
oleh kata; dan seterusnya. Konstruksi-konstruksi tersebut akan menyiratkan
pertanyaan tentang letak semantik. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
semantik mengaji tentang makna, dan makna-makna tersebut berada baik di dalam
tataran sintaksis, morfologi, bahkan fonologi. Oleh karena itu, semantik
berbeda dengan kajian-kajian bahasa yang lain.
Pada
kajian semantik, terdapat berbagai aspek makna yang dapat dianalisis, seperti
permasalahan tentang makna, ragam makna, relasi makna, perubahan makna dan
penamaan. Permasalahan tersebut akan muncul ketika seseorang mulai untuk
mempelajarinya lebih dalam. Dalam hal objek yang dibahas adalah tentang ragam
makna yang jenis-jenisnya begitu banyak. Satu di antaranya adalah jenis yang
muncul karena makna yang hadir dalam tatabahasa (morfologi dan sintaksis) dan
leksikon sehingga muncullah jenis semantik gramatikal dan leksikal. Selain jenis makna, terdapat pula aliran-aliran linguistik
muncul. Dua aliran itu bisa juga disebut sebagai pendekatan analitis atau
referensial yang mencari makna dasar dengan cara membagi makna menjadi
bagian-bagian penting, dan pendekatan operasional atau kontekstual yang mempelajari
kata dalam penggunaannya.
Dari pemaparan
di muka, maka dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut konsep makna,
definisi makna baik yang bersifat analitis maupun makna kontekstual, pengukuran
makna, dan nama diri. Tujuannya agar kita lebih memahami perbedaan dari konsep
makna-makna tersebut.
2.
Kerangka
Teori
3.
Pembahasan
3.1
Konsep
tentang Makna
Semantik
merupakan salah satu bidang semantik yang mempelajari tentang makna. Pengertian
dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan
bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna
tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.
Menurut teori yang
dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’ atau
’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de
Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang
diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan
(2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier).
Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain
dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang
mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari
fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik
terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua
unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang
biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Dalam penggunaannya dalam
penuturan yang nyata makna kata atau leksem seringkali, dan mungkin juga
biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya.
Contohya : Dasar buaya ibunya sendiri ditipunya. Oeh karena itu, banyak pakar
mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu
sudah berada dalam konteks kalimatnya. Satu hal lagi yang harus diingat
mengenai makna ini, karena bahasa itu bersifat arbiter, maka hubungan antara
kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
Para
ahli membedakan makna baik ditinjau secara struktural dan fungsinya. Makna
secara struktural yakni makna leksikal yakni makna kata yang dapat berdiri sendiri dan dapat kita lihat
dalam kamus; dan makna gramatikal yakni makna yang muncul sebagai akibat
digabungkannya sebuah
kata dalam suatu kalimat. Sedangkan menurut fungsinya makna dibedakan
menjadi makna denotatif yakni makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau
makna yang sebenarnya; dan makna konotatif yakni makna tambahan terdahap makna
dasarnya atau makna yang tidak sebenarnya.
Menurut Ullmann (1972: 55):
“There are, broadly
speaking, two schools of thought in present-day linguistics: the ‘analytical’
or ‘referential’ approach, which seeks to grasp the essence of meaning by
resolving it into its main components, and the ‘operational’ approach,which
studies words in action and is less interested in what meaning is than in how
it works.”
Yang artinya: Ada dua aliran
linguistik pada masa kini, yaitu pendekatan analitis atau referensial yang
mencari esensi makna dengan cara memecah-mecahkan makna menjadi
komponen-komponen utama, dan pendekatan operasional yang mempelajari kata dalam
operasi atau penggunaannya, yang kurang memerhatikan persoalan apakah makna
itu, tetapi lebih tertarik pada persoalan bagaimana kata itu “bekerja”.
Kedua pendekatan atau aliran
tersebut akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.
3.1.1
Definisi
Makna yang Bersifat Analitis (Referensial)
Model analitis tentang
makna yang sangat terkenal adalah model segitiga dasar ‘basic triangle’ yang dikemukakan oleh Ogden dan Richards.
![]() |
Unsur esensial
dalam diagram ini adalah bahwa ia membedakan tiga komponen makna. Symbol atau ‘lambang’ adalah unsur
linguistik berupa kata (kalimat, dan sebagainya); referent adalah acuan atau objek yang ditunjuk (peristiwa, fakta di
dalam dunia pengalaman manusia); dan reference
yakni apa yang ada pada pikiran kita tentang objek yang diwujudkan melalui
lambang (symbol). Berdasarkan teori
segitiga tersebut, hubungan symbol dan
referent (acuan) memiliki hubungan
tidak langsung. Dalam analisis makna ini sebenarnya secara mendasar tidak ada
sesuatu yang baru, sebab orang-orang zaman pertengahan sudah mengenal kalimat
Latin Vox significant mediantibus conceptibus
‘kata itu mempunyai makna melewati media konsep’.
Bila kita
mengatakan [r u m a h], terbayang pada otak kita rumah dengan berbagai ukuran
dan jenis (tipe). Desakan untuk mengatakan bahwa bayangan itu adalah ‘rumah’
sudah tersedia di dalam otak. Desakan jiwa untuk menyebut ‘rumah’ bekerjasama
dengan pusat syaraf di dalam otak, di dalam otak kita sendiri telah bersemayam
konsep ‘rumah’, dan kita membutuhkan realisasinya, dan makan konsep ‘rumah’
siap untuk diujarkan. Bagaimana proses konsep rumah siap untuk diujarkan itu
sulit dijelaskan, dan untuk hal itu Palmer (dalam Djajasudarma, 2012:40)
menyebutkan ‘ghost in the machine’ (sesuatu
yang aneh tetapi otomatis). Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengatakan
berapa ribu kata yang tersimpan di otak, yang secara otomatis dapat keluar
sewaktu diperlukan.
Menurut Chaer
(2007:291) Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada refensinya
atau acuannya. Kata-kata seperti kuda,
merah, dan gambar adalah termasuk
kata-kata yang referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. sebaliknya,
kata-kata seperti dan, atau, dan karena termasuk kata-kata yang tidak
bermakna nonreferensial karena kata-kata itu tidak mempunyai referensi.
Di balik itu,
akhir-akhir ini teori ini juga tidak luput dari tekanan berat dari berbagai
arah, dan pembicaraan mendalam telah dikemukakan dalam hal tujuan dan metode
linguistik, Semua kritik itu dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berikut (Ullmann,
1972:58—61):
(1)
Ada ketakutan bahwa dengan menyingkirkan referen, yaitu unsur
atau peristiwa nonkebahasaan yang diacu oleh nama, ilmu semantik akan menjadi
mangsa formalisme kaku dan ekstrem. Pandangan sekilas akan menunjukkan bahwa
keberatan itu tidak benar. Memang benar bahwa definisi makna tadi menyingkirkan
referen (dari segi tiga di atas), tapi semua unsur yang secara kebahasaan
relevan (yang semula ada pada referen) sudah tertampung ke dalam “makna” (titik
atas dalam segi tiga) karena unsur-unsur itu merupakan bagian dari “makna” itu.
Dengan menyingkirkan referen itu kita sebenarnya hanya memisahkan makna yang
secara kebahasaan relevan dari apa yang tidak relevan.
(2)
Keberatan kedua jauh lebih serius dari yang pertama dan sukar
dihadapi. Keberatan ini erat sekali dihubungkan dengan issu yang bersifat
filosofis dalam linguistik masa kini, yaitu pertentangan antara kaum mentalis dan mekanis. Kaum mekanis/ strukturalis
Amerika (yang sama dengan kaum mekanis, dan anti kaum mentalis) khususnya
segan menggunakan istilah-istilah kabur dan menghindari maujud mental yang tak
bisa dikaitkan dengan analisis ilmiah, dan yang hanya dapat diamati oleh etode
introspeksi yang selalu tidak dapat dipercaya. Mereka tidak ingin mengasumsikan
bahwa “sebelum ujaran suatu bentuk bahasa, pada diri penutur terjadi proses
nonfisik, seperti pikiran, konsep, citra,
perasaan, keinginan, dan sebagainya, dan bahwa pendengar setelah menerima
gelombang bunyi dari penutur, juga mengalami proses mental yang serupa penutur”
(Bloomfield, Language, 142). Untuk
menghindarkan bayangan factor-faktor psikologis ini maka kaum antimentalis ini
lebih suka menghapus titik puncak pada segi tiga tadi, dan membiarkan hubungan
langsung antara nama dengan benda (sehingga tidak berbentuk segi tiga lagi,
melainkan garis lurus). Itulah sebabnya, Bloomfield mengemukakan definisi yang
terkenal tentang makna sebuah bentuk bahasa sebagai “situasi pendengar” (h.
139). Definisi ini terutama menunjuk kepada makna keseluruhan ujaran, tetapi
makna kata secara individual juga diperoleh dengan cara yang sama. Dalam tiap
kesempatan Bloomfield selalu mengemukakan dengan cara itu. Contoh yang banyak
dikemukakan adalah ini: seseorang pengunjung dari planet lain akan segera
melihat bahwa ujaran manusia di bumi ini dihubungkan dengan situasi tertentu
dan diikuti oleh respons-respons tertentu, dan dia akan “belajar menenal
bagian-bagian ujaran yang diucapkan berulang-ulangg, dan melihat bahwa
kata-kata seperti menutup, pintu, apel, dan
sebagainya, terjadi dalam tutur yang dihubungkan dengan tindakan menutup
sesuatu dan dengan objek-objek jenis tertentu”.
(3)
Kritik lain yang diarahkan terhadap teori referensial ini
ialah bahwa teori ini dibayangi oleh teori metafisika kuna tentang tubuh dan
jiwa. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut: Karena, dalam diri
manulis, jiwa atau nyawa itu harusnya menemani tubuh dan tingkah lakunya, maka
dalam tanda kebahasaan, sebuah makna diharapkan menemani (menyertai) bentuk
dalam berbagai tuturan. Tanda kebahasaan itu diharapkan muncul dalam suatu
korespondensi, sejenis paralelisme yang bersifat psiko-fisik, antara sebuah
bentuk dan sebuah makna”. Harus diingat bahwa kritik ini tidak terbatas pada
definisi makna yang bersifat mentalistik, melainkan juga pada semua teori
referensial, bahkan termasuk usaha untuk mendefinisikan makna berdasarkan
distribusinya.
Tampaknya
kritik semacam itu muncul dari kesalahpahaman akan segala metafora yang satu
abad lalu sudah dicela oleh Saussure sebagai sesuatu yang tidak memuaskan.
Dualism bunyi dan makna, yang memang terimplisit dalam sebuah teori
referensial, sebenarnya tak ada urusannya dengan (dualism) metafisika antara
tubuh dan jiwa. Dualism bunyi dan makna memang benar-benar merupakan jenis
dualism yang berbeda dengan dualism tubuh dan jiwa yaitu bahwa ia melekat pada
tiap tanda, tanda kebahasaan atau tanda yang lain. Semua tanda sesuai dengan
namanya, memang menunjuk sesuatu, mengacu sesuatu di luar dirinya sendiri. Ini
cocok untuk tanda apa saja, mulai dari yang paling sederhana sampai yang
kompleks, mulai dari lampu lalu lintas sampai pada lambang-lambang dalam puisi,
dan tanpa kecuali kata juga mengikuti aturan ini. Menolak dualism pada kata
seperti itu akan berarti menolak kata itu sebagai tanda, dan langkah penolakan
ini tentu dihindari oleh sebagian besar linguis.
Jika
memang dikehendaki suatu analogi untuk menggambarkan hubungan antara bunyi
dengan makna, oraang, dengan Saussure, dapat membandingkan kata dengan selembar
kertas yang kedua permukaannya merupakan dua wajah dari suatu keseluruhan yang
tidak bisa dipisahkan, sehingga kita tidak bisa menggunting permukaan yang satu
tanpa mengenai permukaan yang lain. Tetapi barangkali aman jika kita mau
menghindarkan diri dari metafora atau penyamaan-penyamaan lain jika masalahnya
menyangkut konsep yang bersifat fundamental. Lebih baik kita mengemukakan bahwa
kata itu empunyai struktur ganda (dual
structure) hanya karena dia dalah tanda (sign). Apakah orang menafsirkan struktur ganda ini dari sudut
mentalistik atau yang lain, hal itu di luar konteks masalah.
|
Tanda panah tersebut
menunjukkan bahwa hubungan itu bersifat resiprok atau timbal balik. Namun
seperti yang telah diketahui bahwa tidak semua kata mempunyai hubungan tunggal
seperti diagram di atas, ada beberapa S (symbol)
yang memiliki kesamaan makna, dan Ullmann menggambarkannya sebagai berikut:

|
Contoh :
kata ‘cantik’
dan ‘elok’ memiliki kesamaan makna
|

Contoh :
Kata ‘kepala’ bisa bermakna ‘bagian atas
tubuh’ dan ‘pemimpin’.
Ada juga beberapa S (symbol/ kata) yang mempunyai kesamaan
dalam hal bunyi, makna, maupun bunyi dan makna. yang dapat digambarkan sebagai
berikut.
|
Diagram itu menunjukkan bahwa dua kata pertama
(beracun dan racun) dihubungkan oleh bunyi (sama-sama mengandung bentuk racun) dan makna (‘ada racun’; ‘ada
bisanya’ dan ‘racun’; ‘bisa’) ; kata ketiga dan keempat S3 (‘bisa’)
dan S4 (‘bisa’) dihubungkan
oleh bunyi saja. Jika orang berpikir bahwa ketiga asosiasi ini dapat memancar
ke berbagai arah dari suatu kata, dan bahwa pola itu mungkin dirumitkan oleh
banyak makna, maka kita bisa membayangkan kerumitan hubungan makna yang tak
menentu (infinit).
3.1.2
Definisi
Makna yang Bersifat Operasional (Kontekstual)
Menurut Ullmann
(1972: 64—67) Pada tahun-tahun terakhir ini suatu konsepsi baru tentang makna,
yang sama sekali berbeda dengan konsepsi lama muncul baik di dalam maupun di
luar linguistik. Rumusan yang paling menonjol dan provokatif mengenai konsep
ini dapat kita jumpai pada karya L.
Wittgenstein, Philosophical
Investigation, 1953, yang terbit setelah meninggalnya. Tetapi seperempat
abad sebelum itu P.W. Bridgman,
dalam The Logic of Modern Physics, telah enekankan sifat yang murni operasional
tentang konsep ilmiah seperti panjang (length),
waktu (time), atau energy (energy). Bridgman mengatakan, “yang kami
maksud dengan suatu konsep tidak lebih dari serangkaian operasi; konsep ini
sama dengan serangkaian operasi yang saling berhubungan. Pendekatan ini, yang
terkenal dengan nama operasionalisme,
diperluas dari konsep ilmiah ke kata-kata pada umumnya, dan bermuara pada
rumusan yang terkenal: “Makna sebenarnya dari sebuah kata harus ditemukan dengan
mengamati apa yang dikatakannya tentang kata itu”. Wittgenstein maju selangkah
lagi: “Dalam sebagian besar kasus,
meskipun tidak seluruhnya, dalam hal kita berkutat tentang “makna” kata,
dapatlah ditentukan demikian: makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam
bahasa”. Gagasan semacam ini muncul kembali dalam berbagai bentuk dalam
bukunya, walaupun kadang-kadang tampaknya Wittgenstein enggan mengatakannya;
sepertinya dia merasa ada sesuatu yang berlebih di dalam makna sebuah kata
ketimbang penggunaannya, tetapi sesuati itu sulit kita raba dan tidak ada
gunanya untuk membahasanya.
Wittgenstein
menggunakan beberapa beberapa analogi untuk menunjukkan implikasi-implikasi
rumusannya. Ia mengatakan, “Bahasa adalah sebuah instrument. Konsep-konsepnya
juga instrument”. Di mana-man ia mengemukakan tentang kesamaan anntara kata
dengan alat. “Bayangkan alat-alat dalam kotak peralatan: ada martil, gergji,
drai, penggaris, bor, dan sebagainya—fungsi-fungsi kata itu beraneka ragam
seperti fungsi-fungsi kata itu beraneka ragam seperti fungsi-fungsi benda-benda
ini”. Seperti Saussure, tetapi jelas dia berdiri sendiri, ia membandingkan
bahasa seperti permainan catur: “Pertanyaan ‘Apakah kata itu sebenarnya?’ sama dengan pertanyaan ‘Apa biduk itu dalam catur?’”; dan lagi:
“Kitadapat mengatakan bahwa makna sebuah bidak adalah peranannya dalam catur
itu”. Dia juga berbicara tentang “medan kekuatan sebuah kata”, dan “semua
tentang tetk bengek yang diakibatkan oleh kata”. Semua perbandingan ini
menunjukkan eratnya hubungan antara cara berpikirnya dengan teori linguistik
kontemporer. Karena ini tidaklah mengherankan jika dia menggunakan prosedur
yang dalam linguistik modern terkenal dengan anama tes substitusi atau penyulihan (substitution
test). Berbicara tentang verba is dalam
kalimat bahasa Inggris The rose is red (Mawar
itu merah.) dan dalam Twice two is four (Dua
kali dua empat), dia menulis begini “Kaidah yang menunjukkan bahwa kata is mempunyai dua makna yang berbeda
dalam kedua kalimat itu adalah bahwa makna yang satu mengijinkan kita untuk
menyulih (mengganti) kata is pada
kalimat kedua tadi dengan tanda sama dengan (menjadi Twice two = four), sedangkan substitusi seperti itu tidak bisa kita
lakukan pada kalimat pertama” (tidak mungkin: The rose=red). Inilah metode yang
dipakai oleh para linguis untuk mengidentifikasikan fonem dan unsur-unsur
distingtif yang lain: dengan mengganti-gantikan fonem kita memperoleh kata-kata
yang berbeda-beda (“Seorang pria muda
masuk kamar”—“Seorang pria tua masuk
kamar”—“Seorang wanita muda masuk
kamar”—“Seorang laki-laki tua masuk
kamar”). Jauh sebelumnya, 1935, Prof. J..R.Firth telah mendefinisikan kata
sebagai “pasangan substitusi yang bersifat leksikal” dan ini cocok dengan
filsafat bahasanya Wittgenstein.
Gagasan
Wittgenstein ini mempunyai beberapa konsekuensi dalam linguistik, dan
memperkuat masalah yang dihadapi oleh para linguis, yang sebelum dia, sudah
menentukan makna atas dasar pikiran yang sama. Rumusan Wittgenstein ini
menarik, bukan saja karena ‘bersihnya’ atau sederhananya, dank arena itu
sejalan dengan kecenderungan linguistik masa kini, tetapi juga karena rumusan
itu memberikan beberapa keuntungan. Secara negatif bisa kita katakana, rumusan
itu menghindarkan berulangnya keadaan atau proses mental yang kabur, tidak pasti
dan subjektif. Secara positif bisa kita katakana, rumusan itu mempunyai jasa
yang dapat menentukan makna secara kontekstual, yaitu dalam arti empiris murni.
Persoalan yang muncul adalah: bagaimana definisi operasional itu dibndingkan
dengan definisi referensial dalam kedudukannya sebagai (a) suatu alat
penelitian, dan sebagai (b) suatu hipotesis kerja dalam teori semantik.
a)
Apakah pentingnya definisi operasional dalam kajian tentang
kata-kat tertentu, misalnya pada leksikografi? Jawabanya akan bergantung kepada
bagaimana definisi itu ditafsirkan. Jika definisi itu dimaksudkan agar kita
harus mengungkung diri untuk mengumpulkan dan menganalisis semua konteks tempat
katatersebut berada, maka tugas kita menjadi tidak bermanfaat dan tidak pernah
konklusif. Telah disarankan bahwa “penyulihan untuk kucing, di dalam satuan-satuan yang lebih komprehensif seperti ‘—itu menangkap tikus;, ‘Saya membeli ikan
asin untuk—saya, dst., menunjukkan maknanya; kekhususan kehadirannya dalam
konteks-konteks tadi merupakan makna kebahasaan dari kata kucing.’ Tentu saja konteks-konteks semacam itu dapat ditambah
dalam jumlah tak terbatas, dan bisa saja konteks yang paling banyak ditemukan
justru mempunyai nilai informative yangrendah, seperti “Saya melihat--.”,”—saya merah”. Apa sih nilai metode semacam itu?
Sebaliknya,
jika si leksikograf mencoba, dan memang seharusnya begitu, untuk
mengidentifikasi penggunaan-penggunaan khas dari sebuah kata dengan cara
menyaring unsur atau unsur-unsur umum dari seleksi konteks yang representative,
maka dia akan segera kembali ke teori referensial tentang makna. Terminologynya
memang berbeda, tetapi dualism dasarnya akan muncul kembali, dengan
“penggunaan” memainkan peran yang sama dengan “pengertian”, “acuan” atau
istilah lain yang menunjukkan teori referensial yang lebih kentara.
b)
Tiap definisi makna haruslah dipandang tidak lebih sebagai
hipotesis kerja. Nilainya akan bergantung kepada bagaimana definisi itu
bekerja: definisi itu dapat tunduk kepada deskripsi, interpretasi, dan
klasifikasi terhadap gejala makna. Dari sudut pandang ini akan terlalu dini
untuk memilih salah satu dari dua jenis definisi tadi. Tetapi, semua karya
besar tentang teori semantik begitu jauh sudah didasarkan kepada konsep-konsep
referensial tentang makna; doktrin operasional seperti belum mempunyai peluang
untuk membuktikan kemanfaatannya, meskipun harus diakui betapa sulitnya melihat
bagaimana suatu survey yang komprehensif dan teratur tentang medan semantik
dapat dirancang berdasarkan konsep referensial itu. Tampak, misalnya, bahwa
aspek-aspek penting tertentu dari masalah ini tidak bakalan dapat tempat dala
teori operasional sepenuhnya. Di mana kamus-kamus konseptual, “medan akna”,
kajian-kajian dan peta onomasiologi bisa pas “masuk” ke dalam kerangka kerja
semacam itu? Untuk mengadopsi doktrin yang akan mengeksklusifkan hal-hal vital
semacam itu akan melibatkan pembatasan-pembatasan yang perlu dipersiapkan oleh
beberapa pakar semantik untuk menerimanya.
Semua ini tidak
berarti bahwa definisi operasional itu harus dibuang. Ia harus dianggap bukan
sebagai alternatif lain dari teori referensial, melainkan sebagai suatu
pelengkap yang penting. Paparan ini mengandung peringatan, yang pasti akan
diperhatikan oleh para linguis dan leksikograf, bahwa makna suatu kata hanya bisa dicapai dengan mempelajari
penggunaannya. Tidak ada jalan pintas menuju makna itu melalui introspeksi atau
melalui metode lain. si peneliti harus memulai dengan mengumpulkan sampel yang
memadai berupa konteks-konteks dan kemudian mendekatinya dengan jiwa terbuka,
mengikuti makna (-makna) yang muncul dari konteks-konteks itu sendiri. Sekali
fase ini dilampaui, si peneliti dapat dengan aman memasuki fase “referensial”
dan mulai merumuskan makna (-makna) yang diidentifikasi tadi. Hubungan antara
kedua metode itu, atau lebih dapat dikatakan hubungan antara dua fase
pendekatan itu, hakikatnya sama dengan makna hubungan antara bahasa dengan
tutur: teori operasional mengkaji makna dalam tutur, sedangkan teori
referensial mengkaji makna dalam bahasa. Tidak ada perlunya sama sekali
mempertentangkan kedua pendekatan itu; masing-masing pendekatan menangani
tugasnya sendiri, dan yang satu tidak sempurna kalau tidak ada yang lain.
Makna kontekstual
adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya,
makna kata kepala pada contoh
berikut,
a) Rambut
di kepala nenek sudah ada yang putih.
b) Sebagai
kepala sekolah, dia harus menegur
murid itu.
c) Nomor
teleponnya ada pada kepala surat itu.
d) Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Kepala yang pertama
(a) menunjukkan bagian atas tubuh. Sedangkan kepala yang kedua (b) menunjukkan
pemimpin sekolah. Kepala yang ketiga (c) berati menunjukkan bagian atas surat,
dan kepala yang keempat (d) menunjukkan arti bagian atas suatu benda. Kata kepala dalam kalimat di atas menunjukkan
bahwa kata tersebut memiliki banyak makna bergantung situasi (tempat, waktu,
dan lingkunagan penggunaan bahasa itu) (Chaer, 2007:290).
3.2
Dapatkah
Makna Diukur?
Baru-baru ini
teori referensial tentang makna dibuktikan oleh suatu percobaan menarik yang
tak mungkin pas atau cocok untuk suatu teori kontekstual sebab ia sama sekali
meninggalkan konteks. Beberapa tahun lalu sekelompok peneliti Amerika yang
menamakan dirinya psikolinguis bekerja atas dasar suatu metode untuk mengukur
makna. Serangkaian makalah mengenai masalah itu diikuti oleh publikasi pada
1957 sebuah buku besar berjudul The
Measurement of Meaning (Pengukuran Makna) oleh C.E.Osgood, G.J.Suci, dan
P.H.Tannenbaum. meskipun prosedurnya menggunakan perhitungan matematika yang
rumit, termasuk penggunaan komputer, prinsip dasarnya sangat sederhana. Titik
awalnya adalah serangkaian tes yang diselenggarakan atas dasar alat yang
disebut “pembedaan makna” (semantic differential).
Alat ini berupa sejumlah skala, masing-masing terdiri atas tujuh bagian yang
kedua ujungnya berisi dua buah adjektiva yang saling bertentangan: kasar—halus,
kuat—lemah, dan sebagainya. Berbagai subjek (responden) diminta untuk
menempatkan suatu “konsep” tertentu pada bagian-bagian skala itu yang kira-kira
paling cocok untuk si subjek. Contoh yang diberikan oleh penulisnya sendiri
ialah makna kata ayah:
AYAH
Bahagia ---- :
---- : -x-- : ---- : ---- : ---- : ---- sedih
Keras ---- :
--x- : ---- : ---- : ---- : ---- : ---- lembut
Lamban ---- : ----
: ---- : ---- : -x-- : ---- : ---- cekatan
Makna ketujuh bagian dalam skala itu dari
kiri ke kanan, dengan mengambil contoh skala teratas: sangat bahagia, cukup
bahagia, sedikit bahagia, tak bahagia dan tak sedih, atau sama sedih dan
bahagianya; agak sedih; cukup sedih; sedih sekali. Dengan memerhatikan tanda X
pada skala di atas, kita lihat bahwa ayah (father)
dilukiskan sebagai orang yang “sedikit bahagia”, “cukup keras”, dan “sedikit
cekatan”. Konsep-konsep (misalnya tentang ayah tadi) dan skala adjektiva itu
sudah disampelkan secara cermat. Tidak semua konsep adalah nomina; ada juga
nama pribadi (misalnya nama-nama politisi terkenal), gabungan protomina dan
pronominal (my self, my father, dsb),
dan konsep majemuk seperti seni abstrak,
Cina komunis. Skala adjektival ini dikenakan kepada apa yang terkenal
dengan nama analisi faktor (factor analysis) dan ini berarti bahwa
skala-skala itu terbagi ke dalam tiga kelompok, sesuai dengan mana di antara
faktor-faktor berikut yang dominan: evaluasi (baik-buruk), potensi (keras-lembut),
aktivitas (aktif-pasif). Beberapa
faktor lain juga diidentifikasi, tetapi bisa dianggap sebagai kurang penting.
Cara ini mempunyai keuntungan, yaitu kita bisa sampai kepada suatu “ruang
makna” tiga—dimensional dalam mana tiap konsep dapat ditandai tempatnya dengan
melihat berbagai jawaban atas dasar perhitungan statistik.
Pada saat publikasinya, The Measurement of Meaning dibawa ke
kongres linguis di Oslo. Sejak itu, berbagai segi metode itu dikritik, misalnya
tentang: teori kebahasaan yang dipakai sebagai dasar, cara pelaksanaan
sampling, penganalisisan faktor, ketidaktepatan beberapa skala dan segi-segi
lain. kritik yang paling serius adalah yang mengenai judul buku itu. Betulkah apa
yang diukur oleh Osgood dan kawan-kawan itu “makna”? Keberatan ini ditanggapi oleh pengarangnya: “Jelas bahwa
yang kami sajikan bukan suatu indeks tentang apa yang diacu oleh tanda (what sign refer to), dan jika acuan (reference) atau designasi (designation) merupakan hal yang harus
ada pada makna, sebagaimana yang ingiin dinyatakan oleh para pembaca, maka
pembaca akan menyimpulkan bahwa buku ini sama sekali salah judul”. Haruslah
benar-benar dimaklumi oleh pengamat yang kurang cermat bahwa apa yang diukur
oleh pembedaan makan bukanlah “makna” dalam arti sebagaimana diterima oleh
banyak orang. Tetapi jelas pula bahwa apa yang diukur adalah suatu komponen
penting dari makan: itu menjadi sangat mirip dengan apa yang biasa disebut
“konotasi emotif” (emotive connotation).
Menurut Djajasudarma (2009:13) makna
konotatif dan makna emotif dapat dibedakan berdasarkan masyarakat yang
menciptakannya atau menurut individu yang menciptakannya atau menghasilkannya,
dan dapat dibedakan berdasarkan media yang digunakan (lisan atau tulisan),
serta menurut bidang yang menjadi isinya. Makna konotatis berubah dari zaman ke
zaman. Makna konotatif dan emotif dapat bersifat insidental (kejadian yang
terjadi pada waktu tertentu).
Pentingnya percobaan Osgood itu, di
samping membuka jalan bagi penelitian pada masa depan, akan menjadi jelas jika
mengingat kesulitan-kesulitan yang kita sebut sebelumnya pada bagian awal bab
ini. Suatu ganjalan yang paling besar yang ada dalam teori referensial tentang
makna adalah bahwa teori ini harus bergerak dengan proses-proses mental yang
subjektif dan sukar diraba, sebagaimana dikatakan oleh seorang kritikus: “Suatu
pengetahuan yang bersifat empiris tidak dapat menjadi isi (makna) berdasarkan
suatu prosedur di mana orang-orang menyelami benak mereka sendiri,
masing-masing orang memeriksa pikirannya sendiri”. Inilah alasan utama mengapa
berbagai ahli meninggalkan pendekatan tradisional dan mencoba menentukan makna
berdasarkan jalan yang sama sekali berbeda. Pada akhirnya sekarang tampak keinginan
untuk mengajukan teori referensial berdasarkan dasar-dasar empiris. Menurut
kata-kata pengarang sendiri, “dapatkah dikemukakan di sini bahwa data yang kami
olah dalam pengukuran makna ini secara esensial adalah subjektif—yaitu
introspeksi tentang makna menurut si subjek—dan bahwa apa yang kami kerjakan
adalah mengobjektifkan ekspresi-ekspresi yang bersifat subjektif tadi. Ini
sepenuhnya benar, tetapi bukanlah kritik atas metode tersebut. Objektivitas itu
terletak pada peran si pengamat, bukan pada orang yang diamati. Prosedur yang
kami pakai benar-benar menghilangkan kekacauan berpikir peneliti dalam menuju
indeks akhir dari makna, dan inilah esensi subjektivitas itu”. Dengan kata
lain, tiap orang merekam pribadinya sendiri yang seluruhnya merupakan reaksi
subjektif, tetapi pada waktu analisis dirampungkan hasilnya menunjukkan semacam
“rata-rata makna” (semantic average)
yang diperoleh dengan metode statistik yang sepenuhnya objektif.
Eksperimen seperti yang dilakukan Osgood
ini juga akan mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada status ilmu semantik.
Pernah keangkuhan melanda para linguis,
lalu hakikat makna yang dianggap “tidak ilmiah” itu menjadi tidak mempunyai
reputasi, juga ilmu semantik. C.C.Fries, tokoh strukturalis Amerika, pernah
mengatakan bahwa “bagi kebanyakan linguis kata makna itu sendiri hampir menjadi dosa turunan”.
Situasinya menjadi lain ketika Prof.
W.S.Allen dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar (1957) di Universitas
Cambridge mengemukakan bagini, “makna itu, sebagaimana pernah dikatakan oleh
seorang linguis, menjadi ‘sebuah kata yang kotor’; tetapi sementara nama itu
cenderung dihindari, jelas pula bahwa tiap linguis tidak mau mengakuinya
begitu. Dan saya yakin, tanpa makna linguistik tidak bisa ada”. Ambivalensi
semacam itu dalam kongres linguistik di London disebut “crypto-semantics”.
Juga diharapkan agar kemajuan lebih lanjut berdasarkan apa yang dirintis
oleh Osgood dan timnya ini mengakhiri keadaan ini (Ullmann, 1972:80—84).
3.3
Nama
Diri
Mempunyai sebuah nama adalah hak istimewa atau kehormatan (privelese) tiap orang. Dalam Odyssey, kita baca, “Tidak seorang pun,
baik yang rendah maupun yang tinggi derajatnya, yang hidup tanpa nama begitu
dia memasuki (lahir di) dunia”; “tiap orang diberi nama oleh orang tuanya
ketika dia lahir” (Ullmann, 1972:71).
Nama itu memegang peranan penting dalam hubungan
antarmanusia sehingga nama itu sering digayuti oleh kekuatan magis dan
dikelilingi oleh hal-hal gaib dan tabu. Untuk menyebut satu contoh saja, di
antara masyarakat Masai di Afrika, nama orang yang sudah meninggal tidak boleh
disebut-sebut lagi, dan kalau ada kata sehari-hari yang kebetulan mirip
bunyinya seperti nama itu, kata itu harus diganti: “jika seseorang yang tidak
penting bernama Ol-onana (dia yang lembut, lemah atau gagah) meninggal, maka
kegagahan tidak lagi disebut en-nanai lagi sebagaimana biasanya orang menyebut
si mayat melainkan ia akan diganti dengan nama lain, misalnya epolpol (si lembut)”. Takhayul semacam
itu tidak hanya terbatas pada masyarakat primitif: menurut Cicero, pada waktu
pengerahan tenaga milisi, orang Romawi dulu mendaftar orang-orang pertama
dengan nama-nama yang berarti keselamatan atau kebahagiaan seperti Victor atau
Felix, dan pemimpin cacah jiwa (sensus) dengan sebuah nama yang menurut ramalan
membahagiakan.
Nama itu begitu dekat diidentifikasikan dengan pemiliknya
sehingga nama itu segera menggambarkan reputasi, baik dan buruk. Sinonimi
antara nama dengan kemashuran sudah dikemukakan oleh Homer (dalam Odysse,
XIII,1) dan dibuktikan lagi oleh para pengarang Yunani dan Romawi. Dalam karya
Shakespeare, tokoh Juliet, karena tertekan oleh cinta yang terhalang, minta
kepada Romeo, kekasihnya, agar diijinkan untuk “memungut namamu, dan demi
namamu, yang bukan sekadar bagian dari dirimu, mengambil seluruh diriku”,
tetapi untuk orang yang bertanggung jawab, mengganti nama bukanlah barang
kecil. Dalam sebuah novel karya F. Molnar, seorang nak laki-laki anggota
“gang”, yang dituduh bertingkah laku tak senonoh, merasa mendapat penghinaan
besar ketika melihat “nama terhormatnya yang malang” ditulis dalam inisial
berhuruf kecil.
Konsep tentang nama diri (Ullman, 1972:84—94) itu jadinya
berakar dalam pada tradisi, dan dalam kehidupan sehari-hari tidak sulit kita
menemukan nama-nama itu dan membedakannya dari nomina pada umumnya (common noun) dengan cara menuliskan nama
diri itu dengan huruf kapital. Namun tidak selalu mudah untuk mengemukakan
dasar-dasar pembedaan nama diri dengan nomina itu. Sejumlah kriteria untuk
mendefinisikan nama diri memang pernah dikemukakan berkali-kali. Ada lima
kriteria dibicarakan di bawah ini.
(1)
Keunikan
Pada abad kedua sebelum masehi, seorang ahli tata bahasa dari
Yunani, Dyonisius Tharax, menyimpulkan perbedaan antara nama diri dengan nomina
sebagai berikut” “Sebuah nama adalah suatu bagian dari tutur yang tak dapat
diubah yang mengacu suatu badan atau suatu aktivitas, suatu badan seperti batu dan suatu aktivitas seperti pendidikan, dan dapat dipakai baik
secara umum maupun secara individual: secara umum seperti orang, kuda, secara individual seperti Socrates. Dimana-mana penulis ini mendefinisikan nama diri sebagai
“nama yang menandakan (signify)
makhluk secara individual, seperti Socrates,
Homerus”. Pandangan ini, yang juga terdapat pada pengarang-pengarang
berikutnya, melupakan kenyataan bahwa banyak orang yang berbeda-beda dan tidak
saling berhubungan, dan bahkan dari berbagai tempat, bisa saja mempunyai nama
yag sama. Sebaliknya, jika rumusan ini diterima dengan pengertian bahwa nama
diri itu dipakai dalam tutur-sebenarnya untuk mengacu kepada seseorang atau
sesuatu yang spesifik, maka kriteria ini berkoinsidensi dengan kriteria kedua
berikut ini yang juga menyatakan gagasan serupa tetapi dengan istilah yang
lebih tepat.
(2)
Identifikasi
Banyak filosof dan linguis sepakat memandang nama diri itu
sebagai markah identifikasi atau penanda jati diri. Bukan seperti nomina yang
berfungsi sebagai spesimen-bawahan tertentu di bawah konsep umum
(generik)—katakanlah misalnya berbagai rumah, tanpa melihat materi, ukuran,
warna, atau gayanya, berada di bawah konsep umum rumah –maka nama diri hanya bermaksud mengidentifikasikan seseorang
atau sesuatu objek, dengan menyendirikan dari antara butir-butir serupa. Locus classicus dari doktrin ini
terdapat dalam buku I, bab II karya John Struart Mill berjudul A System Of Logic. Mill menyarikan
maksudnya dengan persamaan yang tegas dan kena:
Jika,
seperti perampok dalam cerita Arabian
Nights, kita membuat sebuah markah (tanda) dengan kapur pada tiap rumah
untuk memungkinkan kita agar kita dapat mengenalinya kembali (bahwa rumah itu
akan kita rampok), maka markah itu mempunyai suatu maksud, tetapi tidak
mempunyai makna sendiri… objek pembuatan markah itu hanyalah pembeda… Andaikata
markah dengan kapur itu kita berikan kepada rumah-rumah yang lain, apa jadinya?
Ini hanya menghapuskan perbedaan tampilan antara rumah itu dengan rumah-rumah
yang lain… Ketika memberikan sebuah nama diri, maka kita sebenarnya melakukan
sesuatu yang kira-kira analog dengan apa yang dimaksudkan oleh para perampok
ketika membuat markah kapur pada rumah tadi. Kita meletakkan suatu markah,
sebenarnya pada objeknya sendiri melainkan pada ide dari objek itu. Sebuah nama
diri jadinya tidak lain daripada suatu markah tak bermakna yang kita hubungkan
dalam benak kita dengan ide dari objek tersebut agar supaya manakala markah itu
tertumbuk dengan mata kita atau muncul dalam pikiran kita, kita dapat
membayangkan objek itu sendiri.
Perbandingan lain yang juga kerap dipakai untuk menggambarkan gagasan
serupa adalah penggunaan “label” pada seseorang atau benda agar supaya dapat
mengidentifikasikannya dengan membedakannya dari unsur-unsur lain yang serupa.
Analogi ini, paling tidak dalam penampilannya yang modern, tampaknya sudah
sangat kuna: label-label berisi nama diri sudah ditemukan pada inskripsi-inskripsi
dan naskah-naskah bangsa Mesir (kuna).
(3)
Denotasi
dan Konotasi
Kriteria lain yang terkenal yang diajukan oleh Mill adalah fungsi
“denotatif” dari nama diri yang dipertentangkan dengan nilai “konotatif” yang
dimiliki oleh nomina. Ia mengatakan, “nama diri itu tidak konotatif: nama diri
menunjuk individu-individu yang dinamakan/disebut tetapi nama diri itu tidak
menunjuk atau mencakup atribut-atribut (sifat-sifat) apa pun yang dimiliki oleh
individu-individu itu”. Ini pun tetap demikian dengan makna yang tidak relevan
lagi: tidak perlu diragukan lagi bahwa Dartmouth
memperoleh nama demikian karena keadaan yang ada pada mulut (= mouth) sungai Dart, tetapi nama itu
tetap berlanjut terus meskipun mulut sungai itu sudah tersumbat pasir, atau diubah
bentuknya oleh gempa bumi. Dan Mill menyimpulkan bahwa “manakala nama-nama itu
mempunyai maknanya sendiri, maka makna itu tidak tinggal pada apa yang ditunjuk (didenotasi), melainkan pada
apa yang dikonotasikan. Nama objek
yang tidak mengkonotasikan sesuatu adalah nama sendiri, dan ini tidak mempunyai
makna”.
Sudah dikemukakan bahwa sementara nama diri itu tidak mempunyai makna
tersendiri jika berdiri sendiri, ia akan “mengkonotasi” banyak jika diterapkan
dalam suatu konteks spesifik kepada seseorang atau sesuatu tempat. Jespersen
sebenarnya menolak rumusan Mill dengan megklaim bahwa “nama diri itu
(sebagaimana secara aktual dipakai) ‘mengkonotasi’ sejumlah terbesar atribut”.
Tetapi memang nyata di sini ada kekacauan antara bahasa dan tutur. Benar sekali
kalau kita mengatakan bahwa nama diri itu dipenuhi oleh banyak konotasi jika
diterapkan kepada orang atau tempat yang sudah dikenal baik oleh penutur dan
dan pendengar, tetapi dalam diri nama diri itu, kalau direnggut dari
konteksnya, sering tidak akan mempunyai makna apa pun. Namun kita melihat,
sebuah nomina yang berdiri sendiri akan mempunyai seseuatu makna, meski makna
itu kabur dan ganda, sedangkan sebuah nama diri seperti Thomas atau Alexander tidak
membawa informasi apa pun di luar kenyataan apa adanya bahwa nama itu menunjuk
seseorang; bahkan kita tidak tahu apakah nama itu nama keluarga atau nama
baptis (nama ketika dibaptis menjadi orang kristen). Ini sekadar cara lain
untuk mengatakan bahwa nama diri itu mengidentifikasikan (identify) dan tidak mengartikan (signify). Dengan demikian maka hal ini sebenarnya bukan suatu
kriteria baru, melainkan hanya suatu segi khusus dari kriteria sebelum ini.
(4)
Bunyi
Distingtif
Di dalam bukunya The Theory of
Proper Names, Sir Alan Gardiner, mengakui identifikasi merupakan tujuan
yang esensial daripada nama diri, tetapi ia juga menambahkan kriteria lain,
yaitu bunyi distingtif. Tentu saja, adalah merupakan ciri semua kata (kecuali
dalam hal yang agak khusus pada homonim-homonim) untuk memiliki bentuk
tersendiri yang membedakan dirinya dengan kata lain; keseluruhan prinsip
fonetik, sebagaimana yang kita lihat, didasarkan pada tuntutan itu. Tetapi
Gardiner merasa bahwa dalam hal nama diri, keterbedaan semacam ini sangat
penting sekali. Dia mengajukan dua alasan untuk pandangannya ini:
Pertama,
benda-benda yang disebut oleh nama diri itu sebagian besar adalah anggota
seperangkat benda yang mengandung hubungan-hubungan yang lebih menitikberatkan
kepada perbedaan-perbedaan itu, sehingga dituntut adanya label-label khusus untuk
memarkahi perbedaan itu. Dan yang kedua, nama aktual itu memaksa menarik
perhatian kita lebih daripada kata-kata yang lain. lihat saja di mana tempat
kita hidup, yang dipenuhi oleh nama-nama kristen dan introduksi-introduksi
orang-orang dengn nama tersebut.
Perpaduan antara dua kriteria itu, yaitu identifikasi dan perbedaan
bunyi, sampai kepada definisi yang tersusun rapi, yang menjadi bentuk akhir di
dalam bagian Retospect dari bukunya yang edisi kedua:
Nama
diri adalah sebuah kata atau sekelompok kata yang dikenal memiliki identifikasi
sebagai tujuan khususnya, dan yang akan mencapai, atau cenderung mencapai,
tujuan itu dengan menggunakan bunyi distingtifnya sendiri, tanpa melihat makna
apa yang dimiliki oleh bunyi itu sejak semula, atau yang diperolehnya melalui
asosiasinya dengan objek atau objek-objek yang karena itu diidentifikasi.
(5)
Kriteria
Gramatikal
Perbedaan nama dan
fungsi di antara nama diri dan nomina juga tercermin dalam
kekhususan-kekhususan gramatikal. Hal ini bervariasi darisatu bahasa ke bahasa
lain, dan kadang-kadang juga bervariasi dari waktu ke waktu dalam sebuah
bahasa. Beberapa kekhususan murni konvensional, dan yang lain didikte oleh
fungsi khusus nama diri. Misalnya, dalam bahasa Fiji nama tempat dan orang
didahului oleh prefiks ko, nomina di
dahului oleh na: na vanua levu ‘tanah
luas; pulau besar’ –ko vanua levu ‘Pulau
Besar’ (yaitu nama pulau terbesar di kepulauan Fiji). Dalam bahasa Inggris,
kontras seperti itu dimarkahi oleh ada atau tidak adanya artikel: the (atau a) long island—Long Island;
the (atau a) white chapel – White chapel). Pemakaian artikel dan kata-kata
“pewatas” semacam itu memang merupakan salah satu kriteria gramatikal yang
paling luas tersebar untuk membedakan nama diri dan nomina, tetapi dalam
operasinya ia berbeda dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris, nama orang
tidak memakai artikel kecuali dalam hal-hal khusus (‘the Lloyd George we knew’ L.G yang kita kenal). Namun, ada dan tidak adanya artikel bukanlah
suatu kriteria yang secara universal valid, karena banyak bahasa, seperti
bahasa Latin, dan sebagian besar idiom Slavonik, sama sekali tidak mempunyai
artikel.
Kriteria gramatikal
yang lain yang sering dikutip adalah bahwa sebagian besar nama diri itu tidak
mempunyai bentuk jamak (plural).
Sebagai suatu kecenderungan umum, tentu saja kriteria ini benar dan bahkan tak
dapat dielakkan karena mengidentifikasikan fungsi nama diri tidak mudah sejalan
dengan gagasan kejamakan itu. Tetapi banyak juga kekecualiannya. Nama-nama diri
tertentu hanya dipakai dalam jamak: ini mencakup beberapa nama kelompok yang
tersebut pada alinea di atas, misalnya kepulauan dan pegunungan, dan juga rasi
bintang (The Pleiades), beberapa nama
suku (bahasa Latin Ramnes, dsb.),
maupun kadang-kadang nama tempat seperti kota Athena dalam bahasa Yunani dan
bahasa Latin. Beberapa kategori nama diri dapat dipakai untuk tunggal maupun
jamak: nama Kebangsaan (a Spaniard—two
Spaniards), nama keluarga, nama dinasti, dsb. Dalam hal nama keluarga, ada
perbedaan menarik antara bahasa Inggris dan Prancis: kalau bahasa Inggris
memakai bentuk jamak, seperti dalam “I
had dinner with the Martins”.
Bahasa Prancis memakai bentuk tunggal, seperti buku kronik keluarga Roger
Martin du Gard, Les Thibault.
Kelompok kekecualian terakhir mencakup pemakaian bentuk jamak dalam konteks
khusus: ‘there are two Pauls in this form”. Hal-hal ini
harus dibedakan dari bentuk jamak nama diri yang dipakai sebagai nomina: “I saw several Turnors ( =
lukisan-lukisan karya Turnor) in the
gallery”.
Begitulah, tampak di
sini, di antara lima kriteria yang kita bicarakan, kriteria kedua adalah yang
paling bermanfaat. Perbedaan esensial antara nomina dengan nama diri terletak
pada fungsinya: nomina adalah satuan bermakna (meaningful unit), sedangkan nama diri adalah pemarkah identifikasi
(identification mark). Kriteria ini
dapat ditambah dengan faktor kebedaan bunyi, suatu faktor yang penting tetapi
tidak terlalu persis. Kriteria lainnya terbatas ruang lingkupnya atau sudah
terimplisit ke dalam fungsi identifikasi tadi.
Meskipun tampaknya
mudah membedakan nama diri dengan nomina garis batas antara keduanya belumlah
final. Banyak nama diri yang diturunkan dari nomina masih jelas menunjukkan
jejak asalnya: nama tempat seperti Blackpool
dan Newcastle, nama keluarga
seperti Smith ‘tukang besi’ dan Carpenter ‘tukang kayu’; nama baptis
seperti Pearl ‘mutiara’ dan Heather ‘sejenis rumput’ (perhatikanlah
juga nama-nama Jawa dulu, seperti Kebo
Ijo ‘kerbau hijau’ dan nama Majapahit).
Nama diri yang lain, meskipun tidak begitu jelas asal-usulnya, paling sedikit
mempunyai suatu unsur yang dapat dianalisi, misalnya nama-nama tempat yang
berakhir dengan caster, cester, dan chester, semuanya berasal dari kata
Latin castra ‘kemah, tempat tinggal
sementara’ (Di Indonesia kita mengenal nama-nama tempat yang berakhir dengan pura, kata Sanskrit yang berarti ‘kota’,
di Jawa dengan unsur wono ‘hutan’, di
Bali dengan unsur abian ‘kebun’).
Studi tentang nama diri, yang dapat memberikan sinar terang kepada banyak aspek
politik, ekonomi, dan sejarah kemasyarakatan, baru-baru ini telah menegakkan
dirinya sebagai suatu cabang linguistik yang setengah independen, dan sudah
mengadakan kongres khusus dan mempunyai jurnal sendiri. Ilmu ini terkenal
dengan nama onomastik, mempunyai dua
bagian yaitu toponimi (dari kata
Yunani topos ‘tempat’ + onoma ‘nama’), yaitu studi tentang
nama-nama tempat, dan antroponimi (kata
Yunani antopos ‘orang, manusia’),
yaitu studi tentang nama orang.
Tidak kurang
seringnya adalah proses yang sebaliknya dari proses di atas, yaitu nama diri
ditarik menjadi nomina. Perubahan ini begitu terkenal sehingga diperlukan
pembicaraan yang terperinci. Secara umum, perubahan ini menjadi dua kelompok.
Sebagian perubahan itu bersifat “metaforis”,
berdasarkan semacam kesamaan atau unsur umum. Ini terjadi manakala
seseorang atau sesuatu tempat memberikan namanya kepada keseluruhan golongan
orang atau tempat yang serupa: nama Cicero
untuk semua pramuwisata yang banyak omong yang terkenal sebagai cicerone, atau kota Belgia Spa, yang termasyhur karena pengaruh
sumber mineralnya yang dapat menyembuhkan, yang kemudian dipakai untuk semua
sumber yang serupa itu. Kelompok kedua bersifat “metonimi”, yang didasarkan kepada suatu keterkaitan yang bukan
kesamaan: antara penemu dengan temuan, antara produk dengan tempat asal, dsb.
(misalnya ikan mujahir berasal dari
Mujahir, orang yang membudidayakan ikan tersebut; kacang bogor, dsb) contoh-contoh dari proses ini akan siap bersemi
pada setiap benak kita. Kejelasan nomina terutama akan bergantung kepada
bagaimana luas keterkenalan nama diri itu: orang tadinya tidak mengira bahwa
kata chauvinis (cinta tanah air yang
berlebihan, kadang-kadang sampai menganggap rendah tanah air bangsa lain)
berasal dari sebuah nama diri, sampai orang itu diberitahu akan adanya orang
bernama Nicolas Chauvin dari
Rochefort, seorang prajurit dalam tentara Napoleon. Ia memiliki patriotisme
yang diperagakan secara naif, yang dicemooh dalam lukisan-lukisan dan di atas
panggung. Penurunan nomina dari nama diri dapat juga dikaburkan oleh perbedaan
fonetis. Kata Inggris Sherry, berasal
dari nama kota di Spanyol Xeres (sekarang
Jerez de la Frontera), tetapi kata
Inggris itu kehilangan –s pada akhir
kata karena orang salah menafsirkan –s itu
sebagai penanda jamak: a “good sherris—sack
hath a two fold operation in it”, kata Falstaff dalam King Henry the Fourth, bagian II. Kekaburan juga dapat disebabkan
oleh tidak adanya hubungan yang jelas antara nama diri dan nomina yang bersifat
homonim. Hubungan apakah yang mungkin ada antara kata Prancis fiacre ‘kereta sewaan, taksi’, dan orang
suci Irlandia yang mempunyai nama sama yang hidup pada abad ke-7? Ternyata ada
juga hubungan itu, meskipun barang kali secara kebetulan seorang saksi mata,
yaitu seorang penyusun kamus abad ke-7 bernama Menaga, telah mencatat bahwa
kereta-kereta sewaan itu disebut demikian (fiacre)
karena kereta-kereta itu biasanya diparkir di depan sebuah rumah di Jl.
Saint-Antoine di Paris, dan di rumah itu tergantung gambar orang suci Fiacre
itu.
Harus dicatat bahwa
kalau sebuah nama diri menjadi kata biasa maka ia tidak selalu harus menjadi
nomina: ia misalnya bisa menjadi verba. Dalam tahun 1818,
Dr.T.Bowdlermempublikasikan suatu edisi buku Shakespeare yang sudah dikebiri
oleh Bowdler sendiri. Dua puluh tahun kemudian muncul verba dari nama itu:
Bowdlerize. Kasus yang lebih menarik adalah kasus Burke yang dieksekusi
(digantung) di Edinburg tahun 1892 karena mencekik orang dan kemudian menjual
tubuh orang itu untuk pembedahan. Menurut laporan sebuah koran yang terbit pada
waktu itu, pada waktu eksekusi para penonton berteriak-teriak: “Burke him, Burke him – give him no rope” (‘Gantung dia – tak usah
diselubungi’). Verba Burke itu
ditemukan dalam pengertian fisik dalam Ingoldsby
Legends: “The rest of rascals jump’d on him and Burk’d him”: hampir sepuluh tahun kemudian setelah peristiwa itu,
kata itu sudah memperoleh makna kias.
Secara semantik,
perubahan nama diri ke dalam kata biasa menyebabkan perluasan rentangan. Untuk
mengambil sebuah contoh saja, pada pertengahan kedua abad ke-19 di Prancis,
seorang kepala daerah Seine, bernama Poubelle, memerintahkan warganya untuk
menjawab memakai tong-tong sampah/debu, dan sejak itu semua barang sejenis itu
disebut poubelle. Kalau nomina
dijadikan nama diri; maka perubahan itu mungkin diikuti oleh penciutan
rentangan, tetapi hal seperti itu tidak selalu terjadi. Memang ada penciutan
itu kalau nomina menjadi nama tempat: banyak sekali ada kebun jeruk dan pasar baru,
tetapi hal sebagai nama diri Kebun Jeruk dan Pasar Baru, setidaknya untuk warga Jakarta, hanya mengacu satu
tempat saja atau sejumlah kecil nama-nama tempat yang homonim. Tetapi tidak ada
penciutan pada nama keluarga dan nama baptis yang diturunkan dari nomina biasa.
Kita akan sia-sia untuk berspekulasi apakah di dunia ini ada lebih dari satu smith ‘tukang besi’ atau Smith, ada lebih dari satu orang yang
disebut George atau george ‘suami rumah tangga, suami
menganggur’. Dalam semua proses ini, perluasan atau penciutan yang mungkin
sudah terjadi bukanlah hal yang terpenting. Masalah pokoknya ialah bahwa suatu
markah atau penanda identifikasi sudah menjadi sebuah lambang yang bermakna,
atau sebaliknya.
4.
Diskusi
Kami kurang setuju dengan pendapat Ullmann yang mengatakan
bahwa dalam segitiga semiotik, ‘referent/acuan’ hendaknya disingkirkan karena
tidak termasuk bagian bahasa. Kami berpendapat, semua unsur segitiga semiotik
tersebut saling berhubungan, jika ‘acuan’ dihilangkan maka seseorang tidak
mengetahui objek atau hal yang dibicarakan atau yang dimaksudkan. Jadi ‘acuan’
juga menjadi salah satu komponen yang harus tetap ada dalam segitiga semiotik,
bukan hanya hubungan timbal balik antara symbol
dan reference. Tetapi kami
sependapat dengan Ullmann yang menyadari bahwa segi tiga yang digambarkan oleh
Odgen dan Richard hanya dilihat dari sudut pandang pendengar sehingga Ullmann
membuat konsep adanya hubungan timbal balik karena ia memikirkan sudut pandang
penutur juga.
Menurut kami, penelitian yang dilakukan Osgood tidak mengacu
pada pengukuran makna dalam arti yang sesungguhnya. Dan kami berpendapat bahwa
makna tidak bisa diukur yang dapat diukur adalah makna emotif dari sebuah kata.
Kami setuju dengan adanya pemberian ‘nama diri’ sebagai
markah atau tanda identitas seseorang. Dengan adanya nama diri, lebih
memudahkan manusia dalam berinteraksi dengan manusia yang lain. Selain itu, lebih
memudahkan dalam benak kita dalam
membedakan seseorang dengan orang
yang lain karena adanya nama diri tersebut. Semakin unik nama diri yang
dipakai, maka semakin berbeda dan mudah diingin sebagai tanda orang tersebut.
Ullmaan menyebutkan adanya tiga batasan untuk ‘nama diri’,
yakni: nomina dijadikan nama diri, nama diri dijadikan nomina, dan nama diri
dijadikan verba. Dan kami menemukan batasan ‘nama diri’ yang lain, yakni verba
dijadikan nama diri. Misalnya: nama desa Sidokumpul
berasal dari verba sido dan kumpul (dalam bahasa Jawa). Itulah asal
usul pemberian nama desa tersebut yang bermula dari adanya dua desa yang
terpisah dan kembali berkumpul menjadi satu.
5.
Penutup
a. Makna
memiliki dua definisi yaitu definisi makna yang bersifat analitis atau
referensial yang mencari esensi makna dengan cara memecah-mecahkan makna
menjadi komponen-komponen utama, dan makna yang bersifat operasional
(kontekstual) yang mempelajari kata dalam operasi atau penggunaannya, yang
kurang memerhatikan “persoalan apakah makna itu”, tetapi lebih tertarik pada
persoalan bahagaimana kata itu “bekerja”.
b. Makna
yang dapat diukur adalah jenis makna emotif.
c. Adanya
‘nama diri’ adalah nama yang menandakan (signify)
makhluk secara individual. Dan sebuah ‘nama diri’ itu sebuah markah tak
bermakna yang jika dipisahkan dari konteks atau sebuah kalimat.
Daftar
Pustaka
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2012. Semantik 1: Makna Leksikan dan Gramatikal. Bandung: PT Refika
Aditama.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2009. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT Refika Aditama
Pateda, Mansoer. 1996. Semantik
Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.
Ullmannn, Stephen. 1972. Semantics:
An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell.
Ullmannn, Stephen. 1972. Semantics:
Pengantar Semantik. Diadaptasi oleh Sumarsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar