

LINGUISTIK FORENSIK
Oleh
Jose Da Conceicao Verdial
A. Pengantar
Kata forensik bearasal dari kata bahasa Latin forēns(is), yang
bermakna ”berkaitan dengan forum
atau publik”. Secara
morfologis, kata forēns(is) dibentuk dari kata forum yang kehilangan suku-kata
akhirnya saat dipadu dengan akhiran infleksi –ensis. Kata forum sendiri
bermakna “tempat umum atau
publik‟. Dalam bahasa Indonesia, kita memahami kata forensik dalam maknanya
yang paling mutakhir dan sangat khusus: “cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan
fakta medis pada masalah hukum‟ dan “ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas
mayat seseorang yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan‟.
Makna kata forensik yang terdapat dalam KBBI edisi IV ini terbilang
sempit sebab KBBI hanya menghubungkan forensik dengan ilmu kedokteran dan
bedah. Sebetulnya, makna inti dari istilah forensik adalah “yang ada kaitannya dengan kehakiman dan
peradilan‟; perihal apa yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan itu,
apa saja bisa. Dan salah satu hal dari yang apa-saja-bisa itu adalah
linguistik.
Dalam penggunaan modern, istilah "forensik" di tempat
"ilmu forensik" dapat dianggap benar sebagai istilah
"forensik" yang
merupakan sinonim dari "hukum"
atau "berhubungan dengan pengadilan".
Linguistik forensik adalah penerapan pengetahuan linguistik, metode dan wawasan untuk konteks forensik
hukum, bahasa, investigasi kejahatan,
percobaan, dan prosedur peradilan. Ini
adalah cabang linguistik terapan. Disiplin linguistik forensik tidak homogen, melainkan melibatkan berbagai ahli dan peneliti di berbagai lingkup ilmu. Ada tiga bidang utama aplikasi untuk ahli bahasa yang bekerja dalam konteks forensik
yakni :
1. pemahaman bahasa hukum
tertulis,
2. pemahaman penggunaan bahasa dalam proses forensik
dan
3. peradilan dan penyediaan bukti linguistik.
Selain
itu pengertian linguistik forensik menurut Purnomo (2011) kajian ini membahas penggunaan bahasa dalam
bidang hukum, yang mencakup identifikasi penutur atau penulis asli sebuah
dokumen, interpretasi produk hukum, kesaksian ahli bahasa, bagaimana bahasa
dipergunakan dalam proses hukum (peradilan) sejak polisi memeriksa terdakwa dan
saksi sampai bahasa oleh hakim, jaksa, dan penasehat hukum dalam ruang sidang
pengadilan. Linguistik forensik digunakan menentukan keaslian penulis
dari suatu tulisan, seperti apakah sebuah surat wasiat benar-benar asli atau
tiruan, atau keaslian sebuah dokumen dilihat dari ejaan yang berlaku dan gaya
penulisan saat itu. Sehingga dia menyimpulkan bahwa kajian ini adalah bahasa hokum dalam
linuistik terapan.
Menurut Saifullah
(2009) linguistik forensik adalah bidang linguistic terapan yang melibatkan
hubngan antara bahasa, hukum dan kejahatan sehingga kajian linguistik
linguistik lazim disebut dengan studi bahasa teks- teks hukum. Selain itu linguistik forensik juga untuk mempelajari
bahasa yang mana digunakan dalam pemerisaksaan silang, bukti presentasi, arah
hakim, menyimpulkan pada juri, peringatan pilisi, wawancara teknik, dan
introgasi pengadilan dan polisi.
Menurut Azis (2011)
dalam Pembukaan Kongres Internasional Masyarakat Linguistik
Indonesia, bahwasanya linguistik forensik adalah bidang ilmu yang dapat
mendeteksi kebohongan keterangan yang dibuat seseorang dan ini berguna dalam
mengungkapkan berbagai kasus tindak pidana seperti korupsi hingga kasusu
criminal lainnya.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya linguistik forensik bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkap
kasus- kasus kriminal dan tentunya
berhunbungan dengan hukum. Bagaimana bahasa berperan dalam bidang hukum dan
peradilan serta wacana yang ada pada kasus- kasus kriminal tersebut dianalisis
dengan kajian linguistik. Dengan adanya ilmu linguistik forensik sehinga dapat
menentukan dan mencari kebenaran dari suatu kasus dengan melakukan analisis
bahasa. Karena sebagai mana diketahui bahasa adalah suatu hal yang dinamis
dimana bahasa merupakan gambaran dari pemikiran seorang penuturnya. Dengan
bahasa orang bisa mempermainkan makna sehinga hal yang benar bis menjadi salah
serta yang salah bisa dibalikkan
menjadi hal yang benar. Tegantung seberapa cerdik dan lincahnya seorang penutur
berperan untuk memproduksi bahada yang dikelurakannya. Berdasarkan hal inilah
seorang linguis harus mampu mengungkap kebenaran dari tuturan serta wacana yang
dikelurkan oleh seseorang dalam kajian linguistik forensik. Singkatnya,
kebohongan dalam kasus yang ada di ranah publik akan mampu terkuak dengan para
linguis yang mendalami linguistik forensik ini.
B. Munculnya Linguistik Forensik
Linguistik forensik adalah salah satu dari
banyak cabang ilmu linguistik. Ia masuk dalam kategori linguistik interdisipliner.
Maksudnya, linguistik forensik adalah wujud dari persinggungan antara
linguistik dengan bidang atau ranah legal dan hukum dan peradilan. Istilah
linguistik forensik itu sendiri mencuat pertama sekali pada tahun 1968 ketika
seorang profesor Linguistik, Jan Svartvik, menggunakannya dalam rangka
pengkajian pernyataan-pernyataan Timothy John Evans, seorang pengemudi truk
berkebangsaan Wales yang divonis mati oleh pengadilan Inggris atas tuduhan
pembunuhan Geraldine Evans, seorang bayi perempuan berusia 13 bulan, yang
merupakan putrinya sendiri.
C. Peran Linguistik Forensik
Tidak ada
ranah hidup manusia yang tidak disentuh oleh komunikasi. Dengan kata lain tidak
ada ranah hidup manusia yang tidak disentuh oleh bahasa, yang merupakan alat
komunikasi dalam arti luas. Logika inilah yang membuat ilmu bahasa, linguistik,
mempunyai peran/andil dalam ranah hukum dan peradilan. Linguistik forensik
berperan sebagai sebuah pisau-kaji yang mengupas dan menjabarkan secara
linguistik interaksi bahasawi yang terjadi antara “orang-orang legal‟ dan “orang-orang
awam‟. Yang dimaksud dengan “orang-orang legal‟ di sini mencakup pembuat
undang-undang, pembuat kitab hukum, pembuat peraturan, sampai pada petugas
kepolisian. Sementara itu, “orang-orang awam‟ adalah siapa saja yang menjadi “lawan-bicara‟
dari orang-orang legal.
Teks legal,
baik lisan maupun tertulis, adalah bahan yang dibedah oleh seorang linguis
forensik. Teks legal di sini mencakup naskah undang-undang, hukum, dan
peraturan legal, transkripsi rekaman interogasi yang dilakukan terhadap
tersangka, transkripsi rekaman hasil kegiatan mata-mata terhadap tersangka,
naskah nota kesepahaman bisnis, dan segala macam teks yang menjadi bahan
penyelidikan untuk keperluan hukum dan peradilan.
Kajian
linguistik forensik masih terbilang baru. Namun, kajian ini telah sampai pada
tataran kemapanannya sebagai sebuah disiplin dalam ranah akademik dan
profesional. Di tahun 1993 telah terbentuk sebuah asosiasi profesional bagi
para linguis forensik: The International
Association of Forensic Linguists. Setahun setelahnya, 1994, dibentuk pula
sebuah jurnal otoritatif bertajuk International Journal of Speech, Language and
the Law. Sampai sekarang, setidaknya ada tiga universitas yang menawarkan
program pendidikan jenjang master dalam bidang ilmu linguistik forensik: dua di
Inggris (universitas Aston dan Cardiff) dan satu di Spanyol (universitas Pompeu
Fabra).
Di Aston
sendiri, kini telah berdiri sebuah pusat linguistik forensik, yang menyediakan
berbagai pelatihan dan kuliah musim panas bagi para calon linguis forensik
profesional. Ada beberapa pisau-kaji yang dimiliki linguistik yang dapat
dipakai untuk menyelidiki teks-teks legal. Linguistik punya fonetik,
stilistika, analisis makna (semantik dan pragmatik), analisis wacana (yang di
dalamnya tercakup pula semiotika), dan dialektologi. Seorang linguis forensik
profesional dapat dipanggil dan diminta pandangannya sebagai saksi-ahli dalam
sebuah persidangan yang membutuhkan analisis linguistik atas barang bukti atau
materi yang berhubungan dengan kasus yang sedang diperkarakan.
D.
Ranah Kajian Linguistik Forensik
dalam Dunia Hukum
Olsson (2008)
mengatakan bahwa dalam linguistik forensik pengetahuan dan teknik-teknik
linguistik diterapkan untuk mengkaji fenomena kebahasaan yang terkait dengan kasus
hukum dan pemeriksaan perkara; atau sengketa pribadi antara beberapa pihak yang
pada tahap berikutnya berdampak pada pengambilan tindakan secara hukum. Jika
diperinci lebih jauh,perhatian utama dari linguistik forensik adalah: (1)
bahasa dari dokumen legal, (2) bahasa dari polisi dan penegak hukum, (3)
interview dengan anak-anak dan saksi-saksi yang rentan dalam sistem hukum, (4)
interaksi dalam ruang sidang, (5) bukti-bukti linguis dan kesasian ahli
persidangan, (6) kepengarangan dan plagiarisme, serta (7) Fonetik forensik dan
identifikasi penutur (Coulthard dan Johnson, 2007:5)
Dari paparan
mengenai ruang lingkup linguistik forensik tersebut terlihat bahwa dimensi
kajiannya cukup luas dan melibatkan semua tataran liguistik, mulai dari
fonetik, morfologi, morfosintaksis, sintaksis hingga pragmatik. Sejumlah teori
yang berkaitan dengan nalisis linguistik forensik adalah fonologi (fonetik
akustik), sintaksis, semantik, pragmatik, dan analisis wacana kritis.
Dalam proses
penyelidikan dan penyidikan, linguis forensik dapat pula membantu tim
investigasi untuk melakukan, misalnya, analisis fonetik terhadap sebuah rekaman
percakapan. Di banyak kesempatan, analisis fonetik dapat dipakai untuk
melakukan identifikasi (pemilik) suara. Untuk kasus lain, perkara plagiarisme
karya tulis misalnya, stilistika dapat digunakan untuk membuktikan
benar-tidaknya suatu karya itu produk plagiat sebab stilistika mampu mengkaji
tingkat kemiripan gaya suatu tulisan dengan tulisan lain. Di tataran yang lebih
lanjut, seorang linguis forensik bahkan dapat membatalkan vonis yang telah
dijatuhkan pengadilan pada terdakwa jika ia dapat membuktikan secara jernih,
lewat analisis pragmatik atas rekaman dan-atau transkripsi interogasi, bahwa
terdakwa tersebut, misalnya, dalam interogasi digiring oleh interogator untuk
mengakui perbuatan yang sebetulnya tidak dilakukannya.
Linguistik
Forensik adalah bidang linguistik terapan yang melibatkan hubungan antara
bahasa, hukum, dan kejahatan. Karena itu kajian linguistik forensik lazim
disebut sebagai studi bahasa teks-teks hukum. Studi bahasa teks-teks hukum
meliputi berbagai jenis dan bentuk analisis teks. Termasuk menganalisis dokumen
linguistik produk Parlemen (atau badan pembuat hukum), kehendak pribadi,
penilaian dan surat panggilan pengadilan dan undang-undang badan-badan lainnya,
seperti Serikat dan departemen pemerintah. Salah satu bidang yang penting
adalah bahwa dari efek transformatif Norman Perancis dan rohaniwan Latin pada
perkembangan hukum Inggris, dan evolusi dialek hukum yang terkait dengannya.
Juga dapat merujuk kepada usaha-usaha berkelanjutan untuk membuat bahasa hukum
lebih dipahami oleh orang awam. Linguistik forensik juga mempelajari bahasa
seperti yang digunakan dalam pemeriksaan silang, bukti presentasi, arah hakim,
menyimpulkan kepada juri, peringatan polisi, 'polisi bicara', wawancara teknik,
proses interogasi di pengadilan dan wawancara polisi.
E.
Contoh Kasus yang Pernah Diselesaikan
Seperti yang
sudah disinggung sebelumnya, dalam pelaksanaannya Linguistik Forensik
menggunakan beberapa metode yang terbukti cukup efektif dalam memecahkan
kasus-kasus pelik. Berikut ini beberapa contoh pemecahan kasus dengan
menggunakan-metode-metode Linguistik Forensik tersebut.
a.
Kasus
kasus suap Artalyta Suryani kepada beberapa pejabat kejaksaan (Fonetik
Akustik)
Sebagai alat untuk menganalisis dan memaparkan
frekuensi dan tekanan suara, spektograf mempunyai peranan penting dalam
mengungkapkan kasus-kasus kebohongan, penghinaan, atau pelecehan. Alat ini
digunakan sebagai salah satu alat pendeteksi bahasa yang diujarkan oleh
seseorang yang terlibat kasus hukum. Di luar negeri spektograf sudah lama
digunakan sebagai salah satu alat bukti ukum. Sementara di Indonesia alat ini baru
digunakan beberapa tahun belakangan.
Pada kasus
suap yang dilakukan Artalyta Suryani kepada beberapa pejabat kejaksaan alat ini
digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Suara tersangka Urip Tri Gunawan di
telepon dipastikan dengan metode akustik. Senjata baru untuk pengadilan di
Indonesia. Urip Tri Gunawan masih mencoba bersiasat ketika menyebut kata
Singapura lewat telepon, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dengan
mengatakan: ”Itu kata-kata Artalyta,” Jaksa sebenarnya sudah mengantongi call
detail record (CDR) dari telepon kedua tersangka. Namun penyidik perlu
membuktikan suara di telepon tersebut milik Urip dan Artalyta. Apalagi, ada
percakapan telepon di antara keduanya yang dilakukan tanpa menyebut nama dan kasusnya.
Pada
percakapan 10 Juni, misalnya, Artalyta memanggil Urip sebagai Pak Guru, sedangkan Urip memanggil
Artalyta (kini sudah divonis 5 tahun)
penjara - Bu Guru. Pemanfaatan teknik forensik suara ini merupakan langkah
penting dalam pengadilan di Indonesia. Memang, Undang-Undang tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik menyatakan informasi elektronik, termasuk suara hasi
penyadapan, merupakan alat bukti hukum yang sah. Persoalannya, tanpa metode
pembuktian yang sahih, fakta hukum ini gampang disanggah. Untuk memastikan
suara di telepon itu milik Urip, maka kita harus membandingkan suara tersebut
dengan suara yang sudah diketahui sebagai suara dia. Suara pembanding ini di
antaranya rekaman suara Urip saat ia diperiksa tim penyidik.
Dalam teori
fonetik akustik dapat dibuktikan bahwa setiap orang mempunyai bunyi ujaran yang berbeda sehingga
ciri khas orang berbicara dapat dianalisis melalui spektograf. Misalnya, kata
“Surabaya” yang diujarkan Urip Tri Gunawan akan berbeda jika diujarkan oleh
Artalyta Suryani atau oleh siapa pun. Hal ini berhubungan dengan alat produksi
suara, yaitu alat ucap manusia yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Selain itu,
ada dua metode yang bisa dipakai untuk menentukan jati diri pemilik suara di
telepon, yaitu metode subjektif dan obyektif. Pada metode subjektif, penilaian
dilakukan oleh sejumlah responden. Dalam hal ini, responden bertugas menilai
kemiripan suara di telepon dengan suara pembanding. Jepang dan beberapa negara
di Eropa biasa memakai penilaian subjektif ini dalam forensik suara. ”Di sana
cara itu amat mungkin dilakukan karena sudah ada bank data suara yang memadai.
Memang, akurasi metode ini bergantung pada jumlah sampel suara yang tersedia.
Metode
objektif disebut source filter model adalah metode pemeriksaan suara yang
menggabungkan hasil pengamatan atas produksi suara dan persepsinya. Cara
bekerjanya adalah mula-mula kita mengumpulkan kata-kata yang diucapkan terdakwa
yang bisa dibandingkan dengan suara di telepon yang akan diperiksa. Proses ini
memang cukup memakan waktu. Basis pembandingnya adalah kutipan kata yang sama.
Misalnya, kata ”saya” tidak akan masuk data penelitian jika hanya terucap sekali.
Tapi, kalau misalnya terucap 10 kali, kata itu menjadi calon untuk pembanding.
Pada
transkrip rekaman penyadapan Urip Tri Gunawan terkumpullah 15 kata yang bisa
dibandingkan. Di antaranya ”ya, saya, telepon, Singapura, teman, di mana, mobil,
pernah”. Kata-kata ini merupakan ciri khas suara Urip Tri Gunawan, yang dapat
dibedakan dari suara ujaran orang lain. Dengan peranti lunak khusus, kata-kata itu
dianalisis di komputer. Nama peranti lunaknya Praat, buatan kelompok riset
linguistik Belanda, yang bisa diunduh gratis di www.praat.org. Meski gratis, peranti
ini canggih. Menurut Joko, Praat bisa menganalisis secara akurat karakter suara,
gaya bicara, baik asli maupun setelah ”tersaring”, serta spektrum dan intensitas
suara obyek yang dipindai. Semua kalkulasi itu berjalan otomatis.
Namun,
prosesnya tak sesederhana seperti yang terlihat di film-film, berupa perbandingan
kurva-kurva suara di layar komputer. Voice print, nama untuk kurvakurva itu,
hanya salah satu parameter dalam metode ini. ”Kita harus melihat lebih ke
dalam, sampai ke karakteristik apa saja yang terkandung di dalam suara itu. Hasil
analisis Joko, seorang ahli forensik akustik, atas suara di telepon itu identik
93 persen dengan suara Urip. Pada metode ini, dua suara sudah disebut identik
jika tingkat kesesuaiannya di atas 90 persen. Ini akibat suara yang gampang sekali
berubah-ubah, tergantung kondisi saat suara direkam.
Pada kasus
Urip, misalnya, suara yang dianalisis adalah suara di telepon, sedangkan pembandingnya
rekaman suara dalam ruangan. Bahkan suara sudah bisa berubah cuma oleh serangan
flu. ”Dengan memperhatikan faktor-faktor itu, tentu saja akurasi mendekati 100
persen sulit diperoleh. Di Eropa, Jepang, Australia, dan Amerika
Serikat, penilaian untuk metode itu sudah baku, mengacu pada standar yang
dikeluarkan asosiasi forensik suara. Asosiasi ini menginduk pada International Association
of Forensic Linguists. Teknik forensik atas suara Urip-Artalyta tetap sahih
karena sudah mengacu pada standar operasi yang sudah berlaku di Amerika.
Daftar
Pustaka
Kusharyanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami
Linguistik. Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka Utama.
Saifullah,
Aceng Ruhendi. 2009. “Analisis Linguistik
Forensik terhadap Tindak Tutur yang Berdampak Hukum.Universitas Pendidikan
Indonesia. di unduh tanggal 10 maret 2012. file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS.../cover.pdf
Azis,
Aminudin. 2011. “Linguistik Forensik
Ungkap Deteksi Kebohongan Koruptor”. Di unduh
tanggal 9 maret 2011 www.jurnas.com/halaman/9/2011-10-11/185134
Purnomo, Mulyadi Eko. 2011 “AWK untuk Menemukan Ideologi yang
Tersembunyi”. Di unduh tanggal 10 Maret 2012 www.unsri.ac.id/?act=info_detil&id=263
Tidak ada komentar:
Posting Komentar