Minggu, 12 November 2017

LINGUISTIK FORENSIK




LINGUISTIK FORENSIK
Oleh
Jose Da Conceicao Verdial
A.     Pengantar
Kata forensik bearasal dari kata bahasa Latin forēns(is), yang bermaknaberkaitan dengan forum atau publik. Secara morfologis, kata forēns(is) dibentuk dari kata forum yang kehilangan suku-kata akhirnya saat dipadu dengan akhiran infleksi –ensis. Kata forum sendiri bermakna tempat umum atau publik‟. Dalam bahasa Indonesia, kita memahami kata forensik dalam maknanya yang paling mutakhir dan sangat khusus: cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta medis pada masalah hukum‟ dan ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan‟.
Makna kata forensik yang terdapat dalam KBBI edisi IV ini terbilang sempit sebab KBBI hanya menghubungkan forensik dengan ilmu kedokteran dan bedah. Sebetulnya, makna inti dari istilah forensik adalah yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan‟; perihal apa yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan itu, apa saja bisa. Dan salah satu hal dari yang apa-saja-bisa itu adalah linguistik. Dalam penggunaan modern, istilah "forensik" ​​di tempat "ilmu forensik" ​​dapat dianggap benar sebagai istilah "forensik" ​​yang merupakan sinonim dari  "hukum" atau "berhubungan dengan pengadilan".
Linguistik forensik adalah penerapan pengetahuan linguistik, metode dan wawasan untuk konteks forensik hukum, bahasa, investigasi kejahatan, percobaan, dan prosedur peradilan. Ini adalah cabang linguistik terapan. Disiplin linguistik forensik tidak homogen, melainkan melibatkan berbagai ahli dan peneliti di berbagai lingkup ilmu. Ada tiga bidang utama aplikasi untuk ahli bahasa yang bekerja dalam konteks forensik yakni :
1.      pemahaman bahasa hukum tertulis,
2.      pemahaman penggunaan bahasa dalam proses forensik dan
3.      peradilan dan penyediaan bukti linguistik.
Selain itu pengertian linguistik forensik menurut Purnomo (2011) kajian ini membahas penggunaan bahasa dalam bidang hukum, yang mencakup identifikasi penutur atau penulis asli sebuah dokumen, interpretasi produk hukum, kesaksian ahli bahasa, bagaimana bahasa dipergunakan dalam proses hukum (peradilan) sejak polisi memeriksa terdakwa dan saksi sampai bahasa oleh hakim, jaksa, dan penasehat hukum dalam ruang sidang pengadilan.  Linguistik forensik digunakan menentukan keaslian penulis dari suatu tulisan, seperti apakah sebuah surat wasiat benar-benar asli atau tiruan, atau keaslian sebuah dokumen dilihat dari ejaan yang berlaku dan gaya penulisan saat itu. Sehingga dia menyimpulkan bahwa  kajian ini adalah bahasa hokum dalam linuistik terapan. 
Menurut Saifullah (2009) linguistik forensik adalah bidang linguistic terapan yang melibatkan hubngan antara bahasa, hukum dan kejahatan sehingga kajian linguistik linguistik lazim disebut dengan studi bahasa teks- teks hukum. Selain  itu linguistik forensik juga untuk mempelajari bahasa yang mana digunakan dalam pemerisaksaan silang, bukti presentasi, arah hakim, menyimpulkan pada juri, peringatan pilisi, wawancara teknik, dan introgasi pengadilan dan polisi.
Menurut Azis (2011) dalam Pembukaan Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia, bahwasanya linguistik forensik adalah bidang ilmu yang dapat mendeteksi kebohongan keterangan yang dibuat seseorang dan ini berguna dalam mengungkapkan berbagai kasus tindak pidana seperti korupsi hingga kasusu criminal lainnya.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya linguistik forensik bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkap kasus- kasus kriminal dan tentunya berhunbungan dengan hukum. Bagaimana bahasa berperan dalam bidang hukum dan peradilan serta wacana yang ada pada kasus- kasus kriminal tersebut dianalisis dengan kajian linguistik. Dengan adanya ilmu linguistik forensik sehinga dapat menentukan dan mencari kebenaran dari suatu kasus dengan melakukan analisis bahasa. Karena sebagai mana diketahui bahasa adalah suatu hal yang dinamis dimana bahasa merupakan gambaran dari pemikiran seorang penuturnya. Dengan bahasa orang bisa mempermainkan makna sehinga hal yang benar bis menjadi salah serta yang salah bisa dibalikkan menjadi hal yang benar. Tegantung seberapa cerdik dan lincahnya seorang penutur berperan untuk memproduksi bahada yang dikelurakannya. Berdasarkan hal inilah seorang linguis harus mampu mengungkap kebenaran dari tuturan serta wacana yang dikelurkan oleh seseorang dalam kajian linguistik forensik. Singkatnya, kebohongan dalam kasus yang ada di ranah publik akan mampu terkuak dengan para linguis yang mendalami linguistik forensik ini.
B.      Munculnya Linguistik Forensik
 Linguistik forensik adalah salah satu dari banyak cabang ilmu linguistik. Ia masuk dalam kategori linguistik interdisipliner. Maksudnya, linguistik forensik adalah wujud dari persinggungan antara linguistik dengan bidang atau ranah legal dan hukum dan peradilan. Istilah linguistik forensik itu sendiri mencuat pertama sekali pada tahun 1968 ketika seorang profesor Linguistik, Jan Svartvik, menggunakannya dalam rangka pengkajian pernyataan-pernyataan Timothy John Evans, seorang pengemudi truk berkebangsaan Wales yang divonis mati oleh pengadilan Inggris atas tuduhan pembunuhan Geraldine Evans, seorang bayi perempuan berusia 13 bulan, yang merupakan putrinya sendiri.
C.      Peran Linguistik Forensik
Tidak ada ranah hidup manusia yang tidak disentuh oleh komunikasi. Dengan kata lain tidak ada ranah hidup manusia yang tidak disentuh oleh bahasa, yang merupakan alat komunikasi dalam arti luas. Logika inilah yang membuat ilmu bahasa, linguistik, mempunyai peran/andil dalam ranah hukum dan peradilan. Linguistik forensik berperan sebagai sebuah pisau-kaji yang mengupas dan menjabarkan secara linguistik interaksi bahasawi yang terjadi antara “orang-orang legal‟ dan “orang-orang awam‟. Yang dimaksud dengan “orang-orang legal‟ di sini mencakup pembuat undang-undang, pembuat kitab hukum, pembuat peraturan, sampai pada petugas kepolisian. Sementara itu, “orang-orang awam‟ adalah siapa saja yang menjadi “lawan-bicara‟ dari orang-orang legal.
Teks legal, baik lisan maupun tertulis, adalah bahan yang dibedah oleh seorang linguis forensik. Teks legal di sini mencakup naskah undang-undang, hukum, dan peraturan legal, transkripsi rekaman interogasi yang dilakukan terhadap tersangka, transkripsi rekaman hasil kegiatan mata-mata terhadap tersangka, naskah nota kesepahaman bisnis, dan segala macam teks yang menjadi bahan penyelidikan untuk keperluan hukum dan peradilan.
Kajian linguistik forensik masih terbilang baru. Namun, kajian ini telah sampai pada tataran kemapanannya sebagai sebuah disiplin dalam ranah akademik dan profesional. Di tahun 1993 telah terbentuk sebuah asosiasi profesional bagi para linguis forensik: The International Association of Forensic Linguists. Setahun setelahnya, 1994, dibentuk pula sebuah jurnal otoritatif bertajuk International Journal of Speech, Language and the Law. Sampai sekarang, setidaknya ada tiga universitas yang menawarkan program pendidikan jenjang master dalam bidang ilmu linguistik forensik: dua di Inggris (universitas Aston dan Cardiff) dan satu di Spanyol (universitas Pompeu Fabra).
Di Aston sendiri, kini telah berdiri sebuah pusat linguistik forensik, yang menyediakan berbagai pelatihan dan kuliah musim panas bagi para calon linguis forensik profesional. Ada beberapa pisau-kaji yang dimiliki linguistik yang dapat dipakai untuk menyelidiki teks-teks legal. Linguistik punya fonetik, stilistika, analisis makna (semantik dan pragmatik), analisis wacana (yang di dalamnya tercakup pula semiotika), dan dialektologi. Seorang linguis forensik profesional dapat dipanggil dan diminta pandangannya sebagai saksi-ahli dalam sebuah persidangan yang membutuhkan analisis linguistik atas barang bukti atau materi yang berhubungan dengan kasus yang sedang diperkarakan.


D.     Ranah Kajian Linguistik Forensik dalam Dunia Hukum
Olsson (2008) mengatakan bahwa dalam linguistik forensik pengetahuan dan teknik-teknik linguistik diterapkan untuk mengkaji fenomena kebahasaan yang terkait dengan kasus hukum dan pemeriksaan perkara; atau sengketa pribadi antara beberapa pihak yang pada tahap berikutnya berdampak pada pengambilan tindakan secara hukum. Jika diperinci lebih jauh,perhatian utama dari linguistik forensik adalah: (1) bahasa dari dokumen legal, (2) bahasa dari polisi dan penegak hukum, (3) interview dengan anak-anak dan saksi-saksi yang rentan dalam sistem hukum, (4) interaksi dalam ruang sidang, (5) bukti-bukti linguis dan kesasian ahli persidangan, (6) kepengarangan dan plagiarisme, serta (7) Fonetik forensik dan identifikasi penutur (Coulthard dan Johnson, 2007:5)
Dari paparan mengenai ruang lingkup linguistik forensik tersebut terlihat bahwa dimensi kajiannya cukup luas dan melibatkan semua tataran liguistik, mulai dari fonetik, morfologi, morfosintaksis, sintaksis hingga pragmatik. Sejumlah teori yang berkaitan dengan nalisis linguistik forensik adalah fonologi (fonetik akustik), sintaksis, semantik, pragmatik, dan analisis wacana kritis.
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, linguis forensik dapat pula membantu tim investigasi untuk melakukan, misalnya, analisis fonetik terhadap sebuah rekaman percakapan. Di banyak kesempatan, analisis fonetik dapat dipakai untuk melakukan identifikasi (pemilik) suara. Untuk kasus lain, perkara plagiarisme karya tulis misalnya, stilistika dapat digunakan untuk membuktikan benar-tidaknya suatu karya itu produk plagiat sebab stilistika mampu mengkaji tingkat kemiripan gaya suatu tulisan dengan tulisan lain. Di tataran yang lebih lanjut, seorang linguis forensik bahkan dapat membatalkan vonis yang telah dijatuhkan pengadilan pada terdakwa jika ia dapat membuktikan secara jernih, lewat analisis pragmatik atas rekaman dan-atau transkripsi interogasi, bahwa terdakwa tersebut, misalnya, dalam interogasi digiring oleh interogator untuk mengakui perbuatan yang sebetulnya tidak dilakukannya.
Linguistik Forensik adalah bidang linguistik terapan yang melibatkan hubungan antara bahasa, hukum, dan kejahatan. Karena itu kajian linguistik forensik lazim disebut sebagai studi bahasa teks-teks hukum. Studi bahasa teks-teks hukum meliputi berbagai jenis dan bentuk analisis teks. Termasuk menganalisis dokumen linguistik produk Parlemen (atau badan pembuat hukum), kehendak pribadi, penilaian dan surat panggilan pengadilan dan undang-undang badan-badan lainnya, seperti Serikat dan departemen pemerintah. Salah satu bidang yang penting adalah bahwa dari efek transformatif Norman Perancis dan rohaniwan Latin pada perkembangan hukum Inggris, dan evolusi dialek hukum yang terkait dengannya. Juga dapat merujuk kepada usaha-usaha berkelanjutan untuk membuat bahasa hukum lebih dipahami oleh orang awam. Linguistik forensik juga mempelajari bahasa seperti yang digunakan dalam pemeriksaan silang, bukti presentasi, arah hakim, menyimpulkan kepada juri, peringatan polisi, 'polisi bicara', wawancara teknik, proses interogasi di pengadilan dan wawancara polisi.
E.      Contoh Kasus yang Pernah Diselesaikan
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dalam pelaksanaannya Linguistik Forensik menggunakan beberapa metode yang terbukti cukup efektif dalam memecahkan kasus-kasus pelik. Berikut ini beberapa contoh pemecahan kasus dengan menggunakan-metode-metode Linguistik Forensik tersebut.
a.      Kasus kasus suap Artalyta Suryani kepada beberapa pejabat kejaksaan (Fonetik Akustik)
 Sebagai alat untuk menganalisis dan memaparkan frekuensi dan tekanan suara, spektograf mempunyai peranan penting dalam mengungkapkan kasus-kasus kebohongan, penghinaan, atau pelecehan. Alat ini digunakan sebagai salah satu alat pendeteksi bahasa yang diujarkan oleh seseorang yang terlibat kasus hukum. Di luar negeri spektograf sudah lama digunakan sebagai salah satu alat bukti ukum. Sementara di Indonesia alat ini baru digunakan beberapa tahun belakangan.
Pada kasus suap yang dilakukan Artalyta Suryani kepada beberapa pejabat kejaksaan alat ini digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Suara tersangka Urip Tri Gunawan di telepon dipastikan dengan metode akustik. Senjata baru untuk pengadilan di Indonesia. Urip Tri Gunawan masih mencoba bersiasat ketika menyebut kata Singapura lewat telepon, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dengan mengatakan: ”Itu kata-kata Artalyta,” Jaksa sebenarnya sudah mengantongi call detail record (CDR) dari telepon kedua tersangka. Namun penyidik perlu membuktikan suara di telepon tersebut milik Urip dan Artalyta. Apalagi, ada percakapan telepon di antara keduanya yang dilakukan tanpa menyebut nama dan kasusnya.
Pada percakapan 10 Juni, misalnya, Artalyta memanggil Urip sebagai  Pak Guru, sedangkan Urip memanggil Artalyta  (kini sudah divonis 5 tahun) penjara - Bu Guru. Pemanfaatan teknik forensik suara ini merupakan langkah penting dalam pengadilan di Indonesia. Memang, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan informasi elektronik, termasuk suara hasi penyadapan, merupakan alat bukti hukum yang sah. Persoalannya, tanpa metode pembuktian yang sahih, fakta hukum ini gampang disanggah. Untuk memastikan suara di telepon itu milik Urip, maka kita harus membandingkan suara tersebut dengan suara yang sudah diketahui sebagai suara dia. Suara pembanding ini di antaranya rekaman suara Urip saat ia diperiksa tim penyidik.
Dalam teori fonetik akustik dapat dibuktikan bahwa setiap orang  mempunyai bunyi ujaran yang berbeda sehingga ciri khas orang berbicara dapat dianalisis melalui spektograf. Misalnya, kata “Surabaya” yang diujarkan Urip Tri Gunawan akan berbeda jika diujarkan oleh Artalyta Suryani atau oleh siapa pun. Hal ini berhubungan dengan alat produksi suara, yaitu alat ucap manusia yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Selain itu, ada dua metode yang bisa dipakai untuk menentukan jati diri pemilik suara di telepon, yaitu metode subjektif dan obyektif. Pada metode subjektif, penilaian dilakukan oleh sejumlah responden. Dalam hal ini, responden bertugas menilai kemiripan suara di telepon dengan suara pembanding. Jepang dan beberapa negara di Eropa biasa memakai penilaian subjektif ini dalam forensik suara. ”Di sana cara itu amat mungkin dilakukan karena sudah ada bank data suara yang memadai. Memang, akurasi metode ini bergantung pada jumlah sampel suara yang tersedia.
Metode objektif disebut source filter model adalah metode pemeriksaan suara yang menggabungkan hasil pengamatan atas produksi suara dan persepsinya. Cara bekerjanya adalah mula-mula kita mengumpulkan kata-kata yang diucapkan terdakwa yang bisa dibandingkan dengan suara di telepon yang akan diperiksa. Proses ini memang cukup memakan waktu. Basis pembandingnya adalah kutipan kata yang sama. Misalnya, kata ”saya” tidak akan masuk data penelitian jika hanya terucap sekali. Tapi, kalau misalnya terucap 10 kali, kata itu menjadi calon untuk pembanding.
Pada transkrip rekaman penyadapan Urip Tri Gunawan terkumpullah 15 kata yang bisa dibandingkan. Di antaranya ”ya, saya, telepon, Singapura, teman, di mana, mobil, pernah”. Kata-kata ini merupakan ciri khas suara Urip Tri Gunawan, yang dapat dibedakan dari suara ujaran orang lain. Dengan peranti lunak khusus, kata-kata itu dianalisis di komputer. Nama peranti lunaknya Praat, buatan kelompok riset linguistik Belanda, yang bisa diunduh gratis di www.praat.org. Meski gratis, peranti ini canggih. Menurut Joko, Praat bisa menganalisis secara akurat karakter suara, gaya bicara, baik asli maupun setelah ”tersaring”, serta spektrum dan intensitas suara obyek yang dipindai. Semua kalkulasi itu berjalan otomatis.
Namun, prosesnya tak sesederhana seperti yang terlihat di film-film, berupa perbandingan kurva-kurva suara di layar komputer. Voice print, nama untuk kurvakurva itu, hanya salah satu parameter dalam metode ini. ”Kita harus melihat lebih ke dalam, sampai ke karakteristik apa saja yang terkandung di dalam suara itu. Hasil analisis Joko, seorang ahli forensik akustik, atas suara di telepon itu identik 93 persen dengan suara Urip. Pada metode ini, dua suara sudah disebut identik jika tingkat kesesuaiannya di atas 90 persen. Ini akibat suara yang gampang sekali berubah-ubah, tergantung kondisi saat suara direkam.
Pada kasus Urip, misalnya, suara yang dianalisis adalah suara di telepon, sedangkan pembandingnya rekaman suara dalam ruangan. Bahkan suara sudah bisa berubah cuma oleh serangan flu. ”Dengan memperhatikan faktor-faktor itu, tentu saja akurasi mendekati 100 persen sulit  diperoleh.  Di Eropa, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat, penilaian untuk metode itu sudah baku, mengacu pada standar yang dikeluarkan asosiasi forensik suara. Asosiasi ini menginduk pada International Association of Forensic Linguists. Teknik forensik atas suara Urip-Artalyta tetap sahih karena sudah mengacu pada standar operasi yang sudah berlaku di Amerika.
















Daftar Pustaka

          Kusharyanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka Utama.
          Saifullah, Aceng Ruhendi. 2009. “Analisis Linguistik Forensik terhadap Tindak Tutur yang Berdampak Hukum.Universitas Pendidikan Indonesia. di unduh tanggal 10 maret 2012. file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS.../cover.pdf
          Azis, Aminudin. 2011. “Linguistik Forensik Ungkap Deteksi Kebohongan Koruptor”. Di unduh tanggal 9 maret 2011 www.jurnas.com/halaman/9/2011-10-11/185134
          Purnomo, Mulyadi Eko. 2011 AWK untuk Menemukan Ideologi yang Tersembunyi”. Di unduh tanggal 10 Maret 2012 www.unsri.ac.id/?act=info_detil&id=263

Tidak ada komentar:

Posting Komentar